Thursday, 3 February 2022

Joki Tugas yang Meresahkan

Setahun belakangan, diriku menemukan sejumlah postingan dan story di Instagram yang isinya mempromosikan joki tugas. I know I know, hal semacam ini sudah ada sejak dulu, bahkan mungkin sejak belasan tahun sebelumnya. Tapi, hey, yang ini ditunjukkan secara terang-terangan, lho! Bahkan dipromosikan. For me, that's insane.

Pertama, joki tugas sama halnya dengan menyontek, satu hal terlarang di dunia pendidikan. Kalau ditimbang, malah lebih menyedihkan. Menyontek dilakukan sendiri oleh orangnya, menyiapkan ini itu, membuat strategi (biar ngga ketauan), deg-degan dialami sendiri. Sedangkan joki tugas yaa literally ngga ngapa-ngapain kecuali ngeluarin uang untuk membayar mereka yang menjadi joki. Sungguh tidak keren.

Kedua, menjadi joki bukan sesuatu yang membanggakan, menurut saya. Mungkin memang secara kemampuan intelektual, para joki ini lebih unggul dibandingkan mereka yang dibantu. Tidak selalu sih, -karena bisa jadi yang memakai jasa joki ini hanya sekedar malas-. Tapi yang jelas, mereka punya kemampuan di bidang yang dikerjakannya. Meskipun begitu, tindakannya bukan hal yang bijak. Mengerjakan tugas seseorang sepenuhnya sama saja dengan membantunya menjadi sosok yang kurang bertanggungjawab. Untuk seorang mahasiswa, atau siswa (iyaa, siswa SMA juga ada ternyata yang memakai jasa joki), mengerjakan tugas atau ujian adalah bagian dari tanggungjawabnya sebagai pelajar. Melimpahkannya pada orang lain sama saja dengan tidak bertanggungjawwab, no? 

Ketiga, joki ini seperti menggantikan teman yang sedang berlatih naik sepeda. Teman yang harusnya berlatih malah diam, sementara dia yang naik sepedanya. Kan, si teman batal jadi ahli naik sepeda. Perumpamaannya oke nggak sih? 😁 Jadiii, seharusnya tugas-tugas para pelajar ini akan membantu mereka menjadi ahli di bidangnya, karena mereka akan membaca, berpikir ketika mengerjakannya. Apa jadinya kalau orang lain yang menyelesaikannya? Bukankah keahlian yang seharusnya mereka miliki ketika lulus -yang diwakili dengan gelar atau ijazah- menjadi tidak maksimal? Saya pernah baca sebuah tulisan pendek di caption akun instagram, ada lulusan-lulusan perguruan tinggi yang kurang kompeten, tidak menguasai bidangnya. Alhasil, ketika mencari pekerjaan pun, mereka akan kesulitan. I think perjokian tugas ini menjadi salah satu penyebabnya. Maybe.

Jadi, sebenarnya fenomena ini justru merugikan mereka yang mempertaruhkan tugasnya di tangan joki. Dan untuk para joki, it's not something which you should tell the world about sih

Akan lebih bagus kalau joki tugas ini beralih menjadi tentor. Menurut KBBI, tentor itu sama dengan guru, pembimbing, mentor. Alih-alih mengerjakan tugas sepenuhnya, mereka bisa "membantu" mengerjakan dengan cara mengajari. Ilmu terpakai, dibayar boleh juga. Itu baru keren.      

Wednesday, 2 February 2022

Masker dan Face-Recognition Failure (Kegagalan Mengenali Muka)

Mengajar di kelas, dengan siswa-siswi mengenakan masker yang menutup bagian hidung sampai dagu membuat saya tertipu. 

Tahun ajaran baru, saya mendapatkan empat kelas baru yang 99% siswanya belum saya kenal. Di awal-awal semester, sekolah kami masih menerapkan sistem belajar daring menggunakan Google Meet di mana sebagian besar dari mereka tidak menyalakan kamera. Semakin sulit bagi saya untuk merekam wajah-wajah baru ini. Ketika akhirnya kami bertemu langsung di pembelajaran tatap muka pun, mereka diwajibkan mengenakan masker; membuat proses menghafal wajah semakin terhambat.

Saya adalah tipikal guru yang merasa wajib menghafal nama berikut wajah siswa-siswi yang sedang saya ajar. Rasanya menyenangkan saat bisa memanggil nama sembari melihat wajah mereka. Sayangnya, prinsip itu harus sedikit terpinggirkan sekarang. 

Biasanya saya tidak memerlukan waktu lama untuk menghafal wajah dan nama siswa, terutama yang laki-laki, karena jumlahnya yang lebih sedikit dan masing-masing terlihat punya ciri tertentu. Sedangkan yang perempuan, cenderung lebih sulit dihafal karena semuanya mengenakan jilbab; hanya yang punya ciri khusus yang mudah lebih dihafal; berkacamata misalnya. 

Ini rupanya masih berlaku ketika mereka semua menggunakan masker di kelas. Saya lebih mudah menghafal siswa laki-laki; well, setidaknya wajah saya menghadap ke orang yang benar ketika memanggil namanya. Sedangkan siswi-siswinya? Wah, bahkan sampai satu semester berlalu, baru beberapa nama yang saya hafal beserta ciri-ciri wajahnya. Saya masih seringkali menengok ke orang yang salah ketika memanggil namanya untuk mengisi daftar hadir. Oya, perlu dicatat ya, yang saya hafal itu ciri-ciri ya, bukan full wajahnya karena tertutup jilbab pus masker. 😁😁 Saya mengenali mereka berdasar pemakaian kacamata, warna kulit, bentuk alis, body shape, dan tempat duduk (yang terakhir langsung buyar saat mereka pindah tempat duduk karena satu dan lain hal).

Daaaan, selama beberapa bulan mengajar, saya sudah punya bayangan sendiri tentang muka para siswa ini, bayangan yang saya yakini benar sampai bulan Desember kemarin.

----

Pertengahan bulan Desember 2021, sekolah mengadakan acara untuk merayakan hari ulang tahunnya. Waktu itu, ada tiga siswi yang naik ke panggung, satu di antaranya adalah siswi yang baru saya ajar, dan kebetulan sudah saya hafal "cirinya". Saat dia membuka masker, terkejutlah saya. Dalam hati saya berseru "Kok mukanya bedaaa??". Iyaa, berbeda dari yang lima bulan sebelumnya saya "bayangkan". Dari situlah pengenalan-wajah-yang-gagal saya terus berlanjut. 

Ketika masuk di kelas di semester berikutnya, hal yang sama terulang lebih dari sekali. Rupanya tidak hanya pada siswi, siswa pun sama. Waahh.  I don't know about you guys, tapi ini lucu banget sih, buat saya; seketika saya senyum-senyum sendiri ketika menyadari bayangan saya tidak sesuai dengan realita. Dan kebanyakan, jauuh dari realita. Hahaha

Saat saya menyampaikan cerita ini di kelas, hanya para siswi yang meng-iya-kan, mengatakan bahwa mereka mengalami hal yang sama. Tapi ketika bercerita ke suami, beliau bilang: "Engga tuh. Aku mah ngga ngebayangin muka". Kenapa ya?

----- 

Setelah saya pikir-pikir, rupanya wajah wajah "bayangan" siswa siswi yang baru saya kenal ini didasari oleh ingatan tentang wajah siswa lama, terutama mereka yang sudah lulus. Saya masih mengingat dengan baik wajah para alumni, bahkan yang sudah sekian tahun lulus dari sekolah. Wajah-wajah "bayangan" saya itu ternyata mirip dengan alumni yang masih saya ingat ciri fisik wajahnya. Misalnya, siswi A mirip dengan alumni A, karena sama-sama berkulit sawo matang dan mengenakan kacamata dengan bingkai yang berwarna dan berbentuk sama. 

Dan sepertinya itu adalah alasan kenapa suami saya tidak mengalami hal yang sama, karena beliau tidak mengingat wajah dengan baik 😁

Apapun alasannya, sepertinya saya masih akan menemui "wajah-wajah" baru di pertemuan-pertemuan berikutnya dengan siswa-siswi saya di kelas. Optimis.

Adakah yang mengalami hal serupa? 

5.50 PM: Menikmati Waktu

Di kala senja menjelang azan magrib, Beberapa orang sudah menikmati waktu di rumah, Beberapa masih berjuang mengendarai motor atau mobil...