Saturday, 30 April 2016

Jodoh, Cerminan Diri

Jodoh itu cerminan diri. Begitu sebuah quote pendek yang barusan saya temukan.

Walaupun pengetahuan saya yang terbatas, setidaknya saya pernah membaca terjemahan sebuah ayat di kitab suci Al Quran yang menyebutkan bahwa wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik. Ditambah pengalaman pribadi, maka saya pun mengangguk tanda sepakat ketika melihat quote di atas.

Setidaknya itu yang saya rasakan ketika melihat pasangan hidup saya sekarang. He's not perfect, and neither am I. Ada celah di sana-sini, ada kekurangan di beberapa sisi. Masing-masing dari kami mempunyai kelebihan dan kekurangan yang saya anggap saling melengkapi. Misalnya, saya yang cukup payah dalam hal membaca peta ini tidak akan takut nyasar ketika bepergian karena punya pasangan dengan kecerdasan spasial serta feeling yang oke punya.

Yah, walaupun ada juga beberapa sisi positif dan negatif yang sama sih. Well, we're working on them. Pendeknya, segala kelebihan dan kekurangan yang kami miliki membuat kami berada di satu tingkat yang sama.

Nah, begitulah. Kalau mau berjodoh dengan orang yang baik, maka ada baiknya berproses menuju ke sana, ke arah 'baik' yang diinginkan. Jangan maunya aja yang baik, tapi jarang berkaca sudah sebaik apa dirinya sendiri. Daripada pusing memikirkan siapa jodohnya, mending fokus untuk membuat diri 'mengkilap'. Jika ada penyesalan yang dirasakan nanti ketika sudah menikah, mungkin salah satunya adalah "Kenapa dulu sebelum menikah, aku tidak berbuat lebih banyak untuk menjadi lebih baik?". Lebih baik tidak menyesal, kan?

Tapi menurut saya, ini berlaku tidak hanya untuk yang belum menikah lho, tetapi juga untuk yang sudah menikah. Kenapa begitu? Karena manusia itu tumbuh dan berkembang. We can still fix everything as long as we're alive.

Begini.
Ada kalanya ketika sudah menikah, seseorang akan melihat hal buruk dari pasangan yang tidak terlihat sebelumnya. Saat itu, mungkin akan muncul perasaan kesal, marah, atau malah sedih. Kalau sudah begitu, pilihan terbaiknya adalah bercermin, dan mengingat bahwa pasangan adalah cermin kita. Langkah selanjutnya adalah memperbaiki diri. Gantikan rasa kesal, marah, atau sedih dengan energi untuk terus memperbaiki apa yang masih kurang dalam diri kita. Boleh jadi, kekurangan pasangan itu adalah syarat supaya levelnya sama dengan kita. Makanya, segera naikkan level kita sembari mengajak si dia, agar naik di tingkat yang sama.

Ah, kalau sudah begini jadi ingat lagunya Tulus Jangan Cintai Aku Apa Adanya. Suka sekali dengan lagu ini.
Jangan cintai aku apa adanya, jangan.
Tuntutlah sesuatu, biar kita jalan ke depan
Konon, kehidupan pernikahan akan membosankan kalau masing-masing pelakunya tidak melakukan suatu perbaikan. Menikah tidak menghentikan proses tumbuh kembang manusia (di luar segi fisik ya); jangan sampai. Makanya, pasangan hendaknya sering-sering saling bercermin untuk kemudian berproses menjadi semakin baik.

Sebagai penutup, saya ambilkan sebuah kutipan dari seorang penyair terkenal dari Inggris.
Teruslah tumbuh dan berkembang, karena dengan melakukannya, yang terbaik akan kita temui nanti.

etsy.com

Monday, 25 April 2016

Bukan Introvert atau Extrovert? You Might be Ambivert!

Pernahkah merasa bahwa kepribadian kita bukanlah introvert tetapi juga bukan ekstrovert banget?
*yes*jawab sendiri.

Rupanya, kepribadian tidak hanya dua: introvert dan ekstrovert. Ada satu lagi yang disebut dengan 'ambivert'. Kabarnya, separuh penduduk dunia masuk ke dalam kelompok kepribadian ini. Saya cari di Online Oxford Dictionary, ambivert diterjemahkan sebagai "orang yang punya kualitas seimbang dari seorang introvert dan ekstrovert dalam dirinya".

Kata 'ambi' sendiri memiliki arti '(di) kedua sisi'. Jadi, jelas sudah bahwa ambivert ini akan mempunyai sebagian ciri dari kepribadian introvert serta sebagian lain dari ekstrovert.

Penasaran, saya pun membuka beberapa artikel tentang pertanda orang berkepribadian ambivert. Here are some of them:

  1. Ketika ada di luar lingkungan sendiri, mungkin kamu tidak ingin mengawali percakapan dengan orang asing
  2. Kamu sebenarnya senang bertemu dengan orang baru, tapi terkadang kamu tidak merasa nyaman jika harus menemui mereka tanpa disertai orang yang kamu kenal
  3. Tampilan kamu yang kalem dalam urusan profesionalitas seringkali tidak seperti yang dibayangkan oleh teman-teman dekat kamu.
  4. Kamu tidak bisa menghabiskan waktu terlalu banyak dengan orang lain ataupun sendirian terlalu lama. Terkadang kamu perlu menghabiskan akhir pekan sendirian.
  5. Dalam berinteraksi dengan orang lain, kamu tergolong yang bisa menyesuaikan diri. Jika orang(-orang) di sekitarmu suka bicara, kamu akan mendengarkan. Sebaliknya, jika teman ngobrol kamu pendiam, kamu bisa memecah kebisuan. Intinya, kamu tahu benar kapan harus bicara kapan harus menjadi pendengar yang baik.
  6. Kamu cukup rendah hati untuk mengakui kesalahanmu.
  7. Seringkali kamu mendapati dirimu senang memperhatikan apapun yang terjadi di sekitarmu. Hanya mengamati. Di lain kali, kamu ikut berpartisipasi di dalamnya.
  8. Kamu tidak begitu ahli dalam membuat keputusan. Ada banyak hal yang kamu pertimbangkan sebelum menyampaikan keputusanmu pada orang lain.
  9. Menjadi pusat perhatian bukan momen favoritmu; meskipun kamu tidak keberatan dengan sedikit perhatian dari orang lain.

 So, are you one of those ambiverts?

Wednesday, 20 April 2016

Sebelum Mempublikasikan Komentar ...

Saya suka membaca berita di internet atau postingan di media sosial dan -kadang kala- membaca komentar yang menyertainya. Kenapa baca bagian komentar? Karena kepo. Ingin tau pendapat orang lain tentang topik yang dibicarakan. Terkadang bagian komentar ini seru, tetapi seringkali juga membuat gondok di hati, sebal, dan perasaan negatif jenis lainnya.

Pernah terlintas, kenapa sih, harus ada kolom komentar di setiap berita atau posting di media sosial? Terutama berita ya, itu kan pemberitahuan, kenapa pula harus dikomentari? Lain halnya di medsos, yang sebagian isinya curhat (yang minta dikomentari), doa (yang minta diaminkan), foto (yang minta di-like), atau malah posting kontroversi yang mungkin memang sengaja memancing komentar dari pihak kawan atau lawan. No offense.

Dulu, saya sendiri suka meninggalkan komentar di status orang, di media sosial; tidak sekarang. Dulu, komentar bisa diketik dan di-enter langsung tanpa dipandang lagi. Tapi sejak menemukan 'perang komentar' yang tidak perlu di sebuah media sosial terkenal, saya pikir, ada kalanya kita justru tidak perlu berkomentar, supaya tidak menimbulkan perselisihan. Entahlah, bisa jadi ini pengaruh kepribadian plegmatis saya yang cenderung menghindari konflik.

Nah, menurut saya, berkomentar itu sah saja kok, karena itu adalah bentuk ungkapan pendapat kita terhadap suatu wacana, berita, atau sekedar status. Lagipula, reformasi sudah membuat kita sangat bebas mengutarakan isi hati dan pikiran; ditambah dengan keberadaan beragam media yang memungkinkan kita menyampaikannya kepada khalayak ramai. Tapi, sebelum mempublikasikan komentar, coba deh tanyakan hal-hal berikut pada diri sendiri:


  • Sudahkah saya menggunakan bahasa yang baik dan -lebih penting lagi- sopan?
  • Apakah nanti akan ada orang yang tersakiti oleh komentar saya?
  • Apakah komentar saya sesuai topik, atau malah OOT alias out of topic?
  • Apakah komentar ini bermanfaat untuk yang baca?
  • Perlukah komentar ini saya sampaikan, atau lebih baik disimpan?


Jika banyak jawaban tidaknya, ya lebih baik pencet backspace yang banyak atau ctrl+A lalu delete. Atau kalau memang gatel pengen komentar tapi takut komentarnya disalahartikan dan atau berpotensi memicu 'kekisruhan', tulis status sendiri tanpa menyebut merk itu lebih bijak. Jika suka menulis, bisa juga menulis artikel yang lebih panjang seperti di note atau blog pribadi; yang kemungkinan lebih bermanfaat.

Salam bijak dalam berkomentar!

Tuesday, 5 April 2016

Tamparan dari One Day One Post

Ketika membuka laman Facebook sore hari ini, saya menjumpai sebuah post dari adek kos dulu, berupa tautan dari blognya. Setau saya, adek kos yang bernama Cindi Riyanika ini sudah malang melintang di dunia tulis-menulis. Maka tergeraklah saya untuk membuka tautan di postingannya tersebut. Detail bisa dilihat di sini.

Singkat kata, saya menemukan istilah One Day One Post. Selama ini, saya hanya kenal One Day One Juz (ODOJ) dan One Day One Page (ODOP). Oh, rupanya ada pula program satu hari satu post. Setelah mencari ke sana kemari, bertemulah saya dengan page One Day One Post di Facebook. Kok ya saya baru ketemu sekarang. Tapi tak apa, pasti ada hikmah dibaliknya.

Nah, buat saya yang masih suka moody untuk menulis, padahal ngakunya suka menulis, saya dibuat malu oleh postingan di page One Day One Post. Berikut beberapa postingan yang membuat saya menaruh tangan di mata karena merasa tertohok dan malu sama diri sendiri (jangan tanya kenapa tangan saya lari ke mata-oot).

Mau nulis tapi nggak punya ide? Makanya banyak baca, bergaul, dan lebih peka. Ide bertebaran dimana-mana, tinggal mau dipungut atau dibiarkan saja.

Katanya mau jadi penulis dan menghasilkan buku? Masa nulisnya pas lagi mood doang? Kalau moodnya datang cuma tiga bulan sekali, piye?

Salah kegiatan yang menghambat kita menulis adalah, terlalu banyak menghabiskan waktu di depan gadget. Mantengin whatsapp, bersosial media, behaha-hihi nggak jelas, dan sebagainya.
Agar bisa menulis setiap hari, maka paksalah diri sendiri. Jangan malas.

Jika aku menulis hanya ketika mood datang saja, maka hancurlah sudah mimpi itu. Aku tidak akan menjadi penulis.

Jika saya menunggu mood baru kemudian menulis, maka tulisan saya itu tak akan pernah ada. Menulis itu boleh jadi sama dengan menikah, harus disegerakan!

Duh. Kalimat di atas semacam tamparan di pipi kanan kiri, menyadarkan. Semoga membawa kebaikan. 

Friday, 1 April 2016

Mengajar Itu Belajar

Mengajar itu sama dengan belajar.

Saya baru mengerti konsep ini ketika saya menjadi guru. I have always thought that teachers know everything. Guru terlihat menguasai semuanya. Setidaknya itu yang saya rasakan ketika menjadi murid, baik di sekolah menengah atau universitas. Beliau-beliau para guru selalu terlihat tau tentang materi pelajaran dan kuliah, bisa menjawab pertanyaan, dan membantu memecahkan masalah kami para pencari ilmu.

Waktu berada di posisi mereka, saya merasa, ternyata tidak mudah lho, menjadi guru yang resourceful, alias bisa menjadi sumber bantuan anak murid ketika mereka bertanya atau meminta penjelasan tentang materi di kelas.

Ternyata, tidak semua pertanyaan dari mereka mudah dijawab.
Ternyata, guru tidak tau semuanya.
Ternyata, ada materi baru yang belum pernah dipelajari tapi harus disampaikan ke murid.
Dan ternyata-ternyata lainnya.

Untuk itu, guru pun harus selalu belajar, mempelajari materi yang mereka pun belum terlalu kenal. Demi pertanyaan yang mereka masih ragu atau sama sekali tidak tahu jawabannya, mereka harus belajar lagi, mencari, membaca lagi.

Bahkan untuk urusan di luar materi pelajaran, guru juga akan terus belajar. Misalnya, cara mengajar. Waktu kuliah, saya punya dosen favorit yang sering menerapkan berbagai macam cara mengajar; membuat saya menunggu hal baru apa yang akan dia bawa ke kelas. Cara mengajar yang itu-itu saja kemungkinan akan membuat sebagian murid bosan. Itulah sebabnya, guru disarankan untuk terus berburu metode mengajar yang menyenangkan dan beragam.

Demikian pula dengan cara memperlakukan anak murid. Ada buanyaak jenis murid yang akan mereka hadapi, dari A, B, C, sampai yang model Z. Satu metode untuk seorang anak bisa jadi tidak manjur diterapkan pada anak yang lain. Perbedaan kepribadian, daya tangkap, kondisi keluarga, dan keadaan ekonomi serta lingkungan pergaulan akan membentuk berbagai jenis murid yang berbeda. Dan tentunya, mereka membutuhkan perlakuan yang berbeda.

Terakhir adalah tentang manajemen diri. Untuk bisa menjadi guru yang baik, tenang dan senang kala mengajar, seorang guru perlu manajemen diri yang baik. Satu yang harus dipegang adalah be a professional teacher. Artinya, ketika mereka berada di sekolah atau kampus untuk mengajar, maka kepentingan dan masalah pribadi harus dikesampingkan. Percayalah, guru yang terlihat bahagia saat mengajar akan memberikan efek baik bagi para muridnya.

Over all, keharusan untuk selalu belajar inilah yang membuat saya menyukai profesi sebagai guru, meskipun kadang dibuat lelah oleh tantangan yang muncul. I call it a dynamic job. We grow together with our students.

5.50 PM: Menikmati Waktu

Di kala senja menjelang azan magrib, Beberapa orang sudah menikmati waktu di rumah, Beberapa masih berjuang mengendarai motor atau mobil...