Pagi itu adalah hari pengambilan rapot semester dua kelas X. Sebelum bapaknya berangkat, Santi sudah berpesan: "Pak, pokoknya Santi maunya ambil jurusan IPS ya pak. Jangan mau kalau disuruh pindah jurusan sama bapak atau ibu guru". Bapak hanya tersenyum tak berkomentar.
Ya, kala itu, penjurusan di Sekolah Menengah Atas baru dimulai di kelas XI. Jauh sebelum hari pengambilan rapot, sekolah sudah membagikan angket pemilihan jurusan. Santi menjadikan Bahasa sebagai pilihan pertama dan IPS pilihan kedua. Menurut kabar yang beredar, kelas Bahasa tidak akan dibuka karena peminatnya hanya empat; Santi adalah satu di antara keempat siswa tersebut. Maka, jurusan IPS pun menjadi tujuan.
Sebenarnya, nilai mata pelajaran jurusan IPA Santi tak jelek-jelek amat; bahkan tergolong cukup memenuhi syarat untuk bisa masuk ke jurusan IPA. Hanya saja, Santi tidak cukup percaya bahwa dirinya akan bisa menikmati belajar Kimia dan Fisika. Bagaimanalah pula dia akan menikmati, tiap kali Bu Retno, guru Fisikanya di kelas X, masuk; Santi sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan beliau. Alasannya hanya satu, dia tak mau diminta mengerjakan soal di papan tulis. Begitu pun dengan Kimia, malu hati Santi karena dia tak kunjung memahami pelajaran tentang ikatan kimia; sedang Bu Niken -guru Kimianya- masih tergolong saudara jauhnya. Karena itulah, Santi dengan mantap mencontreng Bahasa dan IPS di angket pilihan jurusan di akhir semester dua ini.
Tahun ajaran berganti. Tiba saatnya Santi membuat lembar perjalanan baru di sekolah. Dia masuk di kelas XI IPS 2. Lega rasanya, karena dia tidak akan bertemu lagi dengan Fisika dan Kimia yang lebih sering bikin pusing kepalanya. Santi memperhatikan teman-teman barunya. Beberapa sudah sempat kenal. Santi berkata dalam hati, "Sepertinya mereka memilih IPS secara sukarela; bukan karena nilai yang tidak cukup untuk masuk jurusan IPA". Dan benar saja, seorang guru menyebut beberapa nama teman Santi yang menurut beliau layak masuk IPA tapi lebih memilih jurusan IPS. What a surprise.
Sayang, kelegaan Santi tidak bertahan lama. Sedetik setelah melihat jadwal pelajaran kelas XI; Santi menepuk jidat dan berseru dalam hati "Lho, kok ada Fisika lagi sih?" -the end-
----------
Sepenggal cerita di atas adalah gabungan dari kenyataan dan bayangan. Paragraf satu sampai empat adalah true story saya sendiri sedangkan paragraf terakhir adalah imajinasi jika kisah tentang memilih jurusan ini terjadi di tahun sekarang. Syukurlah itu hanya imajinasi. Saya tidak bisa membayangkan betapa masygul hati saya kalau harus kembali bertarung dengan Fisika saat saya sudah memutuskan untuk memilih jurusan IPS. 😆
Pelajaran Lintas Minat
Yaak, tulisan kali ini, yang menyoal pelajaran lintas minat, berisi opini dan sedikit ehm curhat. This all comes from a question which keeps running in my mind: Kenapa sih harus ada pelajaran lintas minat?
Di kurikulum yang sekarang, pelajaran lintas minat menjadi kewajiban. Itu artinya, mereka yang di jurusan IPA akan belajar mata pelajaran jurusan IPS; dan sebaliknya. Kebayang dong betapa kesalnya saya dulu kalau harus menjalankan kebijakan yang tidak bijak kurikulum ini. Lha wong milih jurusan IPS biar nggak ketemu Fisika, kok malah disuruh belajar Fisika lagi. Kira-kira begitu redaksi ungkapan kekesalan saya.
Seburuk itu kah pelajaran lintas minat di mata saya? Awalnya iya, dulu, sebelum saya bertanya pada beberapa siswa dan bapak kepala sekolah tempat saya mengajar. Ternyata, beberapa murid tidak keberatan dengan adanya pelajaran lintas minat (meskipun banyak juga yang mengeluhkan). Menurut bapak Kepsek, kebijakan ini menyiasati atau memberi jalan para murid yang sudah masuk jurusan tertentu tetapi ingin kuliah di jurusan yang 'menyimpang'. Misalnya, anak IPS yang berubah pikiran kemudian ingin mengambil jurusan Biologi di masa kuliahnya. Satu-satunya alasan terbaik hasil renungan saya adalah bahwa belajar apapun itu baik; minimal akan melatih otak untuk berpikir. Hey, there is always a positive side of learning!
But to be honest, saya lebih sepakat jika pelajaran lintas minat ini ditiadakan. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan, antara lain, pertama, ada banyak mata pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa SMA; belasan. Terlalu banyak pelajaran yang harus dikuasai bukan hal yang bagus. Terlebih, sistem pendidikan kita masih tergolong 'mengagungkan' nilai. Meskipun tidak semua, banyak siswa yang merasa terbebani dengan ini; sudah pelajaran banyak, nilai diminta bagus semua. Hasilnya? Mereka yang tak berminat dengan pelajaran lintas-minat tersebut mungkin akan belajar sekenanya dan menghalalkan bermacam cara agar nilainya bagus. Mungkin lebih baik jika pelajaran jenis ini menjadi mapel 'pilihan'; jadi siswa bisa memilih mana yang sesuai dengan minatnya.
Kedua, kalau memang pelajaran lintas minat ini ditujukan untuk membantu mereka yang masih mau 'berbelok' dari jurusan yang sudah dipilih, kenapa tidak disiasati dengan pengarahan sejak awal? Permasalahan yang masih sering dijumpai di kalangan anak SMA adalah ketidaktahuan mereka akan minat dan bakat sendiri. Ini akan terlihat terutama di kelas XII, saat mereka akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Pengarahan sejak awal akan membantu siswa untuk fokus pada tujuan. Ketika mereka sudah punya tujuan, mereka akan memilih jurusan yang sesuai dan tidak perlu restart langkah lantaran ingin berganti haluan jurusan.
Oh ya, saya sempat menjadikan 'pelajaran lintas minat' ini sebagai bahan untuk materi 'discussion text'; dimana saya meminta murid untuk menuliskan plus minus dari keberadaan pelajaran lintas minat. Sisi negatif yang banyak disebut adalah 'pelajaran lintas minat mengurangi fokus pada pelajaran yang menjadi karakter jurusannya'. Sedangkan sisi positif lebih standar, seperti menambah wawasan sampai sekedar 'jadi kenal dengan guru tertentu'.
Demikianlah curhat saya. Kalau perlu disimpulkan, maka intinya adalah saya masih merasa kurang sreg dengan keberadaan pelajaran lintas minat. Dan sepertinya akan perlu waktu yang cukup panjang untuk menemukan solusi terbaiknya.