Tuesday, 19 September 2023

5.50 PM: Menikmati Waktu

Di kala senja menjelang azan magrib,
Beberapa orang sudah menikmati waktu di rumah,
Beberapa masih berjuang mengendarai motor atau mobil di tengah sesaknya jalanan,
Beberapa masih mengais rezeki,
Beberapa hanya duduk menikmati pemandangan jalanan sembari menunggu tukang ketoprak menyiapkan pesanannya. Itu saya.😊

Semanan, 20 Februari 2018 5.50 PM
---
Di atas adalah catatan saya beberapa tahun yang lalu. Saat menunggu abang penjual ketoprak menyiapkan pesanan, saya mengamati sekitar. Beberapa kalimat di atas adalah hasil pengamatan saya.
Lalu, tiba-tiba ingin meneruskannya ke dalam sebuah tulisan yang bertema menikmati waktu.

Rasanya, tidak banyak waktu yang kita (baca: saya) gunakan untuk sekedar 'menikmati' apa yang ada di hadapan mata, tanpa terlibat, tanpa memikirkan sesuatu, tanpa terburu-buru. Most of the time, raga ada di tempat, melakukan rutinitas, tapi hati dan pikiran terkadang ada di tempat lain. 

Pernah membaca sebuah tulisan yang menyebutkan bahwa salah satu kegiatan yang bisa mengurangi stress adalah mencuci piring. Simple ya? Tapi syaratnya, mencuci piring-nya haruslah dengan prinsip right here right now; artinya harus diresapi benar-benar apa yang sedang dilakukan. Misalnya, menyadari sedang mencuci apa, merasakan air yang mengalir, mencium aroma sabun cuci piring, merasakan licinnya piring gelas yang terbasuh sabun, mendengarkan bunyi dari air yang mengalir dari kran, dan seterusnya. Saat dicoba, rasanya ternyata seru. 

Dan melakukan hal yang sama di kegiatan lain pun sepertinya juga seru. Seperti saat mengawas ujian yang keliatannya membosankan dan bikin ngantuk, bisa saja menjadi kegiatan yang bisa dinikmati. Contohnya, mengawas sembari memandang muka para murid memperhatikan gerakan kakinya, memperhatikan ekspresinya, melihat gerakan kakinya, merasakan suasana yang ada di dalam kelas, dan seterusnya. Just sit back and relax, tanpa memikirkan hal lain selain yang ada di hadapan.

Teorinya gampang sebenarnya: lihat, dengar, rasakan (pinjem judul lagunya Sheila on 7) apa yang sedang dilakukan, lihat sekitar juga boleh, Walaupun praktiknya mungkin tidak semudah teorinya, ini tetap perlu dicoba. 

Dan itu bisa dimulai saat sedang menunggu sesuatu; seperti saya yang sedang menunggu abang penjual ketoprak memotong tahu dan ketupat, menambahkan taoge, menghaluskan cabe, mencampur bumbu, dan membungkus semuanya.☺ 

Thursday, 3 February 2022

Joki Tugas yang Meresahkan

Setahun belakangan, diriku menemukan sejumlah postingan dan story di Instagram yang isinya mempromosikan joki tugas. I know I know, hal semacam ini sudah ada sejak dulu, bahkan mungkin sejak belasan tahun sebelumnya. Tapi, hey, yang ini ditunjukkan secara terang-terangan, lho! Bahkan dipromosikan. For me, that's insane.

Pertama, joki tugas sama halnya dengan menyontek, satu hal terlarang di dunia pendidikan. Kalau ditimbang, malah lebih menyedihkan. Menyontek dilakukan sendiri oleh orangnya, menyiapkan ini itu, membuat strategi (biar ngga ketauan), deg-degan dialami sendiri. Sedangkan joki tugas yaa literally ngga ngapa-ngapain kecuali ngeluarin uang untuk membayar mereka yang menjadi joki. Sungguh tidak keren.

Kedua, menjadi joki bukan sesuatu yang membanggakan, menurut saya. Mungkin memang secara kemampuan intelektual, para joki ini lebih unggul dibandingkan mereka yang dibantu. Tidak selalu sih, -karena bisa jadi yang memakai jasa joki ini hanya sekedar malas-. Tapi yang jelas, mereka punya kemampuan di bidang yang dikerjakannya. Meskipun begitu, tindakannya bukan hal yang bijak. Mengerjakan tugas seseorang sepenuhnya sama saja dengan membantunya menjadi sosok yang kurang bertanggungjawab. Untuk seorang mahasiswa, atau siswa (iyaa, siswa SMA juga ada ternyata yang memakai jasa joki), mengerjakan tugas atau ujian adalah bagian dari tanggungjawabnya sebagai pelajar. Melimpahkannya pada orang lain sama saja dengan tidak bertanggungjawwab, no? 

Ketiga, joki ini seperti menggantikan teman yang sedang berlatih naik sepeda. Teman yang harusnya berlatih malah diam, sementara dia yang naik sepedanya. Kan, si teman batal jadi ahli naik sepeda. Perumpamaannya oke nggak sih? 😁 Jadiii, seharusnya tugas-tugas para pelajar ini akan membantu mereka menjadi ahli di bidangnya, karena mereka akan membaca, berpikir ketika mengerjakannya. Apa jadinya kalau orang lain yang menyelesaikannya? Bukankah keahlian yang seharusnya mereka miliki ketika lulus -yang diwakili dengan gelar atau ijazah- menjadi tidak maksimal? Saya pernah baca sebuah tulisan pendek di caption akun instagram, ada lulusan-lulusan perguruan tinggi yang kurang kompeten, tidak menguasai bidangnya. Alhasil, ketika mencari pekerjaan pun, mereka akan kesulitan. I think perjokian tugas ini menjadi salah satu penyebabnya. Maybe.

Jadi, sebenarnya fenomena ini justru merugikan mereka yang mempertaruhkan tugasnya di tangan joki. Dan untuk para joki, it's not something which you should tell the world about sih

Akan lebih bagus kalau joki tugas ini beralih menjadi tentor. Menurut KBBI, tentor itu sama dengan guru, pembimbing, mentor. Alih-alih mengerjakan tugas sepenuhnya, mereka bisa "membantu" mengerjakan dengan cara mengajari. Ilmu terpakai, dibayar boleh juga. Itu baru keren.      

Wednesday, 2 February 2022

Masker dan Face-Recognition Failure (Kegagalan Mengenali Muka)

Mengajar di kelas, dengan siswa-siswi mengenakan masker yang menutup bagian hidung sampai dagu membuat saya tertipu. 

Tahun ajaran baru, saya mendapatkan empat kelas baru yang 99% siswanya belum saya kenal. Di awal-awal semester, sekolah kami masih menerapkan sistem belajar daring menggunakan Google Meet di mana sebagian besar dari mereka tidak menyalakan kamera. Semakin sulit bagi saya untuk merekam wajah-wajah baru ini. Ketika akhirnya kami bertemu langsung di pembelajaran tatap muka pun, mereka diwajibkan mengenakan masker; membuat proses menghafal wajah semakin terhambat.

Saya adalah tipikal guru yang merasa wajib menghafal nama berikut wajah siswa-siswi yang sedang saya ajar. Rasanya menyenangkan saat bisa memanggil nama sembari melihat wajah mereka. Sayangnya, prinsip itu harus sedikit terpinggirkan sekarang. 

Biasanya saya tidak memerlukan waktu lama untuk menghafal wajah dan nama siswa, terutama yang laki-laki, karena jumlahnya yang lebih sedikit dan masing-masing terlihat punya ciri tertentu. Sedangkan yang perempuan, cenderung lebih sulit dihafal karena semuanya mengenakan jilbab; hanya yang punya ciri khusus yang mudah lebih dihafal; berkacamata misalnya. 

Ini rupanya masih berlaku ketika mereka semua menggunakan masker di kelas. Saya lebih mudah menghafal siswa laki-laki; well, setidaknya wajah saya menghadap ke orang yang benar ketika memanggil namanya. Sedangkan siswi-siswinya? Wah, bahkan sampai satu semester berlalu, baru beberapa nama yang saya hafal beserta ciri-ciri wajahnya. Saya masih seringkali menengok ke orang yang salah ketika memanggil namanya untuk mengisi daftar hadir. Oya, perlu dicatat ya, yang saya hafal itu ciri-ciri ya, bukan full wajahnya karena tertutup jilbab pus masker. 😁😁 Saya mengenali mereka berdasar pemakaian kacamata, warna kulit, bentuk alis, body shape, dan tempat duduk (yang terakhir langsung buyar saat mereka pindah tempat duduk karena satu dan lain hal).

Daaaan, selama beberapa bulan mengajar, saya sudah punya bayangan sendiri tentang muka para siswa ini, bayangan yang saya yakini benar sampai bulan Desember kemarin.

----

Pertengahan bulan Desember 2021, sekolah mengadakan acara untuk merayakan hari ulang tahunnya. Waktu itu, ada tiga siswi yang naik ke panggung, satu di antaranya adalah siswi yang baru saya ajar, dan kebetulan sudah saya hafal "cirinya". Saat dia membuka masker, terkejutlah saya. Dalam hati saya berseru "Kok mukanya bedaaa??". Iyaa, berbeda dari yang lima bulan sebelumnya saya "bayangkan". Dari situlah pengenalan-wajah-yang-gagal saya terus berlanjut. 

Ketika masuk di kelas di semester berikutnya, hal yang sama terulang lebih dari sekali. Rupanya tidak hanya pada siswi, siswa pun sama. Waahh.  I don't know about you guys, tapi ini lucu banget sih, buat saya; seketika saya senyum-senyum sendiri ketika menyadari bayangan saya tidak sesuai dengan realita. Dan kebanyakan, jauuh dari realita. Hahaha

Saat saya menyampaikan cerita ini di kelas, hanya para siswi yang meng-iya-kan, mengatakan bahwa mereka mengalami hal yang sama. Tapi ketika bercerita ke suami, beliau bilang: "Engga tuh. Aku mah ngga ngebayangin muka". Kenapa ya?

----- 

Setelah saya pikir-pikir, rupanya wajah wajah "bayangan" siswa siswi yang baru saya kenal ini didasari oleh ingatan tentang wajah siswa lama, terutama mereka yang sudah lulus. Saya masih mengingat dengan baik wajah para alumni, bahkan yang sudah sekian tahun lulus dari sekolah. Wajah-wajah "bayangan" saya itu ternyata mirip dengan alumni yang masih saya ingat ciri fisik wajahnya. Misalnya, siswi A mirip dengan alumni A, karena sama-sama berkulit sawo matang dan mengenakan kacamata dengan bingkai yang berwarna dan berbentuk sama. 

Dan sepertinya itu adalah alasan kenapa suami saya tidak mengalami hal yang sama, karena beliau tidak mengingat wajah dengan baik 😁

Apapun alasannya, sepertinya saya masih akan menemui "wajah-wajah" baru di pertemuan-pertemuan berikutnya dengan siswa-siswi saya di kelas. Optimis.

Adakah yang mengalami hal serupa? 

Friday, 19 November 2021

#Curhat: Akhirnya Nulis Paper Lagi

Juni lalu akhirnya daku memutuskan untuk mengirim abstrak Classroom Action Research (CAR) untuk acara tahunan LIA Colloquium (semacam seminar atau konferensi akademis), di menit terakhir deadline pengiriman abstrak. It has been in my bucket list since long time ago. Beberapa tahun lalu pernah bertekad untuk mengirim full paper CAR, setidaknya sekali pas masih jadi guru di LIA. Baru kesampaian tahun ini. Dan berita baiknya muncul di email nggak lama kemudian, my abstract was accepted! Itu artinya daku harus melanjutkan proses penulisan. Super excited sekaligus bingung harus mulai dari mana. 

Singkat cerita, berselancarlah daku di internet, mencari-cari referensi terkait topik penelitian, mengunduh semua jurnal CAR yang pernah dipublikasikan LIA, mencari tau cara menulis paper, dan seterusnya dan sebagainya. Pokoknya banyak. Rasanya seperti nggak tau apa-apa dan harus banyak baca. Jadiii, ini adalah pertama kali menulis makalah penelitian setelah 10 tahun lamanya. Iya, terakhir kali daku membuat karya ilmiah ya pas skripsi dulu. Dan ilmu menulisnya sudah menguap tak tersisa. Hahaha. 

Begitulah. So I started from zero (or even minus??). 

Hampir dua bulan berlalu, si paper belum terlihat wujudnya. Bahkan membuat file Ms Word pun belum. Yang ada hanya sebuah folder berjudul CAR, dengan sederet file PDF berupa jurnal dan buku referensi. Beberapa sudah dibaca, beberapa baru disimpan saja. I was stressed out. Memang benar, semakin banyak baca, kita akan menemukan lebih banyak hal lagi yang ternyata belum kita ketahui. It hit me badly, membuat daku sulit memulai proses menulis.

Akhir Agustus, akhirnya paper pun mulai ditulis. Lancar? Boro-boro. Seiring banyaknya referensi yang dibaca, bertambah puyeng kepala awak. It's hard, really. Dengan tugas tugas utama lain yang harus dikerjakan, paper ini pun terpinggirkan. Nasibmu, nak. 
Sayangnya, aktivitas lain pun jadi nggak maksimal dan nggak bisa dinikmati sepenuhnya karena terus kepikiran paper yang belum kelar. 

At this time, akhirnya daku menguatkan niat untuk segera menyelesaikan tulisan. The power of kepepet sungguhan muncul kali ini. Kepepet deadline yang sudah semakin dekat: 30 September. Dimulai dengan mengeluarkan semua ide tulisan yang ada di kepala dan menuliskannya di buku catatan, memilah mana yang akan ditulis, menyalin judul masing-masing bagian dari paper yang sudah diterbitkan LIA, membuka kembali file-file kelas yang saya jadikan subjek penelitian, dan mulai mengetik. Memang benar kata dosen saya dulu waktu kuliah, jangan mulai menulis dengan mengetik di Ms Word karena kamu akan kehabisan ide. Lebih baik tuliskan dulu ide-ide pokoknya, baru mulai menuliskannya.

To make long story short, full paper selesai sekitar tiga hari sebelum tenggat waktu pengumpulan. Setelah mengirimkannya kepada senior untuk minta feedback dan grammar check, ku tutup semua jendela file di laptop dan mematikannya, mengendapkan tulisan. Sehari berikutnya, barulah tulisan dicek lagi, ditambah di sana-sini; sebelum akhirnya dikirim. Dini hari di tanggal 30 September ketika akhirnya paper terkirim, it felt so good, lega sekali rasanya. Tidurpun jadi lebih nyenyak di malam-malam berikutnya. 

Just Do It
Kadang-kadang ketika kita bingung harus ngapain dulu, solusi paling okenya memang "udah, lakuin aja." Mulai aja dulu, nanti akan ada jalan terbuka ketika sungguhan berusaha. Atau kalau tidak pede macam daku, setidaknya tulis perkiraan langkah-langkah; hal apa saja yang akan dilakukan. As for me, setelah brainstorming tentang apa yang akan ditulis, ide-ide pun bermunculan seiring proses penulisan. 

Paper untuk LIA Colloquium ini memang sudah selesai, tapi masih akan ada revisi dari tim seleksi. But for me, this is an achievement already. Tentu kalau dibandingkan teacher-researcher yang lain, I'm nothing tapi untuk pencapaian pribadi, it's something. Pengalaman menulis ini juga membuatku semakin respek dengan bapak ibu guru yang rajin menulis paper untuk penelitian tindakan kelas (PTK, istilah bahasa Indonesia untuk CAR) di tengah kesibukannya sebagai guru. They are amazing.      

Monday, 11 October 2021

Nggak Punya Foto Bapak

Kita melihat foto saat ingin mengingat, mengenang sesuatu; benda, peristiwa, orang yang kita kenal atau sekedar pernah ditemui. I guess that's what photos are for. 

Saat bapak nggak ada, akhir September 2019, barulah tersadar kalau foto terbaru bapak beberapa tahun terakhir nyaris ngga ada di folder. Hanya ada beberapa, bisa dihitung pakai jari. Itupun hasil kiriman orang lain, atau foto yang objek utamanya bukan bapak; beliau "nggak sengaja" masuk di frame. 

Iya, meskipun rutin pulang kampung, setidaknya 3 bulan sekali, ku tak pernah foto bareng bapak atau khusus memfoto beliau. Bukan cuma bapak, foto mamak (panggilan saya untuk ibu) pun sama, nyaris tak ada. Bukan tak sayang, hanya tak terbiasa mengambil foto anggota keluarga. Kalau pulang, cukup melihat dan ngobrol. I took it for granted, berpikir "Nanti beberapa bulan mendatang juga ketemu lagi." 

Dan saat wajah bapak udah ngga bisa ku lihat lagi, barulah terasa "kok aku nggak punya foto bapak tahun tahun terakhir sih??". Nyesel? Iya. Aku yang tak punya ingatan kuat tentang masa lalu pasti akan sering kesulitan membayangkan wajah bapak di tahun-tahun terakhirnya. Tapi, ketika dipikir lagi, mungkin akan lebih sedih kalau punya banyak foto bapak di masa sakitnya; karena beliau tidak lagi terlihat kuat dan berenergi seperti ketika masih cukup sehat. 

Maka berpuaslah diriku hanya dengan memandang foto bapak zaman dahulu yang berserakan di album foto. Saat beliau masih menjadi kepala desa, fotonya ada di hampir semua acara, dengan badan beliau yang masih berisi, tegap, dan kuat; dengan senyum lebarnya. Ketika membuka folder album lama di laptop atau Google Photos, lalu menemukan ada foto bapak biarpun tidak sepenuhnya terlihat, rasanya seperti menemukan harta karun. Apalagi saat ada video di sana. Ah, rasanya gembira sekaligus sedih, tentu saja. 

So now, ketika mudik ke Purworejo, ku berusaha untuk mengambil foto dan video orang-orang yang ku temui, nggak cuma duo keponakan yang unyu, tapi juga foto mamak, mas, mbak, saudara, dan teman yang ditemui; untuk kemudian dilihat-lihat lagi sekembalinya ke Jakarta. Memories are supposed to be captured, and cherished, right? 

Monday, 18 January 2021

Tentang Panggilan "Sayang"

Jika kembali ke masa sekitar sepuluh atau lima belas tahun belakang, panggilan "sayang" ini tidak sepopuler sekarang. Penggunaannya terbatas, bisa dibilang demikian. Waktu saya masih remaja, jarang sekali panggilan ini terdengar, bahkan between lovers sekalipun. Well, mungkin mereka saling memanggil sayang tapi nggak di depan umum kali, ya. Sekarang? Panggilan ini terkesan diumbar; nggak spesial, nggak eksklusif. 

Belakangan, panggilan "sayang" seliweran di media sosial (yang saya gunakan), di percakapan atau status. I even surprised myself dengan menggunakan kata itu lebih sering dibandingkan sebelum-sebelumnya. Panggilan "sayang" ini tidak lagi hanya ditujukan kepada orang terdekat seperti orangtua ke anak atau sebaliknya, ke pasangan atau (yang cuma berstatus) pacar, tapi lingkupnya lebih luas. 

Antar Teman
Biasanya sih, antar teman perempuan. Serem juga kalo antar teman laki-laki πŸ˜†. Menariknya, panggilan sayang ini tidak hanya dipakai antar teman dekat, tapi juga antar teman yang...cuma teman aja gitu. Ke adik kelas, ataupun teman yang usianya lebih muda, kata ini juga sering digunakan, sepengamatan saya. 

Ada juga yang memakainya secara casual, ke teman yang berlawanan jenis. Kalimat yang sering saya baca adalah "Canda,sayang". Sayang beneran? Entah. Mereka lah yang tau.

Guru ke Siswa, & Vice Versa
This is what I surprisingly did. Yang sering saya temui adalah dari guru wanita, memang, ke siswinya. Pernah juga sih, mendengar guru laki-laki yang memanggil siswi dengan kata "sayang". Nggak banyak, tapi ada. 

Sebaliknya, ada juga siswi bahkan siswa yang memanggil gurunya dengan sebutan "sayang". Again, inipun saya juga mengalami. Kalau dari guru ke muridnya (sesama jenis ya), mungkin masih mudah diterima, tapi kalau sebaliknya? Cukup menarikπŸ˜†. Bagi mereka yang berpandangan bahwa guru harus dihormati, mungkin akan merasa bahwa memanggil guru dengan "sayang" adalah hal yang kurang sopan. Tetapi lain halnya dengan mereka yang harus mengajar generasi milenial dan alpha, mungkin pandangan mereka berbeda. Me? Yang memanggil saya dengan sebutan "sayang" biasanya mereka yang dekat secara personal, so for me, it's fine selama tidak berlebihan. 

Tapi untuk orang yang cukup old fashioned macem saya, panggilan ini cukup bikin jengah kalau ditujukan ke lawan jenis, dalam konteks hubungan guru-murid ataupun hubungan yang biasa-biasa aja, tidak dekat. 
---
Sopan atau tidak sopan, baik atau tidak baik, tepat atau tidak tepat; lagi -lagi penggunaan kata "sayang" ini akan dinilai sesuai prinsip yang dipegang oleh yang memanggil ataupun yang dipanggil. 

Cuma rasanya, IMHO, kok sepertinya sebutan "sayang" ini tidak sekuat dulu maknanya ya. Tidak sungguhan "sayang", hanya lip service semata. That's what I feel. Tapi percayalah, if I call you that way, I mean itπŸ˜‰πŸ₯°

Pesan saya, mind what you say. Tidak semua orang nyaman dipanggil "sayang". Tidak semua lawan jenis bakal biasa aja kalau dipanggil "sayang", ada yang jadi terbawa perasaan alias baper. So, perhatikan  pilihan kata kita dan orang yang kita ajak bicara, ya. 

Wednesday, 6 January 2021

Enaknya Berbaik Sangka

Chat yang Tidak Berbalas

 "Gue chat kok ga dibales sih, padahal online?"

Mungkin dia sedang sibuk,

mungkin dia sedang mengerjakan pekerjaannya yang belum selesai,

mungkin dia sedang bercengkerama dengan keluarganya,

mungkin dia sedang membahas hal lain yang lebih penting

mungkin dia sedang mikir, mau balas apa.

Atau jangan-jangan, dia tidak berkenan dengan pesan kita? Merasa terganggu?

Seharusnya kita lebih sabar menunggu. Toh kalau memang dia merasa perlu membalas dan memang chat-nya penting, tentunya akan dibalas.

-------

Gitu Aja Marah! Gitu aja Sedih! Baper!

Mungkin dia sedang ada masalah dengan keluarga atau temannya,

mungkin orangtuanya baru saja bertengkar di depannya,

mungkin seseorang menabrak motornya pagi itu,

mungkin dia lagi PMS,

Atau memang kata-kata kita yang terlampau kasar; perbuatan kita menyinggung dia?

Seharusnya kita bisa lebih memaklumi, lebih berempati.

------- 

Enak banget rasanya ya, kalau bisa seperti itu setiap kali punya pikiran negatif tentang sesuatu atau seseorang. Sebagian dari kita lebih sering berprasangka buruk lebih cepat dibanding memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang lain, lalu menerka-nerka, bahkan mereka-reka cerita. Padahal kita tidak tau kondisi apa yang sedang dialami orang tersebut.

Husnudzon atau berbaik sangka ini memang bukan hal yang mudah untuk selalu diterapkan sih. Tapi layak untuk dilatih. Caranya? Ketika terlintas prasangka buruk, segera cari lawannya. Kalau kata Aa Gym, carilah seribu alasan untuk berbaik sangka pada seseorang. Dengan begitu, (semoga) hati dan pikiran kita akan lebih tenang.

5.50 PM: Menikmati Waktu

Di kala senja menjelang azan magrib, Beberapa orang sudah menikmati waktu di rumah, Beberapa masih berjuang mengendarai motor atau mobil...