Berangkat jam tujuh pagi, kami sudah sampai di pintu tol Pejagan, Brebes sekitar pukul 12.30an. Terhitung cepat karena kami sempat melewati macet panjang dari tol dalam kota Jakarta sampai di tol Cikampek. Keluar tol, ada arahan dari Google Maps untuk mengambil jalan alternatif melewati Slawi, karena sedang ada pembangunan fly over di jalur yang biasa kami lewati. Karena masih siang, dengan riang gembira kami pun mengambil jalur Slawi -kota yang sama sekali belum pernah kami lewati sebelumnya- dengan bermodalkan Maps di handphone.
Sayangnya, sinyal GPS di handphone datang dan pergi, baik di handphone saya maupun suami (provider kartu kami sama, jadi sinyalnya pun sama saja-red). Entah bagaimana, kami bisa sampai di alun-alun Tegal, dan selepasnya, kami masuk ke jalan kecil yang kanan-kirinya sawah. Parahnya, sinyal lebih sering hilang. We were lost. Singkat cerita, alhamdulillah kami kembali ke jalan besar; lega, dan mengira perjalanan akan lancar setelahnya. But we're totally wrong! Ternyata setelah berputar-putar di wilayah Slawi/Tegal, kami hanya melewati satu titik kemacetan di daerah Brebes. Setelahnya, mulai dari Prupuk, Tegal, kami kembali terjebak macet di beberapa titik, seperti di Bumiayu, Wangon, dan Banyumas. Rupanya sedang ada pengecoran jalan serentak di jalur tengah mudik ini.
Karena hanya satu lajur yang bisa dilewati, maka kami melintas bergantian dengan antrian kendaraan dari arah sebaliknya. Yang kurang menyenangkan adalah ketika sampai di titik macet, kita menjadi pihak yang menunggu kendaraan dari arah sebaliknya lewat. Di Purwokerto, kami bahkan bisa menunggu dari mulai memandangi tukang jualan mendoan menawarkan dagangannya dan ngobrol dengan pembelinya, sampai membeli mendoan yang masih panas, mencari-cari cabe di tumpukan mendoan, dan memakannya sampai kenyang. Itupun giliran kami belum juga tiba.Harap bersabar ini ujian. Ditambah dengan oknum pengendara mobil yang melahap jalur satunya (yang harusnya untuk lewat kendaraan dari arah sebaliknya) plus kantuk dan lelah yang mulai menghampiri, kemacetan hari itu sungguh luar biasa menguji fisik dan mental 😁 Jam 11 malam kami baru sampai di alun-alun Purworejo, masih sekitar 20 menit sebelum sampai di rumah.
Karena hanya satu lajur yang bisa dilewati, maka kami melintas bergantian dengan antrian kendaraan dari arah sebaliknya. Yang kurang menyenangkan adalah ketika sampai di titik macet, kita menjadi pihak yang menunggu kendaraan dari arah sebaliknya lewat. Di Purwokerto, kami bahkan bisa menunggu dari mulai memandangi tukang jualan mendoan menawarkan dagangannya dan ngobrol dengan pembelinya, sampai membeli mendoan yang masih panas, mencari-cari cabe di tumpukan mendoan, dan memakannya sampai kenyang. Itupun giliran kami belum juga tiba.
----
Balik Jakarta
Berkaca dari perjalanan Brebes-Purworejo yang sampai memakan waktu nyaris 12 jam, kami memutuskan untuk mengambil rute yang sama sekali baru untuk balik ke Jakarta; yaitu Kebumen-Gombong melewati kawasan Banjarnegara dan Purbalingga, melintasi Pemalang dan Slawi dengan tujuan pintu tol Pejagan, Brebes. Rupanya jalur ini jauuuuh lebih menyenangkan dan menenangkan.
Pertama, tidak ada macet durasi lama. Perjalanan hanya sempat terhenti beberapa menit karena ada pengecoran jalan. Buat saya, salah satu krtieria perjalanan yang menyenangkan adalah tidak terkena macet panjang.
Kedua, medan yang menantang sekaligus menghibur. Mulai dari kawasan Waduk Sempor, jalanan mulai naik-turun. Ternyata memang jalur pegunungan. Medan yang penuh tanjakan-tikungan-turunan sangat membantu suami terjaga, karena harus siap-siaga selalu dengan apa yang ada di depan. Terlebih ini jalur yang belum pernah dicoba sebelumnya. Selain itu, kanan-kiri jalan menyajikan pemandangan cantik khas pegunungan, yang membuat kami sering berseru kagum.
Ketiga, kondisi jalan yang terbilang bagus; halus dan tidak sempit. Jalan sempit, berlubang atau jalan nggronjal (tidak rata, banyak batu dsb.) memang ada, tetapi prosentasenya masih kalah jauh dengan jalan yang mulus dan nyaman untuk dilewati kendaraan.
Keempat, meskipun sinyal GPS juga datang dan pergi, kami tidak begitu khawatir karena jalur pegunungan ini hanya punya satu jalan, jadi kemungkinan salahnya kecil. Petunjuk jalan juga cukup jelas.
Meskipun tetep ada bagian tiba-tiba sudah masuk ke jalur yang bukan seharusnya, secara keseluruhan, perjalanan ke Jakarta via jalur pegunungan (begitu saya menyebutnya) ini lebih baik dari perjalanan menuju Purworejo. Recommended untuk yang mau mencoba jalur baru dan suka medan yang nggak cuma jalan lurus aja. Oh ya, perjalanan dalam rangka mencoba jalur baru ini membutuhkan waktu sekitar 6,5 jam; berangkat dari rumah jam 6an, sampai gerbang tol Pejagan sekitar jam 12.30.
---
Lewat Jalur Alternatif? Kenapa Tidak? Setelah perjalanan kemarin, itulah kesimpulan saya. Sebelumnya, untuk perjalanan mudik, kami lebih menyukai lewat jalur biasa yang sudah familiar. Jalur alternatif termasuk kurang menarik, karena kekhawatiran akan menemui jalan yang 'menyesatkan' 😁.
Berdasarkan pengalaman, ada beberapa tips untuk mencoba jalur alternatif:
#1 Usahakan search sejelas-jelasnya jalur alternatif yang akan dicoba; perhatikan secara detail daerah mana saja yang harus dilewati, medannya seperti apa, belokan ada di area mana saja. Jika ada lebih dari satu jalur alternatif di Google Maps, bisa pilih yang waktu tempuhnya paling pendek. Jangan lupa perhatikan gambaran traffic-nya: apakah banyak tanda merah (macet) atau dominan biru (lancar).
#2 Siapkan perangkat pelacak lokasi semacam Maps di handphone atau media lain. Lebih bagus lagi kalau ada perangkat GPS yang mumpuni di mobil, bukan sekedar aplikasi Maps di handphone yang sinyalnya kabur-kaburan. Ehm, curhat.
#3 Jika GPS mati atau sinyal hilang dan ada dua pilihan jalan, jangan panik. Lanjutkan perjalanan sesuai kata hati sampai bertemu papan petunjuk jalan atau orang yang bisa kita tanyai. Kalau ternyata jalan kita salah dan harus puter balik? Yaa itu memang resiko yang harus ikhlas dijalani karena sudah bersedia mencoba hal baru 😉
#4 Banyak-banyak istigfar dan berdoa supaya jalannya dimudahkan. Itu wajib pake banget. Intinya mah, mencoba hal baru tidak cukup hanya berani saja, tetapi harus diikuti dengan persiapan dan usaha. Dan doa adalah salah satu usaha yang perannya vital.
Dari tiga pilihan yang tersedia, jalur biru inilah yang menghindarkan kami dari (kembali) menemui kemacetan |
Ketiga, kondisi jalan yang terbilang bagus; halus dan tidak sempit. Jalan sempit, berlubang atau jalan nggronjal (tidak rata, banyak batu dsb.) memang ada, tetapi prosentasenya masih kalah jauh dengan jalan yang mulus dan nyaman untuk dilewati kendaraan.
Keempat, meskipun sinyal GPS juga datang dan pergi, kami tidak begitu khawatir karena jalur pegunungan ini hanya punya satu jalan, jadi kemungkinan salahnya kecil. Petunjuk jalan juga cukup jelas.
Meskipun tetep ada bagian tiba-tiba sudah masuk ke jalur yang bukan seharusnya, secara keseluruhan, perjalanan ke Jakarta via jalur pegunungan (begitu saya menyebutnya) ini lebih baik dari perjalanan menuju Purworejo. Recommended untuk yang mau mencoba jalur baru dan suka medan yang nggak cuma jalan lurus aja. Oh ya, perjalanan dalam rangka mencoba jalur baru ini membutuhkan waktu sekitar 6,5 jam; berangkat dari rumah jam 6an, sampai gerbang tol Pejagan sekitar jam 12.30.
---
Lewat Jalur Alternatif? Kenapa Tidak? Setelah perjalanan kemarin, itulah kesimpulan saya. Sebelumnya, untuk perjalanan mudik, kami lebih menyukai lewat jalur biasa yang sudah familiar. Jalur alternatif termasuk kurang menarik, karena kekhawatiran akan menemui jalan yang 'menyesatkan' 😁.
Berdasarkan pengalaman, ada beberapa tips untuk mencoba jalur alternatif:
#1 Usahakan search sejelas-jelasnya jalur alternatif yang akan dicoba; perhatikan secara detail daerah mana saja yang harus dilewati, medannya seperti apa, belokan ada di area mana saja. Jika ada lebih dari satu jalur alternatif di Google Maps, bisa pilih yang waktu tempuhnya paling pendek. Jangan lupa perhatikan gambaran traffic-nya: apakah banyak tanda merah (macet) atau dominan biru (lancar).
#2 Siapkan perangkat pelacak lokasi semacam Maps di handphone atau media lain. Lebih bagus lagi kalau ada perangkat GPS yang mumpuni di mobil, bukan sekedar aplikasi Maps di handphone yang sinyalnya kabur-kaburan. Ehm, curhat.
#3 Jika GPS mati atau sinyal hilang dan ada dua pilihan jalan, jangan panik. Lanjutkan perjalanan sesuai kata hati sampai bertemu papan petunjuk jalan atau orang yang bisa kita tanyai. Kalau ternyata jalan kita salah dan harus puter balik? Yaa itu memang resiko yang harus ikhlas dijalani karena sudah bersedia mencoba hal baru 😉
#4 Banyak-banyak istigfar dan berdoa supaya jalannya dimudahkan. Itu wajib pake banget. Intinya mah, mencoba hal baru tidak cukup hanya berani saja, tetapi harus diikuti dengan persiapan dan usaha. Dan doa adalah salah satu usaha yang perannya vital.
No comments:
Post a Comment