Wednesday, 21 October 2020

Tentang "Menyisakan Makanan"

Waktu buka Instagram kemarin, saya ketemu dengan sebuah postingan dari akun ecospire -sebuah akun yang mempromosikan tentang pelestarian lingkungan; yang mengingatkan kembali tentang betapa pentingnya untuk "tidak membuang makanan". Well, lebih tepatnya menyisakan makanan lalu membuangnya begitu saja.

Ingatan saya kembali ke 10 tahun yang lalu, di sebuah kafetaria, di Kopma UGM, tempat saya berorganisasi ketika masih berstatus mahasiswa. Saat itu saya dan beberapa teman sedang makan siang, dan entah karena apa (lupaa), saya menyisakan makanan di piring. Melihat itu, salah satu teman berkomentar, dengan gayanya yang memang meyakinkan kalau bicara: "Mbak; mbak tau nggak, itu sayur lama lho sampai di piring. Petani harus nanem dulu, nyiram, ngasih pupuk. Baru dipanen. Abis itu masih harus diangkut bla bla bla..." Kira-kira begitulah redaksinya. 

Nah, tidak tau karena faktor apa, tapi sepertinya hari itu menjadi turning point atau titik balik buat saya untuk tidak lagi menyisakan makanan yang sudah saya ambil untuk kemudian membuangnya. Sampai sekarang.

Lucunya, saya sempat menerapkan strategi yang sama; mengulang kata-kata yang sama kepada seorang teman lain yang menyisakan makanan di piringnya. Dan diapun mengambil kembali sendoknya dan menyuap sembari menatap saya dengan memelas "Ah, mbak Wening mahhhh". wkwkwk

----

Pernah pergi ke kondangan atau tempat lain yang ada acara makan-makannya; dan melihat banyak sisa makanan? Saya pernah dan sering. Sayangnya, itu adalah pemandangan yang "lazim"; banyak ditemui; bahkan ketika sistem pengambilan makanannya itu prasmanan alias ambil makanan sendiri. Rasanya? Sedih, gemas, sekaligus heran. 

Kok, heran? Iya, heran. Sistem prasmanan itu diadakan supaya kita bisa memilih dan memperkirakan, bukan? Kenapa pula masih bersisa? Kita bisa mengambil yang kita suka aja, dengan jumlah yang sekiranya kita mampu habiskan. Bagi orang dewasa, tentunya kita sudah bisa memperkirakan, seberapa laparkah kita dan sebanyak apa makanan ataupun minuman yang sanggup kita habiskan. 

IMO, menghabiskan makanan yang sudah kita ambil sendiri adalah sebuah tanggung jawab, sekaligus bentuk rasa syukur bahwa kita masih mempunyai rezeki berupa makanan dan kesehatan untuk menyantapnya. Menyisakan makanan yang kemudian terbuang tentu menunjukkan bahwa kita kurang bertanggungjawab, kurang bersyukur. Heloo? Di Yaman, Suriah dan negara berkonflik lainnya, orang-orang kesulitan mendapatkan makanan, tapi kita di sini me-mubadzir-kan makanan? Sungguh tidak keren, mbaksis dan masbro.    

Lapar Mata

Lapar mata ini adalah sebuah kondisi dimana kita mengambil sesuatu hanya karena tertarik melihat tampilannya. Di kondangan, misalnya; ada ikan goreng asam manis yang terlihat enak, ambil. Geser ke kanan, ada ayam goreng yang melambai-lambai minta diicip, ambil. Geser lagi ke sebelahnya, ada sayur cap cay bakso yang warnanya menarik, ambil. Penuhlah itu piring.

Jadi, gimana?

Nah, kalau lapar mata menjadi alasan, then the problem is about self control; bagaimana kita mengendalikan diri supaya tidak lapar mata. Easier said than done, lebih mudah diomongin daripada dilakuin; memang. Tapi hal semacam ini memang harus dilatih, dibiasakan.

Kalau bukan prasmanan, gimana dong?

Saya pernah berkunjung ke panti asuhan, yang anak-anaknya dibiasakan untuk makan secukupnya. Waktu itu, masing-masing anak menerima nasi kotak yang porsinya seragam. Sebelum makan, (sepertinya) semua anak menyisihkan separuh nasi dan lauk yang mungkin menurut kebiasaan mereka, terlalu banyak. Setelah selesai makan, mereka mengumpulkan nasi dan lauk yang tadi sudah disisihkan. Dan karena belum tercampur, maka makanan ini bisa dimakan kembali nanti di waktu makan berikutnya. Menurutku itu brilian banget. 

Kalau memang sudah terlanjur di depan mata, pilihannya adalah sisihkan untuk nanti atau habiskan. Wasting food is not an option at all

Yuk ah, belajar bersyukur lagi dan lebih menghargai makanan dengan cara ambil makanan secukupnya, habiskan yang ada di piring atau sisihkan untuk nanti. Jangan jadi temennya setan dengan membiarkan ada makanan yang terbuang sia-sia, mubadzir.  

Friday, 16 October 2020

(Akhirnya) Mudik di Masa Pandemi

Sejak pindah ke Jakarta, saya berusaha untuk pulang kampung ke Purworejo setiap tiga bulan sekali. Biarpun tidak lama di rumah, setidaknya sudah bisa ketemu Bapak (almarhum) dan Mamak (that's how I call my mom); alias "setor muka" kalau bahasa saya. Tahun 2020, satu kali sudah saya mudik, di awal tahun. Karena pandemi muncul, rencana mudik selanjutnya di bulan Maret pun kandas. Kebiasaan mudik 3-bulan sekali praktis harus ditunda sampai waktu yang belum ditentukan. 

Sampai akhirnya, September datang. Cerita mudik dari sejumlah teman dan tetangga membuat saya ingin mencoba. Apalagi cerita itu dibumbui dengan "Jalanan lancar banget", "Nggak ada pemeriksaan kok", "Di kampung mah kayak nggak ada Corona"; semakin membara lah keinginan untuk pulang kampung. Rencana awal pulang di akhir bulan, sekalian ikut acara mendhak Bapak. Tapi karena tiba-tiba ada "libur" dadakan di agenda sekolah, saya putuskan untuk berangkat di hari Rabu, 8 September.

Jalanan Super Lancar

Rupanya bener, jalanan amat sangat lancar sekali. Sepanjang Jakarta-Purworejo, kami sama sekali tidak ketemu dengan macet kecuali antrian lampu merah. Bahkan suami yang biasanya pasti berhenti untuk tidur di sela perjalanan pun, kali ini kuat melek sampe tujuan. Ngantuk-ngantuk sih pasti ada😅. Total perjalanan? Kurang dari 12 jam, lewat jalur tengah dengan rute seperti biasa. Sebelas jam sekian menit. Amazing. Ini rekor perjalanan mudik naik mobil yang tercepat.

Jadi mikir, mudik tuh harusnya ya seperti itu: menikmati perjalanan tanpa macet. Bepergian tidak di saat yang bersamaan dengan orang lain. Coba kalau mudik lebaran bisa selengang mudik kemarin~ ~ ~ (You wish!)

Jadi mikir lagi, harusnya kita tuh nggak usah ya bermacet-macet mudik saat Idul Fitri. Pulang kampungnya tunggu yang lain udah pada balik aja.😁😁😁

Gimana rasanya mudik waktu pandemi?

Okay, kembali lagi ya ke topik. Selain jalanan yang lancar, mudik saat pandemi juga punya cerita lain yang membekas di ingatan. Ya, karena memang situasinya nggak normal, jadi kebiasaan baru pun muncul. Agak deg-degan, tapi seru.

1. Menghindari rest area

Selama perjalanan, kami berhenti empat kali tanpa berlama-lama; untuk isi angin ban, bensin, makan, dan sholat. Satu hal yang biasa dilakukan tapi kali ini dihindari adalah berhenti lalu keluar dari mobil di rest area. That's right. Rest area yang biasanya menarik hati karena bisa jajan di sana; kali ini tidak kami jadikan opsi untuk istirahat (sholat, makan, jajan); demi menghindari bertemu dengan banyak orang.

Jadi, kami memilih berhenti di tempat makan yang relatif sepi; itupun sudah masuk di area Kebumen; selepas ashar. Sedangkan untuk sholat, kami berhenti di Muhammadiyah Islamic Center di daerah Sruweng, Kebumen. Guess what? Masjidnya dikunci dong. Alhamdulillah tetep bisa sholat di teras masjid, dengan alat sholat sendiri. Bagusnya, di tempat ini disediakan sabun cuci tangan untuk pengunjungnya. Di samping masjid, ada juga minimarket, TokoMu namanya. Lumayan untuk sekedar beli es krim. 

2. Menggunakan masker dan hand-sanitizer

Standar ini mah ya. Masker hanya dilepas kalau sedang makan dan di dalam mobil. Serunya, di area Jawa Tengah, rupanya masker tidak se-populer di Jakarta; kami banyak melihat warga yang tidak menggunakan masker. Hmmm. 

Hand sanitizer yang masih full karena jaraaang dipakai di Jakarta, terpakai hampir setengahnya. Keluar mobil, pakai. Mau makan, pakai. Masuk mobil, pakai lagi. Begitu aja sepanjang perjalanan.

3. Bebersih setelah sampai di tujuan

Biasanya, sesampainya di rumah Purworejo, kami menghindari mandi karena alasan sudah malam 😅. Tapi mengingat kondisi pandemi, demi menjaga kesehatan kami dan juga Mamak, kami pun dengan sukarela bebersih, mandi; bahkan sebelum salaman. It felt good, tho. Ternyata mandi setelah perjalanan jauh itu menyegarkan; membuat tidur lebih nyenyak. hihi

Oya, desa saya masih menerapkan protokol kesehatan di era pandemi, meskipun saya perhatikan warganya tidak menggunakan masker saat melakukan aktivitas sehari-hari. Malam ketika sampai di rumah, ada dua orang pejabat setempat yang datang ke rumah. Mencatat identitas saya dan suami. Mungkin karena kami datang dari Jakarta; yang terhitung zona merah Covid-19. Selain itu, mobil pun disemprot dengan disinfektan. Alhamdulillah

--------         

Post Mudik

Kami terpaksa pulang ke Jakarta lebih awal dari rencana karena tiba-tiba ada pengumuman PSBB akan kembali diberlakukan. Perjalanan pulang ke Jakarta sama menyenangkannya; lancar tanpa tersendat sedikitpun. 

Tapi ada satu hal yang sedikit mengganjal di pikiran; yaitu tentang kondisi kesehatan kami dan Mamak, sebagai pihak yang kami kunjungi. Jadilah saya memantau kondisi Mamak sampai dua pekan setelah sampai di Jakarta. Alhamdulillah, semua sehat-sehat. Tenang deh, rasanya.

Yah, begitulah cerita mudik di masa pandemi kali ini; menyenangkan sekaligus mendebarkan. Menyenangkan karena jalanan lancar dan mendebarkan karena harus stay safe tidak hanya untuk diri sendiri tetapi memastikan orang lain juga aman. Anyway, saya bersyukur akhirnya bisa "setor muka" dan melepas rindu setelah hampir sembilan bulan absen. Setelah ini, Jakarta mau PSBB tiga bulan juga gapapa deh.😁

Corona, go away soon, please.

Tuesday, 13 October 2020

Sisi Religius Lagu "Sandaran Hati" (Letto)

Dua hari yang lalu, tiba-tiba teringat sama Letto dan lagunya yang berirama slow. Langsung search di YouTube dan suara mas Sabrang pun menemani daku koreksi tugas siswa siswi yang sempat terbengkalai. Lalu tibalah di satu lagu yang menarik hati sekaligus membawa ke ingatan masa lalu: Sandaran Hati.

Duluuu, waktu masih remaja, mendengar lagu ini rasanya meleleh, lebih karena maknanya dihubungkan dengan dunia percintaan remaja. Tapi sejumlah tahun berselang, seiring dengan pertambahan usia dan pengalaman, perubahan logika; urusan cinta-cintaan sudah tidak lagi relevan. Dan pemaknaan terhadap lagu Sandaran Hati ini pun turut berubah. Ternyata setelah mencermati lirik dan mendengarkannya beberapa kali, lagu ini lebih terasa sisi religiusnya. Let's check the lyric:

Yakinkah kuberdiri
Diamlah tanpa tepi
Bolehkah aku
Mendengarmu
Terkubur dalam emosi
Tanpa bisa bersembunyi
Aku dan nafasku
Merindukanmu
Terpurukku di sini
Teraniaya sepi
Dan ku tahu pasti
Kau menemani
Dalam hidupku, Kesendirianku
Teringat ku teringat
Pada janjimu kuterikat
Hanya sekejap ku berdiri
Kulakukan sepenuh hati
Peduli kupeduli
Siang dan malam yang berganti
Sedihku ini tak ada arti
Jika kaulah sandaran hati
Kaulah sandaran hati
Inikah yang kau mau
Benarkah ini jalanmu
Hanyalah engkau yang kutuju
Pegang erat tanganku
Bimbing langkah kakiku
Aku hilang arah
Tanpa hadirmu
Dalam gelapnya
Malam hariku
Teringat ku teringat
Pada janjimu ku terikat
Hanya sekejap kuberdiri
Kulakukan sepenuh hati
Peduli kupeduli
Siang dan malam yang berganti
Sedihku ini tak ada arti
Jika kaulah sandaran hati
Dari lirik lagu di atas, bagian yang paling bikin "baper" menurut daku adalah "hanyalah engkau yang ku tuju", "aku hilang arah tanpa hadirmu", dan "sedihku ini tak ada arti jika kaulah sandaran hati". Kalau dimaknai dalam konteks hubungan romantis antar lawan jenis, remaja sekarang bakal bilang "uwuu banget". Tapi, hey, ada konteks yang lebih luas, yang lebih menggetarkan; yaitu hubungan antara manusia dengan penciptanya.

Memang iya, kan, Tuhan itu harusnya menjadi satu-satunya tujuan manusia hidup di dunia. Apapun hal baik yang dilakukan manusia harusnya ditujukan hanya kepada penciptanya. Juga Tuhan lah, pemberi petunjuk paling hebat dan sandaran hati paling kuat. Dia akan memberikan petunjuk kapanpun kita minta. Ketika kita berharap hanya pada-Nya, pun Dia tidak akan goyah atau keberatan dengan apapun yang kita sandarkan. 

Sekeren itu lagumu, ternyata, mas Sabrang "Noe". Four thumbs up.
 


5.50 PM: Menikmati Waktu

Di kala senja menjelang azan magrib, Beberapa orang sudah menikmati waktu di rumah, Beberapa masih berjuang mengendarai motor atau mobil...