Monday, 2 September 2013

N O M O F O B I A, Anyone??

Kita mungkin ngga asing lagi dengan istilah fobia; yang gampangnya bisa diartikan sebagai 'rasa takut terhadap sesuatu', sehingga cenderung menghindari sesuatu tersebut. Ada banyak macam fobia yang kita ketahui. Misalnya, phasmaphobia (takut sama hantu), arachnophobia (takut laba-laba), dan sebagainya. Mulai dari yang wajar, agak aneh, sampai aneh banget; semuanya ada.

Nah, kali ini saya berkesempatan membaca artikel di Daily Mail, yang ngomongin tentang  Nomophobia. Pernah dengar? Kalau saya baru pertama kali dengar ada nama fobia semacam itu, despite lebih banyak lagi lainnya yang saya juga belum tau sih, hehe.

Fobia ini termasuk unik menurut saya. Setelah beberapa waktu lalu menemukan istilah unik 'demensia digital' (saya belum mendapat sumber lebih jauh, tapi saya pahami ini sebagai semacam pikun akibat terlalu sering mengandalkan produk teknologi), nomofobia menjadi yang kedua. Keduanya juga disebabkan oleh faktor serupa, yaitu perkembangan teknologi komunikasi.

Apa itu Nomofobia?
Nomofobia adalah singkatan dari no mobile phone fobia. Dari sini, tentu gampang ditebak kalau nomofobia berhubungan dengan handphone yang hampir setiap orang memilikinya.

Yup, nomofobia itu istilah yang dipakai untuk menyebut perasaan gelisah, takut, atau cemas yang dialami orang waktu berjauhan dengan hapenya. Kebanyakan dialami sama kaum remaja yang umurnya 17-25 tahun. Kategori terbesar kedua berada di range umur 25 sampai 34 tahun. Daaaaan... sebagian besar dari kasus nomofobia ini terjadi pada kaum perempuan. Hmmm..kira-kira hubungannya apa ya?

Menurut artikel di Daily Mail (25/5/2012), di UK, hasil survei menunjukkan kalau 66% dari seribu orang mengalami nomofobia; bahkan jumlahnya cenderung naik. Menurut saya sih wajar banget, apalagi mengingat munculnya macem-macem varian ponsel model smartphone. Kalau diadakan survei serupa di Indonesia, mungkin persenannya bisa jadi lebih tinggi.

Gejala Nomofobia
Para nomofobian ini bakal terlihat sangat gelisah, kadang ngga percaya diri, dan takut pas mengalami ini:
- sinyal di handphone ilang-ilang-an atau ilang beneran
- lupa ngga bawa handphone saat bepergian
- lupa naruh hape
Tanda-tanda lain:
  • Hape selalu dalam pengawasan. Ke toilet atau kamar mandi sekalipun; hape biasanya dibawa serta.
  • Hape selalu dipegang dan sering banget dilihat; meskipun ngga ada pesan ataupun panggilan yang harus direspon
  • Waktu bangun tidur, hape jadi barang pertama yang bakal dicari
  • Sering nengok handphone saat ngobrol dengan orang lain; malah mungkin lebih sering liat hape daripada lawan bicaranya
  • buru-buru isi ulang baterai; biar hape ngga sampai mati
  • hampir ngga pernah matiin handphone dengan sengaja, kecuali kepepet. ex: di pesawat atau baterainya beneran habis
adakah yang salah dengan nomofobia ini? Bisa jadi ada. Merasa gelisah, takut, ngga pede, atau cemas 'cuma' gara-gara hape; menurut saya itu bukan sesuatu yang menyenangkan apalagi keren. Mengganggu sih iya.

So, marilah mulai menjadi lebih bijak dalam menggunakan hape dan perangkat sejenis lainnya, terutama saat kita sedang berinteraksi dengan orang lain. At least, kita tau kapan bisa 'ngautis' sama hape dkk dan kapan harus 'meminggirkannya' sejenak.

Sekian :)

Friday, 30 August 2013

Dilema Belanja di Toko Wholesale

Judulnya agak lebay ya? :) Tapi semoga isinya engga. This is just my thought, based on true story. Enjoy!

Wholesale price alias harga grosir sering menarik minat para pecinta shopping lantaran lebih murah dibanding harga eceran. Di Indonesia, banyak sekali pilihan tempat untuk berbelanja barang-barang yang sama seperti kelontong; mulai dari warung tradisional deket rumah, toko kecil, alfa**** atau indo***** yang jumlahnya udah ngga ketulungan banyaknya, hyper****, care****, sampai toko grosiran semacam lotte**** yang tokonya luas dan barangnya buanyaaak. maaf bukan promosi.

Kalau disuruh milih, kira-kira mending belanja di toko yang model penjualannya eceran atau grosir, ya?

Masing-masing dari kita pasti punya pilihan sendiri. Dari pengalaman beberapa waktu kemarin dan juga sebelumnya, saya merasa bahwa belanja di toko grosir tidak selamanya ‘hemat’. Memang sih, harganya lebih murah dibanding toko eceran. Mungkin karena mereka belinya dalam skala besar, jadi (mungkin) dapet harga lebih murah dari pabriknya.

Tapi nih ya, terutama buat yang suka tergiur barang-barang berlabel ‘lebih murah dari toko sebelah’ seperti saya, ada baiknya hati-hati. Bisa jadi kita pulang dari toko grosiran membawa barang-barang yang ngga ada di daftar belanja, karena jurus aji mumpung murah sukses dipraktekkan. Alhasil, uang yang keluar pun bukannya lebih sedikit, tapi membengkak.

Setelah mendapat barang yang diburu, langsung mlipir kemana-mana..“Wah, beli sabun ini lebih murah di sini lho. Sekalian aja yuk?.“Kan masih ada di rumah."
“hehe.. tapi gapapa kali buat cadangan. Mumpung murah”.

Nah! Di situ kalimat ampuhnya: “gapapa buat cadangan” “mumpung murah”, etc. Dan sesi belanja pun berakhir dengan pengeluaran yang lebih besar dari yang sudah dianggarkan dan jumlah barang yang lebih banyak di tas.
picture taken from www.balibali.jp

Grosir atau eceran? Semua ada baiknya
Well, sebenarnya tha’s really okay. Selama budget masih ada dan yang dibeli adalah barang bermanfaat. Dari situ, saya pikir belanja di wholesale bakalan lebih tepat kalau:
  •             Kita memang perlu beli barang dalam jumlah besar atau memang ingin membeli cadangan untuk beberapa waktu ke depan. Beberapa barang di toko grosir mengharuskan kita membeli lebih dari satu barang, meskipun ada juga yang boleh ngambil satuan.
  •          Ada cadangan uang (untuk belanja) entah di ATM atau di dompet; karena kemungkinan untuk belanja di luar daftar hampir selalu ada
Di luar itu, mending beli di toko yang skalanya lebih kecil dari toko grosir. Memang mungkin harganya lebih mahal sedikit, tapi keterbatasan stok barang di sana paling tidak akan membantu kita ‘mengendalikan diri’ dan membeli apa yang memang diperlukan untuk waktu itu saja.

Banyak pilihan tidak selalu memudahkan
Dalam kasus wholesale ini, saya jadi keinget satu hal tentang banyaknya pilihan yang ada di hadapan kita; when the choice is in our hands. Terkadang, kita punya banyak pilihan, kadang juga sedikit. Dan kadang, kita mengeluhkan salah satu atau keduanya.

The thing is, banyak pilihan itu terkadang memang memudahkan kita untuk membandingkan. Tapi di kasus tertentu, mungkin malah jadi membingungkan. Jadi, yang paling baik untuk menghadapi kedua situasi tersebut adalah dengan bijak memilih. Caranya? Analisis positif negatif dari masing-masing pilihan. That’ll be all.  

Itulah Takdirnya.. (Let It Be)

hujan turun.
matahari terbit kemudian tenggelam.
air mengalir.
kita tersenyum.
kita tertawa.
lalu sebentar kemudian menangis.

Itulah takdirnya..takdir-Nya.

"Qadarallahu wamaa sya'a fa'al". Allah telah menetapkannya. Dia berbuat apa yang dikehendaki-Nya. 


Kadang kita hanya perlu menerima apa yang terjadi pada kita, mengikhlaskannya tanpa prasangka. Just let it be. Karena (mungkin) memang sudah demikian takdir terbaiknya. Takdir-Nya, untuk kita.


Friday, 23 August 2013

Kalau Jodoh Tak Kemana

Selalu menarik ngomongin soal jodoh. Dari beberapa hal sisi kehidupan manusia, jodoh sudah ditetapkan Allah sebagai salah satu yang kepastiannya sudah ada sejak kita baru berusia empat bulan dalam kandungan. Dan kepastian itu baru akan kita ketahui bertahun-tahun kemudian, ketika kita menjalin ikatan pernikahan dengannya.

Jodoh itu misteri. Itu betul. Tak ada yang tahu hingga waktunya tiba. Jadi, tak perlu lah ngintip-ngintip siapa jodoh kita lewat orang-orang (yang ngakunya) pintar. Tak ada yang tau selain Sang Pencipta, tentu saja.
Tapi ngomong-ngomong soal jodoh, saya selalu tertarik pada kalimat-kalimat ampuh ini: “wanita baik untuk laki-laki yang baik, dan sebaliknya”, “kalau jodoh ngga bakal kemana”.

Pertama. Emang sih, jodoh ngga akan kemana. Kalau sudah jodoh, ya insyaAllah bakal ketemu. Mau tadinya jauh-jauhan, belom pernah kenal sama sekali, atau bahkan mungkin musuhan? Bisa jadi.
Menurut pengalaman pribadi juga begitu, hehe. Saya dulu juga ngga pernah kepikiran bakal nikah sama suami saya sekarang. Sekedar tau nama, belum pernah ketemu, kebayang pun engga; eeh..akhirnya dipertemukan juga. –sudah cukup curhatnya—
Nah, balik lagi ke jodoh dan its things.

Kedua. Bahwa wanita baik itu untuk laki-laki yang baik, begitu pula sebaliknya. Yakin banget kalau ini mah.. Di Al Quran juga sudah disebutkan dengan gamblang (cek QS. An Nuur: 26). Berarti jodoh kita itu se-level alias satu tingkatan sama kita ya? Misal kualitas diri kita medium, ya dapetnya yang medium, dst.

Tapi yang jadi pertanyaan saya, selevel itu menurut siapa? Saya pribadi sih meyakini kalau selevel ini ya menurut Allah. Sebagai manusia, kadang kan persepsi kita beda-beda. Yang menurut kita bagus, belum tentu bagus menurut-Nya; dan sebaliknya tentu.

Itulah kenapa kadang kita ngeliat pasangan yang ngga selevel (menurut kita) dan bertanya “kok bisa ya si X sama si Y? padahal kan si X kan bla bla bla, sedangkan si Y kan engga”. Nah lo!

Bisa jadi kriteria selevel itu tidak mesti sama persis. Perumpamaannya gini: Di kelas, si A dan B punya nilai akhir sama yaitu 90, padahal nilai UAS si A lebih bagus dari si B. Kenapa level akhirnya bisa sama? Usut punya usut, ternyata B lebih aktif di kelas daripada A, dia juga tidak pernah terlambat seperti B. Itu jadi nilai tambah tersendiri buat B.

Kalau di kasus jodoh-menjodoh (menjodoh—kosakata baru :D), A dan B bisa berjodoh padahal A penyabar dan B tidak sabaran karena mungkin masing-masing punya plus minusnya yang akhirnya membuat ‘kualitas’ keduanya sama.

Makanya, kalau ada yang pernah pacaran atau sedang pacaran dan nantinya putus (saya ngga doain lho), tidak usahlah risau. Bisa jadi, sekali lagi bisa jadi, dia memang bukan jodoh terbaik. Mungkin level kalian sudah tidak lagi sama. Mungkin dia sudah lebih tinggi tingkatnya, atau malah sebaliknya. Atau bisa jadi juga, “belum” jodohnya; yang artinya mungkin nanti bisa ketemu lagi saat sudah berada di level yang sama.

Kalau sudah begitu, tinggallah tugas kita untuk introspeksi diri kemudian terus memperbaiki diri. Kalau jodoh tak kemana. Kalau nggak jodoh, mau kemana juga nggak ketemu J

Above all, every God’s decision is the best one for us J


Ini kok jadi semacam nasehat patah hati ya? Tapi semoga bermanfaat. Cheers!

5.50 PM: Menikmati Waktu

Di kala senja menjelang azan magrib, Beberapa orang sudah menikmati waktu di rumah, Beberapa masih berjuang mengendarai motor atau mobil...