Akhir tahun 2014 menjadi waktu yang
sudah ditunggu-tunggu oleh banyak orang, termasuk saya. Orang kantor banyak yang mengambil cuti Natal dan atau Tahun, sedangkan anak sekolah juga sedang liburan. Liburnya dua pekan! Dua
pekan!! *sengaja diulang biar dramatis* Imagining that I won't need to prepare anything to teach for two weeks
had made me excited.
25 December was the day! Setelah
mengusahakan tiket kereta yang 'layak' tapi gagal, akhirnya diputuskan kami
memakai mobil untuk pulkam; berharap kami bisa jalan-jalan di kampung dengan
nyaman.
Tapiii...ternyata keputusan untuk
mudik di musim liburan menyisakan sedikit penyesalan di kemudian hari.
Sedikitnya ada tiga hal yang membuatnya demikian
Pertama, tentang sulitnya mencari tiket pulang, karena banyak orang berburu tiket yang sama. Moda transportasi favorit seperti kereta pasti menjadi primadona, karena harganya yang lumayan murah dan waktu tempuhnya yang singkat. Hasilnya, jika tidak buru-buru pesan, maka kemungkinan akan kehabisan. Sayangnya, kami termasuk yang selalu kalah cepat.
Kedua, lalu lintas menuju
kampung-kampung halaman cenderung padat. Resikonya? Waktu tempuh yang molor
karena kepadatan atau bahkan kemacetan.
Rasanya begitu hopeless waktu kami
bertemu dengan kemacetan di tol selepas Jakarta, sekitaran Bekasi. Mobil hanya
berjalan sebentar diselingi berhenti lebih lama. Kami memperkirakan kemacetan
masih berlanjut hingga menjelang tol Cikampek. Huft.
Tiga jam dari waktu keberangkatan,
bahkan kami belum menyentuh area tol Cikampek. Rasanya sudah mau putar balik ke
Jakarta saking hopeless-nya. 😭
Additional information, mudik kali
ini, kami mencoba jalur selatan yg dikenal memabukkan karena tracknya yang
harus mendaki gunung lewati lembah macam Ninja Hatori 😏
Awalnya, suami memang ingin mencoba
jalur selatan; tapi kekhawatiran saya dan ibu mengurungkan niat baik itu 😁Tapi, melihat kemacetan di depan mata
ditambah info yang didapat sebelumnya (bahwa kemacetan mengancam di jalur Cikampek-Cirebon), akhirnya kami berbelok ke jalur selatan.
Jalur selatan memang tidak selancar
harapan kami. Lalu lintas sedikit tersendat di beberapa titik, seperti di tol
Cipularang. Di gerbang tol Cileunyi bahkan terjadi antrian kendaraan yang
mengular hingga 3km. Selain itu, di daerah Nagreg dengan kontur jalannya yang
naik-turun dan belok-belok, deretan kendaraan juga seringkali terhenti. Satu
lagi titik macet ada di sekitaran Wangon, yang biang keladinya adalah lampu
merah. Gimana mau nggak macet? Lampu berubah dari hijau ke merah hanya dalam dua kedipan mata 😌
Sisanya, alhamdulillah lancar jaya.
Kabar kurang menyenangkan datang dari
teman suami, yang melewati jalur utara. Intinya? Macet
merajalela. Antara merasa kasihan dan lega.
Kami sampai di Purworejo sekitar
pukul satu dinihari. Yak, Jakarta-Purworejo memakan 18 jam. Rekor banget.
Oke, menuju poin ketiga. Rupanya
kemacetan tidak hanya terjadi di perjalanan awal, tetapi juga di tempat tujuan
lain. Jogja, for sure, adalah tempat tujuan
favorit wisatawan. Dengan
demikian, bisa diprediksi bahwa kemacetan juga akan melanda kota yang berhati
nyaman ini. Dan benar saja, jalanan di kota Jogja padat. Jangan tanya di area
Malioboro, tempat yang -bagi banyak orang- wajib dikunjungi. Saya sempat
berencana menuju ke sana.
Menjelang jalan Malioboro, terlihat banyak kerlipan lampu mobil,
pertanda banyak mobil di sana. Dengan mengucap”makasih deh”, saya pun mengurungkan niat untuk mlipir ke sana. Saying sekali.
Poin ketiga adalah tentang oleh. Bagi
para wisatawan, tentunya kurang afdhol rasanya kalau liburan tanpa membawa
pulang oleh-oleh. Demikian pula saya dan suami. Salah satu oleh-oleh yang kerap
dipilih adalah bakpia.
Tibalah kami di Bakpia Kencana di
daerah Ambarketawang. Bakpia ini rekomendasi dari kakak saya, mas Bayu. Rasanya
memang enak, walaupun harganya memang lumayan mahal. Sayang beribu saying, stok
bakpia habis. Kalaupun mau nunggu, varian rasa yang kami inginkan belum bisa
diproduksi dalam waktu dekat.
Akhirnya kami pun memutuskan untuk
pindah ke Bakpia Jane, yang ada di Bagelen, Purworejo. Itupun hanya tersedia
satu varian rasa saja.
Fiuhh.
Dengan mengesampingkan kelegaan
karena sudah bertemu keluarga di kampung halaman, mudik di saat liburan ‘massal’
memang tidak recommended. Selain
riuhnya pembelian tiket yang membuat kita nggak kebagian, jalanan yang
cenderung macet, padatnya tempat tujuan wisata, dan ramainya tempat membeli
oleh-oleh cukup menjadi bukti.