Saturday, 20 May 2017

Of What So Called "Challenge"

Challenge, atau tantangan, adalah sebuah kata sakti bagi beberapa orang. Entah siapa saya tidak tahu, tetapi setidaknya itu berlaku bagi saya. Maksudnya sakti? Well, tantangan membuat saya termotivasi untuk melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan, atau melakukan sesuatu dengan cara yang 'lebih': lebih sering, lebih tepat waktu, lebih banyak, dan sebagainya.

Seperti beberapa bulan yang lalu, kakak saya memberikan tantangan untuk menulis minimal dua post di blog masing-masing; dengan sistem reward -yang didapatkan dengan menulis sejumlah post- dan punishment -jika menulis kurang dari dua post. Alhasil, saya pun berusaha untuk lebih rajin mencari ide untuk menulis sesuatu. Meskipun belakangan tantangan ini memudar kesaktiannya (ehm), tapi setidaknya dia pernah menjadi pelecut semangat.

Di dunia kerja bagian pendidikan yang saya jalani, selalu ada tantangan ketika menghadapi murid; berupa pertanyaan dan keinginan 'membahagiakan' murid di waktu belajar mereka. Secara otomatis, dua jenis tantangan ini membuat saya memaksa diri untuk lebih banyak membaca dari berbagai sumber. Memaksa diri itu tidak selalu buruk lho, by the way; asal tujuan dan caranya baik.

Dari pengalaman sendiri, saya pun hobi memberi challenge untuk murid saya. Contohnya, tantangan untuk menjelaskan materi baru -yang mereka cari sendiri di internet atau buku- kepada teman-temannya, mencari atau membuat puisi yang berhubungan dengan topik yang dibahas untuk kemudian dibacakan di depan kelas, kuis tebak arti kata dari vocabulary yang sudah pernah mereka baca, berbicara selama satu menit dengan topik yang sudah ditentukan secara spontan, dan sebagainya. Harapannya, tentu supaya mereka melakukan 'lebih'. Meskipun pada akhirnya tidak semua terkena efek sakti dari challenge saya; tetapi setidaknya ada sejumlah murid yang kemudian melakukan hal 'lebih' sesuai harapan saya.

Dan hari ini, sudah sepekan lebih saya melewati hari tanpa mengisi blog maupun menulis sesuatu di buku jurnal, saya merasa sudah saatnya kembali mencari tantangan.  

Something like this, perhaps?
I'll make my own

Sunday, 7 May 2017

Hujan: Dibenci dan Dicintai

"Yaaah...ujan"
"Alhamdulillah ujan"
"Untung ujan!"
"Ujan, ga jadi jalan-jalan deh kita"
"Ujan-ujanan yuk!"
"Hmmm...bau tanah basah. Enak!"
"Bikin teh panas enak nih, ujan-ujan"
"Ujan?? Padahal baruu aja jemur"
"Duh, bakal macet nih pasti kalau ujan begini".

Saat titik titik hujan  mulai turun, akan ada berbagai kata yang manusia ucapkan; manakah yang lebih sering kita ucapkan?
----
Hujan, keberadaannya dibenci tetapi juga dicintai. Seperti halnya matahari. Dan dua-duanya tak peduli apa anggapan yang tertuju kepadanya; mereka akan tetap ada karena sudah ditugaskan oleh Sang Pencipta mereka.
----
Beberapa waktu yang lalu, saya mengunjungi sebuah tempat wisata. Bersama saya, anak-anak remaja yang baru usai berjuang menghadapi ujian. Sampai di tujuan, hujan mendadak turun. Nggak mendadak juga sebenarnya, karena sebelumnya sudah ada sinyal berupa langit yang mendung.

"Coba kalau nggak hujan ya, miss, kita bisa main ini itu. Kenapa sih mesti ujan?" Kira-kira seperti itu gumaman anak murid saya saat kami berjalan bersama menggunakan payung menerobos hujan, demi melihat-lihat sekitar lokasi wisata. Saya tertawa pelan; menyadari bahwa saya juga sempat terlintas hal yang sama.

"Padahal hujan kan berkah ya, miss, tapi kan kalau kaya gini kadang sebel juga", satu kalimat lagi dari si anak murid. Dan satu lagi anggukan saya meng-amin-i kata-katanya. Kami lalu mengobrol, sedikit tentang hujan, mencoba berdamai dengan hujan yang 'mengganggu' agenda wisata kami.

brilio.net
Di ujung gerbang, ketika kami harus mengembalikan payung kepada si penyewa, terdengar lagi satu celetukannya semacam ini "Ujan begini emang rejekinya yang nyewain payung ya". That's it!

Sungguh, pengetahuan kita sangatlah terbatas ya. Ketika kita mengira sesuatu yang terjadi membuat kita merugi; ternyata di sisi lain, dia memberi kebahagiaan untuk orang lain; mungkin di sisi dunia yang sedikit berbeda dengan kita.

Hujan yang dicaci oleh sejumlah orang, ternyata membawa berkah, rezeki bagi adik-adik dan bapak-bapak yang menyewakan payung sore itu. Begitu pula dengan sejumlah penjaja makanan dan minuman. Mereka mendapat rezeki lewat pengunjung yang ingin mencari kehangatan atau sekedar mencari tempat berteduh.

Allahumma shoyyiban naafi'an. Ya Allah, turunkahlah hujan yang bermanfaat. (

Thursday, 4 May 2017

Wisata Buku 24 Jam: Big Bad Wolf

Big Bad Wolf Book Sale. Pertama kali melihatnya sekitar awal tahun 2017; seketika tertarik karena mengetahui bahwa itu adalah pameran buku berbahasa Inggris. Time went by dan BBW terlupa begitu saja. Akhir April lalu, akhirnya berkesempatan mengunjungi book sale yang katanya ditunggu-tunggu oleh banyak orang itu. 

Sebelum berangkat, ada satu berita negatif yang menurunkan minat: rame banget, ngantri untuk bayar bisa sampai satu jam! Wow! Tapi akhirnya kami (saya, suami, dan adik-adik) berangkat jua, dengan niat "Buat pengalaman. Kalau menarik ya bisa dateng lagi, kalau nggak ya, cukup tau aja". 

Mengingat kabar yang sudah terlanjur didengar sebelumnya, kami memutuskan berangkat di malam hari, sekitar jam8.30. Harapannya, sudah tidak terlalu ramai pengunjung jadi kami tidak harus mengantri lama kalau nanti akhirnya kami beli buku. Sesampainya di ICE, rupanya masih banyak pengunjung yang baru masuk ke area pameran. Surprise pertama: melihat tidak sedikit orang yang bawa koper ke dalam. Udah macem di bandara 😁

Di BBW ini, pintu masuk dan pintu keluar dibuat berjauhan; jadi pengunjung tidak masuk dan keluar dari pintu yang sama. Mungkin supaya tidak perlu berdesakan kali ya. Di dekat pintu masuk, kami disambut deretan buku berbahasa Indonesia, sebagian besar (atau malah semuanya) terbitan Mizan. Karena tidak ada yang menarik hati, perjalanan berlanjut ke area berikutnya. All english books.

Buku Apa Saja?
Di Big Bad Wolf, kita bisa menemukan buanyaaak sekali buku berbahasa Inggris; dalam berbagai bentuk dan rupa. Jumlah kategori bukunya juga lumayan banyak; mulai dari fiksi (yang masih terbagi menjadi general fiction, romance, classic literature, short-story with picture), buku kumpulan aktivitas untuk anak-anak, masak-memasak, bercocok tanam, kerajinan tangan, buku referensi (termasuk kamus), biografi, musik, hingga olahraga. Buku-buku dalam kategori yang sama diletakkan di satu keranjang besar dan diberi keterangan, sehingga mudah bagi pengunjung untuk mencari buku berdasar kategori.

Harga?
Buku-buku bahasa Indonesia yang dipajang di deretan dekat pintu masuk dibanderol mulai 15.000 rupiah. Sedangkan buku berbahasa Inggrisnya dijual dengan beragam harga; ada yang 30.000 rupiah, 50.000, 65.000, 85.000; sampai 300.000 rupiah juga ada. Untuk novel (bagian yang koleksinya paling lama saya telusuri), rata-rata dilabeli harga antara 50-85.000.
Dan sejujurnya, saya nggak tahu harus bilang itu murah atau mahal 😁

Pelayanan dari Penyelenggara
Di dalam ruangan, banyak petugas yang berada di dekat tumpukan buku-buku. Mereka berpakaian khusus, sehingga mudah dikenali. Keberadaannya membantu para pengunjung yang ingin sekedar bertanya hingga minta dibantu untuk mencari buku tertentu.

Sedangkan untuk pembayaran, ternyata memang benar berita yang sudah sampai di telinga saya sebelum berangkat: antriannya panjaaang. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.20an (pagi) saat kami akan membayar belanjaan buku, dan antrian masih juga panjang. Sebenarnya, jumlah kasirnya cukup banyak; tapi masih belum sebanding dengan jumlah pengunjung. Sudah begitu, antrian juga bergerak lambat. Ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh banyaknya buku yang dibeli oleh pengunjung. Untungnya, kami mendapat shortcut untuk membayar. Saat itu kami sudah berada di antrian selama lima belas menit, dan baru bergerak sekitar dua kali. Salah satu petugas menghampiri dan mengajak beberapa pengunjung untuk membayar di kasir lain; di area luar antrian. Alhamdulillah kami terangkut ke kasir spesial; jadi tidak perlu menunggu lebih lama lagi.

Begitulah, pengalaman belanja hingga dini hari di Big Bad Wolf. Maybe I'll come again next year if they have it in Jakarta. Overall, saya menikmatinya. Terutama karena ini pengalaman pertama ke bazaar buku sampai pagi. Menghirup udara dini hari rupanya seru juga. Minusnya, seperti mengelilingi book sale atau pameran buku pada umumnya, kaki pegel-pegel; ditambah kantuk yang membuat mata berat memilih-milih buku yang jumlahnya bejibun.

Malam sudah larut, tapi masih ramai pengunjung.
Nggak berdesakan sih, tapi RAMAI

Antrian udah mirip kaya di supermarket,
Bedanya, troli dan keranjang isinya buku semua

P.S. Sepengamatan saya, pengunjung membayar dengan kartu; entah debit atau credit card. Tapi kalau berniat memborong, mending gitu sih daripada bawa-bawa duit banyak di dompet.

5.50 PM: Menikmati Waktu

Di kala senja menjelang azan magrib, Beberapa orang sudah menikmati waktu di rumah, Beberapa masih berjuang mengendarai motor atau mobil...