Tuesday, 25 April 2017

Untuk Apa Bekerja?

Q: Buat apa kerja?
A: "Daripada gua bengong ga ngapa-ngapain, mending kerja!" -😅
A: "Biar dapet banyak duit, biar kaya, bisa belanja apa aja!" -si gemar belanja
A: "Supaya ilmunya kepake" 
A: "Untuk menafkahi anak istri", kata si kepala keluarga
A: "Untuk beribadah". Ini jawaban yang seringkali dibilang klise (klise: ide/gagasan yang sering dipakai) oleh beberapa orang 
"Kerja untuk apa?" tergolong pertanyaan yang sederhana secara struktur kalimat,tapi jawabannya bisa bermacam-macam, mulai dari yang sederhana hingga yang rumit. Tentunya orang bekerja mempunyai tujuan; yang bisa jadi unik ataupun klise. Ada yang cuma punya satu tujuan, ada juga yang tujuannya lebih dari satu.

Kerja Untuk Mendapatkan Rejeki (uang-red) (?)
Well, banyak orang meyakini bahwa rezeki berupa uang itu harus dicari, diupayakan. Salah satunya adalah dengan bekerja, sebagai apapun profesinya. Malah, sebagian orang berpendapat bahwa kerja itu ujung-ujungnya ya duit. Yang diharapkan pasti adalah duit; agar bisa memenuhi kebutuhan ini itu, supaya bisa melakukan ini itu, dan seterusnya. Begitukah?

Saya jadi teringat sebuah ceramah singkat dari Ustad Salim A. Fillah yang di dalamnya membahas tentang bekerja dan rezeki. Beliau menyampaikan bahwa rezeki yang berupa harta itu sudah dijamin oleh Allah, Sang Pencipta manusia. Jadi, ketika bekerja, sebenarnya bukan untuk 'mencari' - karena sudah dijamin-, tapi lebih untuk beribadah dan bersyukur. Jadi, jawaban klise di atas memanglah jawaban yang luar biasa bagus, jika benar datang dari hati.

Lebih jauh lagi, beliau menjelaskan bahwa rezeki itu kan bukan hanya uang, ada jenis lain seperti kesehatan, keluarga, anak, dan sebagainya. Jadi, jikapun kita sudah bekerja keras tapi hasil yang didapatkan terasa tidak sesuai, bisa jadi memang 'jatah' rezeki kita yang berupa harta hanya segitu. Namun, bisa jadi ada jenis rezeki yang Allah karuniakan untuk kita.

Jadi seharusnya, seharusnya ini ya, orang bekerja memang bukan semata mencari harta, uang. Paling tidak, itu bukanlah tujuan utama. Ada tujuan lain yang lebih besar maknanya daripada sekedar mendapatkan segepok uang segenggam berlian.

We Get What We Aim for
Kita akan mendapatkan apa yang kita niatkan di awal ketika akan melakukan sesuatu. Jadi, sepertinya sayang kan ya, kalau bekerja 'hanya' untuk mendapatkan uang? *ngomong di depan kaca*

Friday, 14 April 2017

(Mungkin) Kita Terlalu Banyak Menunggu

Di banyak bagian dari kisah hidup kita, ada banyak waktu yang terpakai untuk menunggu.

Di stasiun,
Kita menunggu kereta datang
Kemudian menunggu hingga kereta berangkat
Ketika akan turun, kita menunggu antrian untuk bisa keluar dari rangkaian kereta
Menukarkan kartu, pun ada beberapa menit terpakai untuk menunggu

Di restoran cepat saji,
Antrian sudah menunggu.
Lalu ada saatnya kita akan menunggu makanan datang (bahkan di tempat makan cepat saji)

Di tempat janjian,
Terkadang teman janjian membuat kita menunggu beberapa lama sebelum akhirnya bisa memulai acara atau sekedar membuka percakapan

Di supermarket,
Sejumlah waktu kita habiskan untuk menunggu antrian di kasir,

Bahkan di toilet, tak jarang kita harus menunggu sekian lama demi bisa 'membuang' sesuatu

Di beberapa peristiwa, di banyak tempat, tanpa sadar kita sudah membiarkan waktu berlalu demi sebuah kata: menunggu.

*renungan saat menunggu kereta Duri-Tangerang 14/4/2017

Sunday, 9 April 2017

English Club (Annida Al Islamy) Goes to Kota Tua

After five years, I finally stepped my feet on Kota Tua, one of the most famous tourist destinations in Jakarta. I went there to accompany my students who join English Club; their mission was practicing English by having conversation with foreigners. 

Although it was a very short journey, it did satisfy my curiosity of this place. Here are the(ir) photos!

It's hot!
Shanaz and Afifah

Baroroh, Lilis, and Tedy
Esy-Silva-Desti

Malik-Mahesa, and where's Ryo?
After their 'hunting' and practicing English, I asked them to take pictures with the foreigners and we had sharing sessions right after we got together. They got some experiences, such as:
*They got rejected- not all foreigners are willing to spare their time talking to students who would like to practice English. It might be because they're busy and we must understand that, for sure.

*They were nervous at the beginning-very normal, especially for those who have never had a conversation with English native speakers- but then some of them are 'addicted' and tried to speak to more foreigners.

*Tips for learning English- they said they got some tips of learning English; the same one that I always tell them: just speak and PRACTICE.

*"Saya orang Indonesia!"- my students started the conversation in English but it turned out that the person they're talking to is Indonesian 😄 

Hopefully, today's experience will lift their spirit (of learning English) higher; encouraging them to be able to speak English much better. 

P.S. I did want to share the details of our journey; but.. maybe later.

Sunday, 2 April 2017

Mencoba-coba Rute Mudik (Jalur Tengah) Baru (Maret 2017)

Minggu keempat bulan Maret, saya kembali melakukan perjalanan darat panjang berjudul mudik. Misi kali ini adalah menengok ponakan unyu yang mukanya sudah terbayang-bayang sejak awal bulan. Dengan mengendarai mobil, saya dan suami berangkat melewati jalur biasa; via tol Cipali-Palikanci-Pejagan, dan melewati jalur tengah mudik.

Berangkat jam tujuh pagi, kami sudah sampai di pintu tol Pejagan, Brebes sekitar pukul 12.30an. Terhitung cepat karena kami sempat melewati macet panjang dari tol dalam kota Jakarta sampai di tol Cikampek. Keluar tol, ada arahan dari Google Maps untuk mengambil jalan alternatif melewati Slawi, karena sedang ada pembangunan fly over di jalur yang biasa kami lewati. Karena masih siang, dengan riang gembira kami pun mengambil jalur Slawi -kota yang sama sekali belum pernah kami lewati sebelumnya- dengan bermodalkan Maps di handphone. 

Sayangnya, sinyal GPS di handphone datang dan pergi, baik di handphone saya maupun suami (provider kartu kami sama, jadi sinyalnya pun sama saja-red). Entah bagaimana, kami bisa sampai di alun-alun Tegal, dan selepasnya, kami masuk ke jalan kecil yang kanan-kirinya sawah. Parahnya, sinyal lebih sering hilang. We were lost. Singkat cerita, alhamdulillah kami kembali ke jalan besar; lega, dan mengira perjalanan akan lancar setelahnya. But we're totally wrong! Ternyata setelah berputar-putar di wilayah Slawi/Tegal, kami hanya melewati satu titik kemacetan di daerah Brebes. Setelahnya, mulai dari Prupuk, Tegal, kami kembali terjebak macet di beberapa titik, seperti di Bumiayu, Wangon, dan Banyumas. Rupanya sedang ada pengecoran jalan serentak di jalur tengah mudik ini.

Karena hanya satu lajur yang bisa dilewati, maka kami melintas bergantian dengan antrian kendaraan dari arah sebaliknya. Yang kurang menyenangkan adalah ketika sampai di titik macet, kita menjadi pihak yang menunggu kendaraan dari arah sebaliknya lewat. Di Purwokerto, kami bahkan bisa menunggu dari mulai memandangi tukang jualan mendoan menawarkan dagangannya dan ngobrol dengan pembelinya, sampai membeli mendoan yang masih panas, mencari-cari cabe di tumpukan mendoan, dan memakannya sampai kenyang. Itupun giliran kami belum juga tiba. Harap bersabar ini ujian. Ditambah dengan oknum pengendara mobil yang melahap jalur satunya (yang harusnya untuk lewat kendaraan dari arah sebaliknya) plus kantuk dan lelah yang mulai menghampiri, kemacetan hari itu sungguh luar biasa menguji fisik dan mental 😁 Jam 11 malam kami baru sampai di alun-alun Purworejo, masih sekitar 20 menit sebelum sampai di rumah.

----  
Balik Jakarta

Berkaca dari perjalanan Brebes-Purworejo yang sampai memakan waktu nyaris 12 jam, kami memutuskan untuk mengambil rute yang sama sekali baru untuk balik ke Jakarta; yaitu Kebumen-Gombong melewati kawasan Banjarnegara dan Purbalingga, melintasi Pemalang dan Slawi dengan tujuan pintu tol Pejagan, Brebes. Rupanya jalur ini jauuuuh lebih menyenangkan dan menenangkan.

Pertama, tidak ada macet durasi lama. Perjalanan hanya sempat terhenti beberapa menit karena ada pengecoran jalan. Buat saya, salah satu krtieria perjalanan yang menyenangkan adalah tidak terkena macet panjang.

Dari tiga pilihan yang tersedia, jalur biru inilah
yang menghindarkan kami dari (kembali)
menemui kemacetan
Kedua, medan yang menantang sekaligus menghibur. Mulai dari kawasan Waduk Sempor, jalanan mulai naik-turun. Ternyata memang jalur pegunungan. Medan yang penuh tanjakan-tikungan-turunan sangat membantu suami terjaga, karena harus siap-siaga selalu dengan apa yang ada di depan. Terlebih ini jalur yang belum pernah dicoba sebelumnya. Selain itu, kanan-kiri jalan menyajikan pemandangan cantik khas pegunungan, yang membuat kami sering berseru kagum.

Ketiga, kondisi jalan yang terbilang bagus; halus dan tidak sempit. Jalan sempit, berlubang atau jalan nggronjal (tidak rata, banyak batu dsb.) memang ada, tetapi prosentasenya masih kalah jauh dengan jalan yang mulus dan nyaman untuk dilewati kendaraan.

Keempat, meskipun sinyal GPS juga datang dan pergi, kami tidak begitu khawatir karena jalur pegunungan ini hanya punya satu jalan, jadi kemungkinan salahnya kecil. Petunjuk jalan juga cukup jelas.

Meskipun tetep ada bagian tiba-tiba sudah masuk ke jalur yang bukan seharusnya, secara keseluruhan, perjalanan ke Jakarta via jalur pegunungan (begitu saya menyebutnya) ini lebih baik dari perjalanan menuju Purworejo. Recommended untuk yang mau mencoba jalur baru dan suka medan yang nggak cuma jalan lurus aja. Oh ya, perjalanan dalam rangka mencoba jalur baru ini membutuhkan waktu sekitar 6,5 jam; berangkat dari rumah jam 6an, sampai gerbang tol Pejagan sekitar jam 12.30.
---
Lewat Jalur Alternatif? Kenapa Tidak? Setelah perjalanan kemarin, itulah kesimpulan saya. Sebelumnya, untuk perjalanan mudik, kami lebih menyukai lewat jalur biasa yang sudah familiar. Jalur alternatif termasuk kurang menarik, karena kekhawatiran akan menemui jalan yang 'menyesatkan' 😁.

Berdasarkan pengalaman, ada beberapa tips untuk mencoba jalur alternatif:

#1 Usahakan search sejelas-jelasnya jalur alternatif yang akan dicoba; perhatikan secara detail daerah mana saja yang harus dilewati, medannya seperti apa, belokan ada di area mana saja. Jika ada lebih dari satu jalur alternatif di Google Maps, bisa pilih yang waktu tempuhnya paling pendek. Jangan lupa perhatikan gambaran traffic-nya: apakah banyak tanda merah (macet) atau dominan biru (lancar).

#2 Siapkan perangkat pelacak lokasi semacam Maps di handphone atau media lain. Lebih bagus lagi kalau ada perangkat GPS yang mumpuni di mobil, bukan sekedar aplikasi Maps di handphone yang sinyalnya kabur-kaburan. Ehm, curhat.

#3 Jika GPS mati atau sinyal hilang dan ada dua pilihan jalan, jangan panik. Lanjutkan perjalanan sesuai kata hati sampai bertemu papan petunjuk jalan atau orang yang bisa kita tanyai. Kalau ternyata jalan kita salah dan harus puter balik? Yaa itu memang resiko yang harus ikhlas dijalani karena sudah bersedia mencoba hal baru 😉

#4 Banyak-banyak istigfar dan berdoa supaya jalannya dimudahkan. Itu wajib pake banget. Intinya mah, mencoba hal baru tidak cukup hanya berani saja, tetapi harus diikuti dengan persiapan dan usaha. Dan doa adalah salah satu usaha yang perannya vital.

Bertemu Sahabat: Jarak dan Waktu yang Seakan Tak Berarti

Maret 2017. Kurang dari setengah jam. Hanya ngobrol di sebuah pertokoan di Jogja. Tidak sempat berfoto bersama. Itu adalah gambaran pertemuan saya dengan seorang Uswatun Khasanah, sahabat sekaligus adik yang dulu sempat hidup bersama di satu atap kos-kosan. Setelah lima tahun tidak bertemu, rupanya jodoh pertemuan kami kemarin 'hanya' seperti itu karena saya harus segera pulang ke Purworejo, ditunggu oleh Bapak dan Mamak. 

Memutar balik waktu. Januari 2017, saya juga bertemu dengan Wahida Febrisadina, another best friend of mine. Setelah beberapa bulan tidak bersua, kami punya cukup banyak waktu untuk bertemu, ngobrol kesana-kemari, makan bareng, bahkan ngobrol dengan Mamak saya. Karena berdomisili di Purworejo lah, Dina bisa meluangkan cukup banyak waktu untuk kami bertemu.

Memutar sedikit lagi ke belakang, Lebaran tahun 2016, saya juga sempat berkunjung ke rumah Wahyu Wijayanti a.k.a Yayuk, best friend since high school. Kunjungan singkat, karena itu saya lakukan di tengah perjalanan menuju Klaten. 
---
Rasanya Tak Ada yang Berbeda
Saya mempunyai teman-teman dekat yang keberadaannya jauh dari Jakarta. Dengan kesibukan masing-masing, tidak banyak waktu yang bisa kami habiskan bersama-sama seperti dulu; saat kami masih sama-sama kuliah, atau masih sama-sama menetap di Jogja. Tetapi, ada satu yang tidak berubah ketika kami bertemu kembali, meskipun sudah lama tidak berjumpa, tidak pula sering berhubungan via telepon atau media sosial, dan tidak juga dalam waktu lama: the feeling of being with them. Rasanya masih sama saja seperti dulu. Kami bisa ngobrol tentang apa saja, nyambung kemana saja, dan rasanya baik-baik saja. 

Ketika hanya bertemu sekejap setelah sekian lama tidak bertemu pun, rasanya kerinduan sudah terobati; dan keakraban dari masa lalu pun masih sangat terasa. Jarak yang membentang dan waktu yang sudah membatasi seakan tidak berarti. Those really don't matter

Seperti itukah, pertemanan yang sebenarnya? Semoga.

Dina-Me-Yayuk
Tahun Baru 2016
Taken by: Yayuk

5.50 PM: Menikmati Waktu

Di kala senja menjelang azan magrib, Beberapa orang sudah menikmati waktu di rumah, Beberapa masih berjuang mengendarai motor atau mobil...