Case #1
Seperti tidak akan hilang dari ingatan, saat seorang murid 'senior' menanyakan arti dari kata 'lengah' dan saya syok. Bukan apa-apa, tapi saya mengira, 'lengah' adalah sebuah kata yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia. Kalaupun tidak digunakan sehari-hari, tetapi di lingkungan pendidikan, kata ini sering muncul di mata pelajaran pendidikan agama atau bahasa Indonesia.
Case #2
Di lain hari, saya mengoreksi tulisan murid yang ketika membacanya, saya berulang kali mengernyitkan dahi karena melihat susunan kata di tulisan tersebut: acak-acakan secara tata bahasa; sehingga membutuhkan sejumlah waktu untuk memahami maksud si penulis. Oh by the way, tulisan tersebut berbahasa Inggris. Saya pun berprasangka buruk bahwa si murid ini menggunakan Google Translate untuk menerjemahkan tulisan berbahasa Indonesia-nya ke dalam bahasa Inggris. Langkah ini banyak ditempuh oleh mereka yang sedang dalam proses belajar bahasa.
Permasalahannya bukan terletak pada metode apa yang digunakan untuk menerjemahkan, tetapi lebih pada susunan kalimatnya. Setelah membaca tulisan murid saya di atas, iseng-iseng saya masukkan kalimat yang saya sebut acak-acakan tadi; English ke Indonesia. Hasilnya? Saya mendapati kalimat yang tidak baku di sana. Artinya bisa sekali dimengerti; karena memang itu bahasa sehari-hari. Sayangnya, Google Translate (mungkin) tidak kenal dengan bahasa non-baku, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan tata bahasa di bahasa yang dituju (bahasa Inggris).
Case #3
Belum lama ini, saya menjadi pengawas di ujian kenaikan kelas. Sebagaimana biasanya, saya mengumpulkan lembar jawab pilihan ganda dan esai; dan memeriksanya sekilas. Mata saya tertambat pada sebuah kata 'ngedzolimin' di sebuah lembar jawab ujian. Jelas ini bukan bentuk kata baku. Mungkin saya yang kurang update, tetapi jawaban ujian biasanya menggunakan bahasa baku; bukan bahasa percakapan. Selain itu, saya juga menemukan penulisan kata 'kalau' yang ditulis ala bahasa chatting, yaitu 'kalo'.
Pembahasan
Secara keseluruhan, berdasarkan tiga peristiwa di atas; ditambah pengalaman interaksi sehari-hari dengan para remaja ini, saya menyimpulkan bahwa bahasa Indonesia -yang notabene bahasa nasional di negeri ini- tidak lagi terlalu akrab dengan para remaja. Mereka lebih banyak menggunakan bahasa percakapan yang bersifat non-formal alias tidak baku. Hal ini juga sejalan dengan terus bertambahnya kosa kata baru yang tidak termasuk tidak baku. Alhasil, ada sejumlah kata baku (dan tertera di Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang sangat jarang dipakai atau bahkan tidak dikenal oleh remaja masa kini.
So what? Sebenarnya tidak ada yang salah dengan penggunaan bahasa percakapan yang tidak baku. Bahkan di pergaulan jaman sekarang, mereka yang memakai bahasa baku dalam interaksi sehari-hari mungkin akan menjadi bahan olok-olok teman sebayanya, atau paling tidak akan disebut 'tidak lazim'. Yang salah adalah ketika mereka (pengguna bahasa non-baku) ini tidak lagi bisa membedakan waktu yang pas; kapan harus memakai bahasa baku atau bahasa percakapan. Padahal, di masa mendatang, ketika mereka kuliah atau bekerja, mereka harus bisa menggunakan bahasa Indonesia baku yang baik dan benar; untuk menulis makalah, surat, dan sebagainya.
Bagaimanapun, berbahasa adalah tentang kebiasaan; apa yang biasa kita ucapkan atau kita pakai, itulah yang akan sering kita pakai. Jangan-jangan, saking terbiasanya dengan bahasa percakapan yang tidak baku, bahasa Indonesia baku jadi terlupakan. That's what I am worried about.
Permasalahannya bukan terletak pada metode apa yang digunakan untuk menerjemahkan, tetapi lebih pada susunan kalimatnya. Setelah membaca tulisan murid saya di atas, iseng-iseng saya masukkan kalimat yang saya sebut acak-acakan tadi; English ke Indonesia. Hasilnya? Saya mendapati kalimat yang tidak baku di sana. Artinya bisa sekali dimengerti; karena memang itu bahasa sehari-hari. Sayangnya, Google Translate (mungkin) tidak kenal dengan bahasa non-baku, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan tata bahasa di bahasa yang dituju (bahasa Inggris).
Case #3
Belum lama ini, saya menjadi pengawas di ujian kenaikan kelas. Sebagaimana biasanya, saya mengumpulkan lembar jawab pilihan ganda dan esai; dan memeriksanya sekilas. Mata saya tertambat pada sebuah kata 'ngedzolimin' di sebuah lembar jawab ujian. Jelas ini bukan bentuk kata baku. Mungkin saya yang kurang update, tetapi jawaban ujian biasanya menggunakan bahasa baku; bukan bahasa percakapan. Selain itu, saya juga menemukan penulisan kata 'kalau' yang ditulis ala bahasa chatting, yaitu 'kalo'.
Pembahasan
Secara keseluruhan, berdasarkan tiga peristiwa di atas; ditambah pengalaman interaksi sehari-hari dengan para remaja ini, saya menyimpulkan bahwa bahasa Indonesia -yang notabene bahasa nasional di negeri ini- tidak lagi terlalu akrab dengan para remaja. Mereka lebih banyak menggunakan bahasa percakapan yang bersifat non-formal alias tidak baku. Hal ini juga sejalan dengan terus bertambahnya kosa kata baru yang tidak termasuk tidak baku. Alhasil, ada sejumlah kata baku (dan tertera di Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang sangat jarang dipakai atau bahkan tidak dikenal oleh remaja masa kini.
So what? Sebenarnya tidak ada yang salah dengan penggunaan bahasa percakapan yang tidak baku. Bahkan di pergaulan jaman sekarang, mereka yang memakai bahasa baku dalam interaksi sehari-hari mungkin akan menjadi bahan olok-olok teman sebayanya, atau paling tidak akan disebut 'tidak lazim'. Yang salah adalah ketika mereka (pengguna bahasa non-baku) ini tidak lagi bisa membedakan waktu yang pas; kapan harus memakai bahasa baku atau bahasa percakapan. Padahal, di masa mendatang, ketika mereka kuliah atau bekerja, mereka harus bisa menggunakan bahasa Indonesia baku yang baik dan benar; untuk menulis makalah, surat, dan sebagainya.
Bagaimanapun, berbahasa adalah tentang kebiasaan; apa yang biasa kita ucapkan atau kita pakai, itulah yang akan sering kita pakai. Jangan-jangan, saking terbiasanya dengan bahasa percakapan yang tidak baku, bahasa Indonesia baku jadi terlupakan. That's what I am worried about.