Sunday, 30 October 2016

Emosi Bukan Solusi

Di perjalanan enam hari yang lalu, melihat sebaris tulisan ini "Emosi Bukan Solusi". Bukan di baliho ataupun spanduk, tetapi di badan kendaraan umum. Yak, kata emosi memang tidak terpisahkan dari dunia lalu lintas. Nggak heran, tulisan semacam tadi ditempel di badan kendaraan. Mungkin si penempel meniatkannya untuk syiar kebaikan? 

Sebelum masuk ke inti tulisan, mari seragamkan dulu pengertian dari kata emosi. Dari KBBI online, kata 'emosi' mempunyai beberapa arti:

 emosi/emo·si/ /émosi/ n 1 luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat; 2 keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); keberanian yang bersifat subjektif); 3 cak marah; -- keagamaan getaran jiwa yang menyebabkan manusia berlaku religius;

Kata emosi di tulisan ini berarti "marah", yang pemakaiannya berada di ranah informal, yaitu ragam bahasa percakapan ('cak' di pengertian di atas berarti percakapan-red).

Seringkali di dalam perjalanan hidup, kita dihadapkan pada situasi yang membuat api amarah tersulut; entah itu di rumah, di sekolah, tempat kerja, bahkan di jalanan. Penyebabnya pun banyak, dari hal-hal sepele hingga permasalahan level tinggi. Terkadang, emosi ini bisa dikendalikan, tetapi tidak jarang juga tersalurkan dalam bentuk ucapan atau tindakan -yang biasanya- tidak baik. 

Emosi bukanlah solusi. Marah saja memang tidak bisa menyelesaikan masalah. Sepakat sekali dengan frase ini. Alih-alih,ia justru akan menimbulkan masalah baru; minimal memberikan satu dampak negatif untuk orang yang emosi atau orang-orang di sekitarnya. 

Contoh: ketika di jalan, kaca spion berubah arah karena tersambar kendaraan dari belakang. Rugi kah kita? Tentu rugi kalau kemudian spion menjadi longgar dan tidak bisa berfungsi seperti semula. Dalam situasi ini, jika kita emosi dan meluapkannya dengan cara memaki atau berteriak kepada si penyambar, apakah masalah selesai? Tidak. Yang ada, kita mengeluarkan energi yang tidak perlu. Di samping itu, kata-kata kasar dari mulut kita akan terdengar di telinga mereka yang seharusnya tidak perlu mendengarnya. Malah bisa membuat mereka ikutan emosi. Merugikan orang lain, dong, kita?

Tapi kan, kalau kita marahin, si orang akan sadar? Kalau ada pernyataan semacam ini, gampang jawabannya: menyadarkan orang tidak melulu harus pakai marah, kan?

Yaaa..itu sih secara teori ya. Haha J. Sometimes it's not that easy untuk mengendalikan emosi dalam diri kita, terlebih jika kondisi psikis dan fisik sedang tidak mendukung (misalnya sedang dalam keadaan lelah atau terburu-buru). Tetapi, tidak ada salahnya mencoba. Akan butuh waktu, pastinya.

Kalau kita sudah berniat untuk mengelola emosi, berlatih untuk tidak meluapkan amarah di tempat kejadian perkara dengan cara yang tidak baik; maka suatu saat nanti mungkin kita bisa merasakan kedamaian yang melapangkan dada. Kita bisa tersenyum ikhlas saat ada yang menyalahi kita dengan sengaja atau tidak. Indah, bukan? 

#salamDamai
Even the cute Minnie doesn't look cute when she's angry
cliparts.co

Mereka Punya Mimpi

Sekitar sebulan yang lalu, saya mengikuti lokakarya tentang kurikulum 2013 revisi yang dibawakan oleh seorang guru bahasa Inggris yang sudah bergelar doktor. Saya yang masih awam dengan yang namanya kurikulum pun akhirnya tidak begitu banyak menangkap pesan dari kurikulum 2013 revisi. Jangankan yang revisi, bahkan yang 2013 asli pun saya belum pernah mendapatkan pelatihannya. Lucky me, karena pembicaranya berasal dari bidang yang sama dengan saya, banyak hal yang saya pelajari dari beliau. Salah satunya adalah berbagi hal apa saja yang kita lakukan di kelas. Postingan ini jadi yang pertama.

Ohya, Ada selarik kalimat dari si ibu yang membuat saya terharu mendengarnya kala itu "Titip mimpi anak-anak ya, bapak ibu".  


Harapan itu membuat kita bisa melihat sinar, meskipun hanya secercah, di tengah kegelapan yang sempurna melanda. 
(Desmond Tutu). 

Adalah topik tentang hopes and wishes yang membuat saya terpikir untuk mengajak para murid bermimpi; menyuarakan harapan-harapan mereka melalui tulisan. Setelah selesai menjelaskan dan latihan soal, saya menyediakan kertas warna untuk mereka tulisi dengan harapan dan mimpi mereka; tentu saja dengan menggunakan bahasa Inggris. Hasilnya? Mereka bersemangat menuliskan mimpinya. Sembari meminta saya mengoreksi susunan katanya, mereka menampilkan raut muka yang indescribable yang membuat saya bahagiaaa melihatnya. 

Beberapa ada yang membuat saya tertawa geli karena mengharapkan bisa memutihkan kulit, melangsingkan badan -padahal gemuk pun tidak-. Ada pula yang menuliskan harapan umum nan klasik 'menjadi orang sukses'. Namun, banyak pula yang sudah bisa menyatakan mimpinya dengan spesifik dan jelas, seperti 'ingin menjadi model', 'ingin kuliah di UN*, UN***, U*', 'membiayai orang tua naik haji', bahkan 'menjadi pro dota player', dan sebagainya. Beberapa bahkan membuat saya terkagum-kagum; misalnya 'membangun pesantren tahfiz', mendirikan rumah sakit untuk orang yang tidak mampu, atau 'menjadi penghafal al Quran'.

Setelah menuliskan harapannya, mereka saya minta untuk menempelkannya di dinding bagian belakang kelas. (Lumayan menjadi dekorasi.hihi) Tujuan saya, supaya mereka bisa membacanya berulang kali dan menjadikannya semangat. Juga ketika nanti ada guru lain yang melihatnya,semoga mereka turut meng-amin-kan.

IPA-This is their creativity
IPS-They asked some teachers to write their words, too
Agama- Their wishes and hopes are superr
Semoga semua harapan dan mimpi anak-anak ini menjadi kenyataan di suatu hari; sesuai dengan kerja keras yang sudah dan akan mereka lakukan. I'll keep my fingers crossed.

Sunday, 23 October 2016

Ruang Sendiri

Pulang kerja beberapa waktu yang lalu, suami saya tiba-tiba memperkenalkan lagu baru yang (katanya) dia dengarkan seharian di kantor; Tulus punya, judulnya "Ruang Sendiri". Menurut beliau, lagunya bagus. Karena Tulus adalah salah satu penyanyi favorit, maka tanpa ragu saya memintanya untuk memainkan lagu tersebut. Berikut potongan liriknya, bagian yang akan saya jadikan amunisi di tulisan kali ini.

Beri aku kesempatan tuk bisa merindukanmu

(Jangan datang terus)

Beri juga aku ruang bebas dan sendiri

(Jangan ada terus)

Aku butuh tahu seberapa kubutuhkanmu

Percayalah rindu itu baik untuk kita


Pergi melihatku, menjelang siang kau tahu
Aku ada di mana sore nanti

Tak pernah sekalipun ada malam yang dingin
Hingga aku lupa rasanya sepi
Tak lagi sepi bisa kuhargai

Baik buruk perubahanku tak akan kau sadari
(Kita berevolusi)
Bila kita ingin tahu seberapa besar rasa yang kita punya
Kita butuh ruang


---
Lagu ini, menurut penafsiran saya, menekankan perlunya waktu sendiri untuk masing-masing pasangan; atau populer disebut dengan 'me time'. Kenapa perlu? Karena waktu sendiri akan membuat adanya jarak yang bisa menimbulkan rasa rindu; yang -katanya- penting dalam sebuah hubungan. Selain itu, waktu sendiri bisa memberikan kesempatan bagi seseorang untuk lebih merenungkan baik buruknya pasangan; yang mungkin bisa berlanjut ke tahap perbaikan diri.

Pertanyaan yang muncul di benak saya ketika mendengar lagu ini adalah: perlukah kita (dan pasangan) meluangkan waktu untuk sendiri?

Menurut saya sih, perlu, tetapi kadarnya mungkin berbeda bagi pasangan yang sudah menikah dan yang -katanya- baru menapaki jalan menuju pernikahan alias pacaran. Saat sudah berkeluarga; ini menurut pengalaman pribadi sih, me time jarang diperlukan. Mengapa demikian? Karena bersama seorang pasangan halal, kita bisa melakukan hal hal yang membuat kita lebih bahagia dibanding dengan melakukannya sendiri. Pun kita bisa membicarakan, mendiskusikan, dan menceritakan apapun kepada pasangan kita. Bahkan, kita membutuhkannya untuk mengambil keputusan tertentu.


Rasanya, tidak bertemu seharian karena masing-masing harus bekerja sudah cukup menciptakan rasa rindu, tanpa harus sengaja tidak membersamai pasangan demi 'me time'. Oh iya, bahkan memperbaiki diri pun lebih seru lho kalau dilakukan bersama-sama.


Menurut pengalaman pribadi, saya tidak pernah sengaja menyepi dari suami untuk mendapatkan ruang sendiri. Ruang itu datang sendiri ketika beliau sibuk bekerja atau berkegiatan dengan komunitasnya, atau nonton bola. Bahkan untuk janjian bertemu dengan teman pun, saya lebih senang melakukannya ketika suami ada acara lain. So far so good; saya tidak merasa itu boring and I've got no problem with that.

That's just a personal opinion sih, by the way. Karena masing-masing orang punya gaya sendiri dalam menjalankan dan mengelola hubungan dengan pasangannya. Good night.

Geng-isme Anak SMA

Berinteraksi dengan anak remaja khususnya SMA itu menyenangkan. Mereka punya beragam sifat dan tingkah laku yang seru untuk diamati. Salah satunya adalah geng-isme yang terjadi di satu kelas, atau malah antar kelas. Hal ini lebih sering terjadi di kalangan murid perempuan, dibanding di antara murid laki-laki, atau kombinasi keduanya.

Geng-isme ini biasa terjadi, dari jaman saya masih seorang murid SMA sampai sekarang menjadi guru. I'm lack of geng-isme experience, though. Saya bukan tidak suka dengan mereka yang tergabung dalam geng. Saya hanya tidak suka dengan sekelompok murid/anak yang selalu bersama melakukan sesuatu, dengan mengatasnamakan solidaritas dan soliditas geng.

Anak-anak yang tergabung dalam sebuah geng biasanya akan duduk berdekatan di kelas, mengerjakan tugas (maunya) dengan teman satu geng, membela satu anggota secara bersama-sama. Terkadang, musuh satu orang menjadi musuh semua orang di satu geng. Guru biasanya akan meminimalisir geng-isme dan kesenjangan di kelas dengan cara mengacak teman duduk dan anggota kelompok ketika diminta mengerjakan tugas.

Kenapa nge-geng?
Mereka yang satu geng biasanya memiliki kecocokan tersendiri dengan anggota gengnya, atau kadang punya hobi atau kesenangan yang sama. Saya pernah bertanya pada seorang murid, kenapa dia nge-geng, dan jawabannya cuma "ya karna cocok aja miss". Begitulah.

Emang kenapa sih kalau nge-geng?
Yaah, sebenarnya saya sih tidak mempermasalahkan adanya geng-gengan di sekolah, selama baik untuk anggota geng tersebut maupun teman yang lain. Ada efek positif maupun negatif dari fenomena geng-isme anak SMA.

Efek positif, mereka akan belajar tentang solidaritas dan menjaga persahabatan. Jika gengnya terdiri dari orang orang yang baik, maka akan memberikan dampak yang baik pula.

Efek negatifnya? Terkadang geng-gengan ini jadi membatasi pergaulan seorang murid, karena dia hanya mau berinteraksi banyak dengan anggota gengnya, tidak mau berbaur dengan teman yang lain. Selain itu, keberadaan geng ini juga bisa menimbulkan perselisihan baik di satu kelas maupun kelas lain. Misalnya, satu anggota geng mempunyai masalah dengan geng lain, biasanya teman yang lain akan ikut menjadi sekutunya, ikut memusuhi. Duh, ribet jadinya.

So, saya lebih setuju begini. Okelah kalau kita (kitaa?) lebih cocok dengan beberapa orang saja, untuk kemudian membentuk semacam geng. Tetapi alangkah baiknya jika hal itu tidak menjadikan kita orang yang membatasi pergaulan dengan selain anggota geng. Hati-hati dalam memilih teman itu wajib, apalagi kelompok yang akan kita bersamai dalam waktu yang panjang dan banyak. Mereka akan sedikit banyak menyumbang pada karakter jenis apa yang kita punya.

Tuesday, 18 October 2016

Teknologi, Menciptakan Rasa 'Malas' Jenis Baru

Sesuatu yang diciptakan untuk memudahkan hidup manusia. Itu adalah pengertian sederhana, menurut saya, dari kata 'teknologi'. Tengoklah kanan kiri kita sekarang, banyak sudah teknologi yang tercipta dan kita pakai. Untuk apa? Untuk memudahkan hidup kita, ya kan?

Handphone, memudahkan kita berkomunikasi dan mengakses informasi.
Kulkas, memudahkan kita dalam menyimpan makanan agar lebih tahan lama.
Laptop, tanpanya kita akan kesulitan mengerjakan tugas kuliah, pekerjaan, atau sekedar berselancar di dunia maya.

Teknologi terus menerus berkembang. Kini, dia tidak hanya berperan di perkara besar seperti komunikasi atau kesehatan, tetapi juga sudah merambah ke hal-hal yang remeh. Beberapa waktu yang lalu saya menemukan 'mug' yang bisa mengaduk sendiri. Emang dasarnya saya sering tergoda hal-hal unik semacam ini, saya sudah hampir memasukkannya ke dalam daftar belanja. Tetapi setelah dipikir-pikir lagi, sesusah apa sih mengaduk itu, sampai-sampai harus melimpahkan tanggung jawab tangan pada mesin di mug?

Dari situ saya mulai menyadari satu hal, bahwa teknologi ini sangat berpeluang membuat orang jadi malas. Rasa malas yang tidak selalu berarti 'enggan melakukan sesuatu', tetapi karena memang 'tidak perlu' melakukannya; sudah ada si teknologi yang siap menggantikan. Ini yang saya sebut sebagai rasa malas 'jenis baru'. hihi

Selain mug-mengaduk-sendiri, ada juga jasa transportasi online yang belakangan marak bermunculan. Sebelum ada fasilitas berbasis teknologi ini, kita harus menggerakkan diri jika ingin naik ojek -karena rumah tidak dekat dengan pangkalan ojek. Untuk makan masakan non-rumah, mengirim barang, kita juga harus bergerak. Sekarang? Tanpa perlu melangkah jauh keluar rumah, tukang ojek bakal nyamperin, makanan dari luar segera ada di depan mata, kirim dan terima barang juga lebih mudah. Semua itu cukup diperoleh dengan menggerakkan jari jemari di handphone. Kalau sudah begini, bisa jadi ajakan "Jalan yuk, makan di luar" akan dijawab dengan "Males ah, mending pesen pake *ojek aja".

Pertanda baik kah ini?
Tentu banyak hal baik yang diperoleh dari menggunakan teknologi; terutama kemudahan yang kita peroleh darinya. Kita bisa menghemat waktu dan tenaga, bahkan uang. Walau begitu, munculnya produk-produk teknologi modern ini juga patut diwaspadai. Satu hal yang paling terkena efeknya adalah gerakan tubuh dan interaksi sosial. Teknologi bisa membuat kita 'malas' untuk bergerak dan bahkan sekedar ngobrol langsung dengan orang di sekitar kita.

Menurut pengamatan, keberadaan produk teknologi ini sedikit banyak mengurangi interaksi sosial face to face yang sebelumnya lebih sering terjadi. Contohnya adalah memesan makanan via aplikasi, yang otomatis menghilangkan interaksi kita dengan pelayan di restoran. Begitu pula dengan aplikasi chatting di smartphone yang membuat kita sibuk dan melewatkan waktu untuk berbicara dengan orang di samping kita.

Kesimpulannya, we should be the one who controls technology; don't let it control our life. Teknologi itu baik asalkan kita bisa menggunakannya dengan baik pula. Jangan sampai kita menjadi bagian dari orang-orang yang merugi karena teknologi.

5.50 PM: Menikmati Waktu

Di kala senja menjelang azan magrib, Beberapa orang sudah menikmati waktu di rumah, Beberapa masih berjuang mengendarai motor atau mobil...