Mendhak adalah istilah dalam bahasa Jawa untuk menyebut tradisi memperingati kematian seseorang dalam periode per-tahun. Dan tanggal 29 September 2020 adalah mendhak pertama Bapak. Iya, sudah setahun rupanya, Bapak sungguhan meninggalkan dunia, meninggalkan kami, keluarganya yang masih harus berjuang di kehidupan dunia kami.
Masih jelas di ingatan, pagi itu ketika kami mendapati Bapak yang sudah menyedekapkan tangan di dada, tanpa hembusan nafas, tanpa ada gerakan lagi. Kesedihan pun masih terasa sama sesaknya. Terkadang masih juga terasa susah dipercaya kalau Bapak memang sudah benar-benar tiada.
Dan aku akan mengenang beliau dengan menceritakan kisah beliau dengan motor-motornya.
Dulu, ketika aku dan kakakku masih kecil, kami suka diajak bapak keliling naik Vespa-nya, selepas beliau pulang kerja. Tidak sering memang, tapi berkesan, meskipun ingatanku agak compang-camping soal ini. Beliau adalah kepala desa, sebagian besar waktunya habis untuk urusan warga. Alhamdulillah, beliau masih punya waktu untuk kami, biarpun tidak lama.
Waktu aku SMP, kalau tidak salah (sungguh payah ingatanku), Bapak punya motor Pitung bekas -setelah ku cermati, rupanya Bapak memang kerap membeli barang second- warna merah-putih, yang berjasa membuat aku bisa cukup terampil naik motor. Motor ber-gigi dengan gas yang seret tarikannya, cocok untuk berlatih naik motor. Itu saja yang ku ingat, Pak. I wish I could remember more.
Waktu SMA, waktu kakakku sudah lulus, Bapak lah yang mengantar; kadang mengantar-jemput. Terutama ketika aku kelas XII dan harus pulang sore karena ada kelas tambahan. Beliau lah yang menjemputku. Ada satu hari yang tak terlupakan; yaitu Bapak yang diberhentikan polisi saat mengantar daku ke sekolah. Gara-gara? Aku bawa helm tapi nggak dipake. Maaf ya, pak.😅
Waktu sudah kuliah di Jogja, biasanya aku pulang sendiri naik bus ke Purworejo, atau berboncengan dengan kakakku yang juga kuliah di kampus yang sama. Hari Minggu sore, saat harus kembali ke Jogja naik bus, maka Bapak akan menyiapkan Honda Win-nya untuk mengantarku ke terminal atau ke pemberhentian bus lainnya. Satu yang paling berkesan adalah waktu turun hujan, lupa tahun berapa. Saat itu hujan deras, tapi aku harus tetap berangkat ke Jogja. Maka, berangkatlah aku dan Bapak dengan berbagi jas hujan. Bapak memakai jaket hitamnya, badan beliau yang besar melindungi dari angin dingin. Heroik ya. Sayangnya, sepertinya aku lupa berterimakasih kala itu.
Ah, rasanya sudah lamaaaaaa sekali.
Begitulah, ketika seseorang sudah pergi meninggalkan kita, hanya kenangan yang kita punya. Itupun kalau ingatan kita cukup bagus untuk mengenang detail-detailnya.