Friday, 19 November 2021

#Curhat: Akhirnya Nulis Paper Lagi

Juni lalu akhirnya daku memutuskan untuk mengirim abstrak Classroom Action Research (CAR) untuk acara tahunan LIA Colloquium (semacam seminar atau konferensi akademis), di menit terakhir deadline pengiriman abstrak. It has been in my bucket list since long time ago. Beberapa tahun lalu pernah bertekad untuk mengirim full paper CAR, setidaknya sekali pas masih jadi guru di LIA. Baru kesampaian tahun ini. Dan berita baiknya muncul di email nggak lama kemudian, my abstract was accepted! Itu artinya daku harus melanjutkan proses penulisan. Super excited sekaligus bingung harus mulai dari mana. 

Singkat cerita, berselancarlah daku di internet, mencari-cari referensi terkait topik penelitian, mengunduh semua jurnal CAR yang pernah dipublikasikan LIA, mencari tau cara menulis paper, dan seterusnya dan sebagainya. Pokoknya banyak. Rasanya seperti nggak tau apa-apa dan harus banyak baca. Jadiii, ini adalah pertama kali menulis makalah penelitian setelah 10 tahun lamanya. Iya, terakhir kali daku membuat karya ilmiah ya pas skripsi dulu. Dan ilmu menulisnya sudah menguap tak tersisa. Hahaha. 

Begitulah. So I started from zero (or even minus??). 

Hampir dua bulan berlalu, si paper belum terlihat wujudnya. Bahkan membuat file Ms Word pun belum. Yang ada hanya sebuah folder berjudul CAR, dengan sederet file PDF berupa jurnal dan buku referensi. Beberapa sudah dibaca, beberapa baru disimpan saja. I was stressed out. Memang benar, semakin banyak baca, kita akan menemukan lebih banyak hal lagi yang ternyata belum kita ketahui. It hit me badly, membuat daku sulit memulai proses menulis.

Akhir Agustus, akhirnya paper pun mulai ditulis. Lancar? Boro-boro. Seiring banyaknya referensi yang dibaca, bertambah puyeng kepala awak. It's hard, really. Dengan tugas tugas utama lain yang harus dikerjakan, paper ini pun terpinggirkan. Nasibmu, nak. 
Sayangnya, aktivitas lain pun jadi nggak maksimal dan nggak bisa dinikmati sepenuhnya karena terus kepikiran paper yang belum kelar. 

At this time, akhirnya daku menguatkan niat untuk segera menyelesaikan tulisan. The power of kepepet sungguhan muncul kali ini. Kepepet deadline yang sudah semakin dekat: 30 September. Dimulai dengan mengeluarkan semua ide tulisan yang ada di kepala dan menuliskannya di buku catatan, memilah mana yang akan ditulis, menyalin judul masing-masing bagian dari paper yang sudah diterbitkan LIA, membuka kembali file-file kelas yang saya jadikan subjek penelitian, dan mulai mengetik. Memang benar kata dosen saya dulu waktu kuliah, jangan mulai menulis dengan mengetik di Ms Word karena kamu akan kehabisan ide. Lebih baik tuliskan dulu ide-ide pokoknya, baru mulai menuliskannya.

To make long story short, full paper selesai sekitar tiga hari sebelum tenggat waktu pengumpulan. Setelah mengirimkannya kepada senior untuk minta feedback dan grammar check, ku tutup semua jendela file di laptop dan mematikannya, mengendapkan tulisan. Sehari berikutnya, barulah tulisan dicek lagi, ditambah di sana-sini; sebelum akhirnya dikirim. Dini hari di tanggal 30 September ketika akhirnya paper terkirim, it felt so good, lega sekali rasanya. Tidurpun jadi lebih nyenyak di malam-malam berikutnya. 

Just Do It
Kadang-kadang ketika kita bingung harus ngapain dulu, solusi paling okenya memang "udah, lakuin aja." Mulai aja dulu, nanti akan ada jalan terbuka ketika sungguhan berusaha. Atau kalau tidak pede macam daku, setidaknya tulis perkiraan langkah-langkah; hal apa saja yang akan dilakukan. As for me, setelah brainstorming tentang apa yang akan ditulis, ide-ide pun bermunculan seiring proses penulisan. 

Paper untuk LIA Colloquium ini memang sudah selesai, tapi masih akan ada revisi dari tim seleksi. But for me, this is an achievement already. Tentu kalau dibandingkan teacher-researcher yang lain, I'm nothing tapi untuk pencapaian pribadi, it's something. Pengalaman menulis ini juga membuatku semakin respek dengan bapak ibu guru yang rajin menulis paper untuk penelitian tindakan kelas (PTK, istilah bahasa Indonesia untuk CAR) di tengah kesibukannya sebagai guru. They are amazing.      

Monday, 11 October 2021

Nggak Punya Foto Bapak

Kita melihat foto saat ingin mengingat, mengenang sesuatu; benda, peristiwa, orang yang kita kenal atau sekedar pernah ditemui. I guess that's what photos are for. 

Saat bapak nggak ada, akhir September 2019, barulah tersadar kalau foto terbaru bapak beberapa tahun terakhir nyaris ngga ada di folder. Hanya ada beberapa, bisa dihitung pakai jari. Itupun hasil kiriman orang lain, atau foto yang objek utamanya bukan bapak; beliau "nggak sengaja" masuk di frame. 

Iya, meskipun rutin pulang kampung, setidaknya 3 bulan sekali, ku tak pernah foto bareng bapak atau khusus memfoto beliau. Bukan cuma bapak, foto mamak (panggilan saya untuk ibu) pun sama, nyaris tak ada. Bukan tak sayang, hanya tak terbiasa mengambil foto anggota keluarga. Kalau pulang, cukup melihat dan ngobrol. I took it for granted, berpikir "Nanti beberapa bulan mendatang juga ketemu lagi." 

Dan saat wajah bapak udah ngga bisa ku lihat lagi, barulah terasa "kok aku nggak punya foto bapak tahun tahun terakhir sih??". Nyesel? Iya. Aku yang tak punya ingatan kuat tentang masa lalu pasti akan sering kesulitan membayangkan wajah bapak di tahun-tahun terakhirnya. Tapi, ketika dipikir lagi, mungkin akan lebih sedih kalau punya banyak foto bapak di masa sakitnya; karena beliau tidak lagi terlihat kuat dan berenergi seperti ketika masih cukup sehat. 

Maka berpuaslah diriku hanya dengan memandang foto bapak zaman dahulu yang berserakan di album foto. Saat beliau masih menjadi kepala desa, fotonya ada di hampir semua acara, dengan badan beliau yang masih berisi, tegap, dan kuat; dengan senyum lebarnya. Ketika membuka folder album lama di laptop atau Google Photos, lalu menemukan ada foto bapak biarpun tidak sepenuhnya terlihat, rasanya seperti menemukan harta karun. Apalagi saat ada video di sana. Ah, rasanya gembira sekaligus sedih, tentu saja. 

So now, ketika mudik ke Purworejo, ku berusaha untuk mengambil foto dan video orang-orang yang ku temui, nggak cuma duo keponakan yang unyu, tapi juga foto mamak, mas, mbak, saudara, dan teman yang ditemui; untuk kemudian dilihat-lihat lagi sekembalinya ke Jakarta. Memories are supposed to be captured, and cherished, right? 

Monday, 18 January 2021

Tentang Panggilan "Sayang"

Jika kembali ke masa sekitar sepuluh atau lima belas tahun belakang, panggilan "sayang" ini tidak sepopuler sekarang. Penggunaannya terbatas, bisa dibilang demikian. Waktu saya masih remaja, jarang sekali panggilan ini terdengar, bahkan between lovers sekalipun. Well, mungkin mereka saling memanggil sayang tapi nggak di depan umum kali, ya. Sekarang? Panggilan ini terkesan diumbar; nggak spesial, nggak eksklusif. 

Belakangan, panggilan "sayang" seliweran di media sosial (yang saya gunakan), di percakapan atau status. I even surprised myself dengan menggunakan kata itu lebih sering dibandingkan sebelum-sebelumnya. Panggilan "sayang" ini tidak lagi hanya ditujukan kepada orang terdekat seperti orangtua ke anak atau sebaliknya, ke pasangan atau (yang cuma berstatus) pacar, tapi lingkupnya lebih luas. 

Antar Teman
Biasanya sih, antar teman perempuan. Serem juga kalo antar teman laki-laki 😆. Menariknya, panggilan sayang ini tidak hanya dipakai antar teman dekat, tapi juga antar teman yang...cuma teman aja gitu. Ke adik kelas, ataupun teman yang usianya lebih muda, kata ini juga sering digunakan, sepengamatan saya. 

Ada juga yang memakainya secara casual, ke teman yang berlawanan jenis. Kalimat yang sering saya baca adalah "Canda,sayang". Sayang beneran? Entah. Mereka lah yang tau.

Guru ke Siswa, & Vice Versa
This is what I surprisingly did. Yang sering saya temui adalah dari guru wanita, memang, ke siswinya. Pernah juga sih, mendengar guru laki-laki yang memanggil siswi dengan kata "sayang". Nggak banyak, tapi ada. 

Sebaliknya, ada juga siswi bahkan siswa yang memanggil gurunya dengan sebutan "sayang". Again, inipun saya juga mengalami. Kalau dari guru ke muridnya (sesama jenis ya), mungkin masih mudah diterima, tapi kalau sebaliknya? Cukup menarik😆. Bagi mereka yang berpandangan bahwa guru harus dihormati, mungkin akan merasa bahwa memanggil guru dengan "sayang" adalah hal yang kurang sopan. Tetapi lain halnya dengan mereka yang harus mengajar generasi milenial dan alpha, mungkin pandangan mereka berbeda. Me? Yang memanggil saya dengan sebutan "sayang" biasanya mereka yang dekat secara personal, so for me, it's fine selama tidak berlebihan. 

Tapi untuk orang yang cukup old fashioned macem saya, panggilan ini cukup bikin jengah kalau ditujukan ke lawan jenis, dalam konteks hubungan guru-murid ataupun hubungan yang biasa-biasa aja, tidak dekat. 
---
Sopan atau tidak sopan, baik atau tidak baik, tepat atau tidak tepat; lagi -lagi penggunaan kata "sayang" ini akan dinilai sesuai prinsip yang dipegang oleh yang memanggil ataupun yang dipanggil. 

Cuma rasanya, IMHO, kok sepertinya sebutan "sayang" ini tidak sekuat dulu maknanya ya. Tidak sungguhan "sayang", hanya lip service semata. That's what I feel. Tapi percayalah, if I call you that way, I mean it😉🥰

Pesan saya, mind what you say. Tidak semua orang nyaman dipanggil "sayang". Tidak semua lawan jenis bakal biasa aja kalau dipanggil "sayang", ada yang jadi terbawa perasaan alias baper. So, perhatikan  pilihan kata kita dan orang yang kita ajak bicara, ya. 

Wednesday, 6 January 2021

Enaknya Berbaik Sangka

Chat yang Tidak Berbalas

 "Gue chat kok ga dibales sih, padahal online?"

Mungkin dia sedang sibuk,

mungkin dia sedang mengerjakan pekerjaannya yang belum selesai,

mungkin dia sedang bercengkerama dengan keluarganya,

mungkin dia sedang membahas hal lain yang lebih penting

mungkin dia sedang mikir, mau balas apa.

Atau jangan-jangan, dia tidak berkenan dengan pesan kita? Merasa terganggu?

Seharusnya kita lebih sabar menunggu. Toh kalau memang dia merasa perlu membalas dan memang chat-nya penting, tentunya akan dibalas.

-------

Gitu Aja Marah! Gitu aja Sedih! Baper!

Mungkin dia sedang ada masalah dengan keluarga atau temannya,

mungkin orangtuanya baru saja bertengkar di depannya,

mungkin seseorang menabrak motornya pagi itu,

mungkin dia lagi PMS,

Atau memang kata-kata kita yang terlampau kasar; perbuatan kita menyinggung dia?

Seharusnya kita bisa lebih memaklumi, lebih berempati.

------- 

Enak banget rasanya ya, kalau bisa seperti itu setiap kali punya pikiran negatif tentang sesuatu atau seseorang. Sebagian dari kita lebih sering berprasangka buruk lebih cepat dibanding memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang lain, lalu menerka-nerka, bahkan mereka-reka cerita. Padahal kita tidak tau kondisi apa yang sedang dialami orang tersebut.

Husnudzon atau berbaik sangka ini memang bukan hal yang mudah untuk selalu diterapkan sih. Tapi layak untuk dilatih. Caranya? Ketika terlintas prasangka buruk, segera cari lawannya. Kalau kata Aa Gym, carilah seribu alasan untuk berbaik sangka pada seseorang. Dengan begitu, (semoga) hati dan pikiran kita akan lebih tenang.

5.50 PM: Menikmati Waktu

Di kala senja menjelang azan magrib, Beberapa orang sudah menikmati waktu di rumah, Beberapa masih berjuang mengendarai motor atau mobil...