Friday, 27 May 2016

7 Etika Naik Angkot

Angkot adalah kendaraan umum yang masih banyak peminatnya, di tengah gempuran transportasi online yang ngehits belakangan ini. Mungkin karena ketersediaan armadanya yang banyak serta ongkosnya yang cukup murag itulah orang masih menunggu angkot sebagai alat transportasi.

Karena statusnya sebagai "angkutan rakyat", kita bisa menemukan berbagai jenis orang dari berbagai kalangan di dalam angkot. Dari pengalaman pribadi, saya pernah merasakan berbagai emosi ketika naik angkot; dari senang, iba, cemas, kesal, marah, sampai terharu. Dari semua perasaan yang ada, dua hal adalah yang paling tidak mengenakkan: kesal dan marah.

Supaya nyaman dan membuat penumpang lain juga nyaman, berdasar pengalaman, ada beberapa etika yang perlu diperhatikan saat naik angkot:

Satu, jangan merokok di dalam angkot. Asap dari rokok akan sangat menggaggu penumpang yg tidak merokok. Dzolim lah pokoknya kalau sampe merokok di dalam angkot. Kalau sebelum naik sudah pegang rokok nyala, segera buang atau paling tidak matikan segera sebelum naik.

Dua, ketika naik atau turun, kalau bawa tas model backpack, pindahkanlah ke bagian depan, bukan tetap digendong di belakang. Tas ransel, apalagi kalau besar ukurannya, bisa nyampluk penumpang lain. Nggak enak pastinya.

Tiga, perhatikan langkah baik saat masuk atau keluar angkot. Jangan sampai menginjak kaki, atau tersangkut di orang.

Empat, relakan untuk bergeser. Kebanyakan orang lebih suka duduk di dekat pintu angkot supaya lebih mudah ketika ingin turun. Sayangnya, ada orang yang nggak mau geser ke dalam meskipun kondisinya susah masuk karena posisi dekat pintu sudah penuh. Alangkah bijak kalau mau mengalah untuk pindah supaya penupang yg baru naik tidak kesulitan menerobos kerumunan. Nah, poin ini sih reminder untuk saya pribadi :)

Lima, bayarlah sesuai tarif atau malah lebih; jangan kurang. Saya beberapa kali menemukan sopir angkot yang ngedumel karena penumpangnya tidak membayar sesuai tarif tapi langsung ngeloyor pergi. Membuat orang kesal itu juga dosa kan, ya?

Enam, kalau membawa barang berukuran besar, misalnya kardus, keranjang, dsb.; tempatkan barang tersebut ke dalam angkot di bagian ujung, supaya tidak menghalangi jalan penumpang yang ingin naik atau turun. 

Tujuh, duduklah dengan posisi lurus, bukan serong. Yang sering begini biasanya adalah kaum perempuan. Dengan duduk serong, kita akan memakan space yang lebih banyak dibanding duduk lurus. Kalau angkotnya sedang sepi sih nggak masalah. Itu pengecualian. 

Etika di atas memang nggak tertulis; jadi, kembali pada kesadaran diri. Yang jelas, dengan mempraktekkan etika tersebut, kita bisa mengurangi potensi membuat dosa dan menambah kemungkinan membuat orang lain senang yang artinya berpotensi menambah pahala. Begitu kah?

Monday, 23 May 2016

Like Teachers Like Students

Ada idiom bahasa Inggris yang bunyinya 'like father like son', yang artinya anak laki-laki itu menyerupai sang ayah; ia akan meniru apa yang dilakukan ayahnya. Tapi saya menemukan kejadian yang bisa memodifikasi idiom ini menjadi LIKE TEACHERS LIKE STUDENTS.

Workshop beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan guru dari beberapa daerah di Indonesia. Setelah penyampaian materi, kami diminta untuk melakukan kerja kelompok. Nah, waktu bekerja sama inilah saya menemukan fakta bahwa ternyata perilaku guru saat bekerja kelompok mirip dengan muridnya.

Pembicara meminta kami membentuk kelompok, berlima atau berenam. Di sekitar saya duduk, ada enam orang. Kami pun langsung 'nego' dengan berkata "tujuh aja deh, udah pas ini". Ada pula yang nyeletuk 'tujuh aja deh, mager nih'. They're very much like the students; and I might be, too :)

Persis ketika di kelas, biasanya akan ada murid yang mengatakan hal sama; baik karena mereka males gerak, atau karena maunya satu grup dengan teman satu geng.

Setelah akhirnya salah satu dari kami pindah, kami pun merapatkan tempat duduk untuk berdiskusi. Kami saling bertatap kemudian muncul pertanyaan semacam: "Kita suruh ngapain sih?". Gubrak.  

Ketika diberikan instruksi, adakalanya murid tidak begitu paham apa yang harus mereka lakukan. Sayangnya, para murid ini tidak berani atau enggan bertanya meminta penjelasan. Itu juga terjadi pada kami, para guru, di hari itu. Ini membuat saya belajar sesuatu; saat meminta murid mengerjakan sesuatu, guru harus memastikan semua murid mengerti apa yang harus dilakukan.
---
Saya jadi teringat kata-kata seorang trainer ketika saya ikut training di LIA sekitar 2,5 tahun yang lalu: sebagai guru, alangkah baiknya kalau kita bisa berempati dengan perasaan murid. Pada saat itu, beliau memberi kami kertas berisi beberapa kata-kata dalam bahasa daerah yang belum kami kenal. Kami diminta menghafal kata-kata tersebut. Hasilnya? Tentu kami menemui kesulitan. Melihat hal itu, beliau pun berkata: "Begitulah perasaan murid kita ketika kita mengajari mereka bahasa asing (Inggris)".

Dari pengalaman-pengalaman di atas, saya menyimpulkan bahwa guru seringkali harus 'mempelajari' muridnya, supaya bisa lebih berempati dan membuat murid nyaman ketika belajar. Very well said

Monday, 16 May 2016

Kenapa Menyontek?

Satu hal yang selalu menjadi perhatian ketika musim ujian tiba adalah menyontek. Di kalangan pelajar hingga mahasiswa, tampaknya menyontek sudah menjadi kebiasaan yang sulit hilang; dari zaman saya jadi murid sampai sekarang jadi guru.

Kalau mau main salah-salahan, siapa sih sebenarnya yang paling bersalah ketika seorang murid menyontek saat ujian? Apakah murid itu sendiri? Menurut saya sih, bukan; bukan cuma murid, maksudnya.

Jika mau dirunut masalahnya, pertanyaan 'kenapa murid menyontek?' bisa jadi bahasan pertama. Ada banyak alasan, misalnya, mereka tidak belajar sebelum ujian atau tidak pede dengan jawaban sendiri. Saya pernah ngobrol dengan seorang mahasiswa bahasa inggris saya, kenapa harus menyontek. Dia menjawab supaya nilainya bagus; jadi orangtua senang. Saya masih ingat persis dia menjawab begini "Kan kasian orang tua, miss, kalau nilainya jelek. Jadi harus bayar lagi untuk ngulang mata kuliah". Baik sekali, ya?

Peran Orang Tua
Yang perlu digarisbawahi di alasan mahasiswa di atas adalah 'orangtua senang karena nilainya bagus'. Banyak (tidak semua) orang tua yang menginginkan anaknya mendapat nilai bagus di sekolah atau di kampusnya. Tidak sedikit pula yang memarahi atau menyesalkan anaknya yang nilainya jelek. Akibatnya, anak jadi berusaha dengan cara apapun (termasuk menyontek) supaya nilainya bagus sehingga mereka 'selamat' dari kemarahan orang tuanya.

Jadi, apakah anak menyontek merupakan salah orang tua? Bisa jadi. Bagaimanapun, orangtua adalah pendidik pertama bagi seorang anak. Apa yang diajarkan (seharusnya) akan menjadi dasar perilakunya di luar lingkungan keluarga. Saya yakin, kalau orang tua lebih menghargai proses belajar anak, bukan hasil (nilai), anak tidak akan menghalalkan segala cara demi nilai yang bagus.

Saya pernah bertemu dengan seorang ibu dari anak homeschooling yang amat pintar dan jujur di kelas LIA. Beliau selalu mengatakan pada anaknya "Mama bangga kalau kamu jujur mengerjakan tes. Mama nggak akan bangga kalau nilai kamu bagus tapi hasil menyontek". Amazing. Dan hasilnya, si anak memegang kata-katanya ibunya.
 
Peran Sekolah
Setelah orang tua, hal lain yang berkontribusi dalam proses contek-menyontek adalah elemen sekolah; peraturan sekolah, guru, dan teman. Guru yang lebih banyak mengambil nilai dari hasil tes, teman-teman yang menyontek, dan peraturan sekolah yang tidak cukup membuat tukang contek jera adalah hal-hal yang bisa mempengaruhi murid untuk menyontek.

Solusinya? Sekolah membuat peraturan ketat yang merugikan murid yang menyontek. Misalnya, siapapun yang menyontek akan mendapat nilai 0 dan dilaporkan ke orang tua. Penerapannya tentu harus konsisten, tidak pilih kasih.

Dari sisi guru, bisa diterapkan seperti ini: nilai tidak hanya didasarkan pada nilai tes (hasil). Cobalah untuk menilai proses belajar anak; seberapa keras dia mencoba dan belajar. Kenapa begitu? Karena tidak semua anak bisa menguasai satu pelajaran dengan baik. Mungkin memang minat dan kemampuannya bukan di situ. Selain itu, murid mengawali belajar di kelas dengan level yang berbeda. Contoh: di kelas Bahasa Inggris, ada anak yang sudah jago karena pernah ikut les atau ada budaya berbicara bahasa tersebut di rumahnya. Sementara itu, ada anak yang jarang tersentuh hal-hal berbau bahasa Inggris. Tentu mereka akan mengalami proses belajar yang berbeda; maka nilainya pun seharusnya berbeda.

Ada sebuah cerita yang menginspirasi (bagi saya) dari Prof. Rhenald Kasali, tentang bagaimana seharusnya guru memberi nilai untuk muridnya. Silakan dibaca di sini.

Secara keseluruhan, menurut pendapat saya, bagian yang paling penting adalah diri (si murid) sendiri. Sepanjang dia memiliki pegangan dan prinsip yang kuat, maka faktor luar seperti peraturan sekolah atau perilaku teman tidak akan mempengaruhi. Darimana pegangan itu berasal? Hasil pendidikan di lingkungan keluarga. Peran sekolah ada di nomor berikutnya.

Saturday, 14 May 2016

Taman Wisata Hutan Bakau, Jakarta

Jakarta dikenal sebagai kota metropolitan yang miskin dengan wisata alam. Itu pendapat saya sih. Sebabnya? Hanya karena sulitnya menemukan pantai yang memungkinkan untuk bermain air dan pasir. Itu saja, hehe. Jakarta lebih dikenal dengan bangunan-bangunan mall-nya. Di akhir pekan atau hari libur pendek, banyak warga Jakarta yang memilih pergi ke mall karena jaraknya yang terjangkau. Sebagai informasi tambahan, jumlah mall di Jakarta sudah mencapai angka 170, dan kemungkinan masih akan bertambah.

Naah, awal bulan April kemarin, akhirnya saya mengunjungi sebuah alternatif tempat wisata alam di Jakarta, yaitu Taman Wisata Hutan Bakau, yang terletak di Pantai Indah Kapuk. Dari daerah Rawa Buaya, kami memilih untuk masuk tol ke arah Pantai Indah Kapuk (PIK). Hanya sekitar 15-20 menit, sampailah kami di kawasan wisata hutan bakau. Letaknya persis di sebelah bangunan besar dengan arsitektur Cina, sebuah sekolah milik yayasa Budha, Tzu Chi (semoga bener tulisannya).

Tiket masuk untuk masing-masing orang cukup lumayan, Rp 25.000, plus Rp 10.000 untuk parkir mobil. Untuk pengendara motor, biaya parkir cukup Rp 5.000 saja. Berikut hal-hal menarik yang saya temui ketika mengunjungi Taman Wisata Hutan Bakau di Pantai Indah Kapuk.

Kantong Plastik
Setelah membayar uang masuk dan menerima karcis, petugas akan memberi kita sebuah kantong plastik. Fungsinya adalah sebagai tempat sampah, supaya pengunjung tidak sembarangan membuang sampah. Keren nih, kata saya. Tapi sayangnya, masih banyak sampah yang berserakan di area dalam hutan, terutama di tempat-tempat yang tersembunyi. Membuang sampah sembarangan tampaknya sudah menjadi budaya jelek masyarakat kita (kitaa??) :(

No Camera, please...
Di hutan bakau ini, pengunjung tidak diperbolehkan membawa kamera digital, DSLR, dan sejenisnya. Kalau ketahuan membawa, bersiap-siaplah untuk membayar Rp 1 juta. Lumayan menguras kantong. Untungnya, handphone berkamera masih diperbolehkan. Jadi, tetap bisa selfie atau wefie di sana.

Spot-Spot Menarik
Di kawasan hutan bakau ini, ada banyak spot menarik untuk berfoto ria. Ada banyak jembatan kayu baik yang menggantung di atas, maupun di area perairan sehingga kita bisa lebih dekat dengan tumbuhan bakau. Saking dekatnya, kadang kita perlu menyibak dedaunan bakau supaya bisa jalan. Beberapa jembatan sudah rapuh, sehingga pengunjung harus benar-benar memperhatikan kemana kaki melangkah.

Suami dan kantong kresek pemberian petugas. 

Jembatan menuju area penanaman bakau

Ada pula menara pengamatan burung yang cukup membuat kaki gemeteran ketika naik. Bagi yang suka melihat view dari ketinggian, menara ini recommended. Karena tempat di atas tidak luas, disarankan untuk tidak berlama-lama menikmati pemandangan di sana. Waktu saya sampai di puncak menara, selang lima menit kemudian, ada dua orang yang menyusul, jadi terpaksa saya dan suami pun turun.


Menara besi bercat hijau
Gerumbul bakau dilihat dari atas

Tempat Penginapan 
Kalau ingin menikmati hutan bakau lebih lama, pilihan menginap mungkin bisa diambil. Ada penginapan unik berbentuk segitiga, atau yang berbentuk rumah panggung.

Foto penginapan diambil dari atas menara



Wisata Air
Tidak hanya bisa berjalan-jalan dan berfoto ria, taman hutan bakau ini juga menawarkan wisata air. Sayang, saya tidak sempat mencoba berperahu karena waktu yang sudah sore. Tapi saya sempat melongok harga sewa perahu, boat, dan kano yang ada. Angkanya berada di kisaran ratusan ribu. Paling mahal, kalau tidak salah, 400 ribu rupiah.

Sayangnya, .....
Seperti yang saya bilang sebelumnya, masih ada sampah-sampah yang berserakan maupun nyempil di tempat yang tidak terjangkau. Padahal, selain kantong kresek yang sudah disiapkan oleh petugas, di kawasan hutan juga tersedia tempat sampah, lho.

Satu lagi adalah banyaknya pasangan yang bercengkerama di sini. Dari gayanya sih tampaknya masih berpacaran. Mereka ini bertebaran di berbagai tempat, baik yang terbuka maupun yang sedikit tersembunyi. Duh, mengganggu pemandangan.

---
Menurut informasi yang saya dengar, puncak kunjungan terjadi di siang hari. Kebetulan kemarin saya berkunjung ke Taman Wisata Hutan Bakau ini saat matahari sudah mulai tergelincir ke barat; tiba di sana sekitar pukul 16.30. Karena pukul 18.00 tempat ini kabarnya tutup, maka saya dan suami pun bergegas menyusuri sisi-sisi kawasan yang luas ini. Terbatasnya waktu membuat kami tidak berlama-lama di satu spot, supaya bisa melihat bagian lain; meski akhirnya tetap tidak semuanya terjangkau.

Ada untung ruginya memang, kalau memilih jam-jam sore seperti ini. Keuntungannya, kawasan wisata ini sudah tidak begitu ramai pengunjung. Ditambah dengan pemandangan langit sore yang luar biasa keren. Ruginya, ya itu, kita tidak punya banyak waktu untuk menjelajah setiap bagian hutan, karena langit akan segera menggelap dan tidak banyak yang bisa dinikmati.

Well, demikianlah sedikit cerita tentang plesir saya dan suami ke Taman Wisata Hutan Bakau di Pantai Indah Kapuk. Nuansa alamnya sungguh bisa jadi alternatif tempat rekreasi di Jakarta. Semoga bermanfaat, dan semoga nanti bisa cerita baru di kunjungan lain untuk memperbaharui informasi.

Langit sore ini jadi semacam 'blessing in disguise'
Sudah tidak bisa melihat indahnya gerumbul bakau karena gelap,
tapi dapat hadiah pemandangan langit yang mempesona

Friday, 13 May 2016

Karena Rezeki Tidak Akan Tertukar

Ini cerita beberapa waktu yang lalu ketika saya dan suami pergi mencari sesuatu untuk dimakan. Saat itu, bapak kami menitip es capcin (cappucino cincau). Berangkatlah kami ke daerah Bojong, daerah sebelah, untuk mencari titipan terlebih dahulu. Motor terus berjalan tetapi kami tidak juga menemukan penjual yang dimaksud.

Hingga akhirnya kami masuk ke daerah berikutnya, Kembangan, sudah cukup jauh dari rumah kami. Di sisi kiri jalan, terlihatlah gerobak es capcin dan beberapa penjual makanan. Kami pun berhenti. Sekali mengayuh dua tiga pulau terlampaui; makanan dan titipan terbeli di tempat yang sama.

Di perjalanan pulang ke rumah, kami melintasi daerah yang sama, karena memang hanya ada satu jalan besar. Saat melewati daerah Bojong, mata saya melihat ada gerobak es capcin. Padahal waktu berangkat tadi, saya tidak melihat satupun gerobak yang sama.

Ini bukan cerita mistis, saya yakin. Gerobak itu pasti sudah ada di sana sebelumnya; hanya saja tidak diperlihatkan oleh Allah. Ini adalah perkara rezeki. Mungkin uang untuk membeli es adalah rezekinya abang penjual capcin di daerah Kembangan, bukan beliau yang berjualan di Bojong.

Memang gitu ya, rezeki, tidak akan pernah tertukar. Jika itu sudah jatahmu, pasti akan jadi milikmu. Urusan kita cuma berusaha untuk mendapatkan rezeki yang sudah disiapkan oleh-Nya.

5.50 PM: Menikmati Waktu

Di kala senja menjelang azan magrib, Beberapa orang sudah menikmati waktu di rumah, Beberapa masih berjuang mengendarai motor atau mobil...