Ingatan saya kembali ke 10 tahun yang lalu, di sebuah kafetaria, di Kopma UGM, tempat saya berorganisasi ketika masih berstatus mahasiswa. Saat itu saya dan beberapa teman sedang makan siang, dan entah karena apa (lupaa), saya menyisakan makanan di piring. Melihat itu, salah satu teman berkomentar, dengan gayanya yang memang meyakinkan kalau bicara: "Mbak; mbak tau nggak, itu sayur lama lho sampai di piring. Petani harus nanem dulu, nyiram, ngasih pupuk. Baru dipanen. Abis itu masih harus diangkut bla bla bla..." Kira-kira begitulah redaksinya.
Nah, tidak tau karena faktor apa, tapi sepertinya hari itu menjadi turning point atau titik balik buat saya untuk tidak lagi menyisakan makanan yang sudah saya ambil untuk kemudian membuangnya. Sampai sekarang.
Lucunya, saya sempat menerapkan strategi yang sama; mengulang kata-kata yang sama kepada seorang teman lain yang menyisakan makanan di piringnya. Dan diapun mengambil kembali sendoknya dan menyuap sembari menatap saya dengan memelas "Ah, mbak Wening mahhhh". wkwkwk
----
Pernah pergi ke kondangan atau tempat lain yang ada acara makan-makannya; dan melihat banyak sisa makanan? Saya pernah dan sering. Sayangnya, itu adalah pemandangan yang "lazim"; banyak ditemui; bahkan ketika sistem pengambilan makanannya itu prasmanan alias ambil makanan sendiri. Rasanya? Sedih, gemas, sekaligus heran.
Kok, heran? Iya, heran. Sistem prasmanan itu diadakan supaya kita bisa memilih dan memperkirakan, bukan? Kenapa pula masih bersisa? Kita bisa mengambil yang kita suka aja, dengan jumlah yang sekiranya kita mampu habiskan. Bagi orang dewasa, tentunya kita sudah bisa memperkirakan, seberapa laparkah kita dan sebanyak apa makanan ataupun minuman yang sanggup kita habiskan.
IMO, menghabiskan makanan yang sudah kita ambil sendiri adalah sebuah tanggung jawab, sekaligus bentuk rasa syukur bahwa kita masih mempunyai rezeki berupa makanan dan kesehatan untuk menyantapnya. Menyisakan makanan yang kemudian terbuang tentu menunjukkan bahwa kita kurang bertanggungjawab, kurang bersyukur. Heloo? Di Yaman, Suriah dan negara berkonflik lainnya, orang-orang kesulitan mendapatkan makanan, tapi kita di sini me-mubadzir-kan makanan? Sungguh tidak keren, mbaksis dan masbro.Lapar Mata
Lapar mata ini adalah sebuah kondisi dimana kita mengambil sesuatu hanya karena tertarik melihat tampilannya. Di kondangan, misalnya; ada ikan goreng asam manis yang terlihat enak, ambil. Geser ke kanan, ada ayam goreng yang melambai-lambai minta diicip, ambil. Geser lagi ke sebelahnya, ada sayur cap cay bakso yang warnanya menarik, ambil. Penuhlah itu piring.
Jadi, gimana?
Nah, kalau lapar mata menjadi alasan, then the problem is about self control; bagaimana kita mengendalikan diri supaya tidak lapar mata. Easier said than done, lebih mudah diomongin daripada dilakuin; memang. Tapi hal semacam ini memang harus dilatih, dibiasakan.
Kalau bukan prasmanan, gimana dong?
Saya pernah berkunjung ke panti asuhan, yang anak-anaknya dibiasakan untuk makan secukupnya. Waktu itu, masing-masing anak menerima nasi kotak yang porsinya seragam. Sebelum makan, (sepertinya) semua anak menyisihkan separuh nasi dan lauk yang mungkin menurut kebiasaan mereka, terlalu banyak. Setelah selesai makan, mereka mengumpulkan nasi dan lauk yang tadi sudah disisihkan. Dan karena belum tercampur, maka makanan ini bisa dimakan kembali nanti di waktu makan berikutnya. Menurutku itu brilian banget.
Kalau memang sudah terlanjur di depan mata, pilihannya adalah sisihkan untuk nanti atau habiskan. Wasting food is not an option at all.
Yuk ah, belajar bersyukur lagi dan lebih menghargai makanan dengan cara ambil makanan secukupnya, habiskan yang ada di piring atau sisihkan untuk nanti. Jangan jadi temennya setan dengan membiarkan ada makanan yang terbuang sia-sia, mubadzir.
No comments:
Post a Comment