Saturday, 17 December 2016

(Masih) Tentang Boikot Sari Roti

Dari kemunculan beritanya tanggal 3 Desember, Sari Roti masih diperbincangkan hingga saat ini; setidaknya pagi ini, di ruang guru tempat saya bekerja. Jadi pengen menulis uneg-uneg yang muncul dua minggu yang lalu--tapi belum sempat tertulis, tentang roti yang (orang bilang) enak ini.

Klarifikasi yang Tidak Perlu
Blunder. Itu adalah kata pertama yang terlintas di benak ketika mendengar berita dan membaca klarifikasi dari SR. Blunder sendiri adalah kata bahasa Inggris yang berarti melakukan kecerobohan atau kesalahan bodoh. Kenapa demikian? Ada dua hal; yang pertama adalah pemilihan kata-kata, dan yang kedua adalah pemilihan waktu.

Dengan tidak mengurangi apresiasi kami atas Aksi Super Damai kemarin, dengan ini kami sampaikan bahwa PT Nippon Indosari Corpindo Tbk. tidak terlibat dalam semua kegiatan politik. Kemunculan informasi mengenai pembagian produk Sari Roti secara gratis oleh penjual roti keliling (hawker tricycle), merupakan kejadian yang berada diluar kebijakan dan tanpa seijin PT Nippon Indosari Corpindo Tbk. 

Demikian informasi ini kami sampaikan agar tidak terjadi kesalahpahaman diberbagai pihak. PT Nippon Indosari Corpindo Tbk. berkomitmen untuk selalu menjaga Nasionalisme, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika, serta tidak terlibat dalam semua aktivitas kegiatan politik.

Dari kutipan di atas, Sari Roti sebenarnya hanya ingin mengklarifikasi bahwa mereka tidak menggratiskan roti untuk para peserta aksi 212 secara resmi. Akan tetapi, di bagian berikutnya, seolah-olah ingin mengatakan bahwa pihaknya menganggap bahwa Aksi 212 adalah aktivitas politik (yang sebenarnya bukan) yang tidak menjaga keutuhan NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Padahal, tanpa adanya klarifikasi ini, tak terlintas sekalipun di pikiran saya, anggapan bahwa itu roti gratisan dari perusahaan Sari Roti. Itulah kenapa saya bilang ini tidaklah perlu, dan justru menjadi blunder; karena akhirnya umat muslim mengetahui bahwa SR tidak mendukung aksi 212. Kalau kata teman saya: "Gimana sih ini PR (Public Relation)nya?".

Kedua, pemilihan waktu. Well, sehari setelah aksi, suasana pastilah sedang hangat-hangatnya. Dukungan mengalir deras dari muslim di berbagai tempat. Ketika muncul satu suara yang 'tidak mendukung', heboh sudah.Reaksinya pun menjadi cenderung galak. Mungkin, hanya mungkin sih, reaksinya tidak akan segalak itu jika disampaikan ketika keadaan sudah 'adem'.

Reaksi yang Berlebihan
Terkait dengan poin kedua di atas, ada orang-orang yang begitu 'bersemangat' dalam menunjukkan reaksi, boleh dibilang lebay alias berlebihan. Saking 'semangat'nya, ada yang mencaci maki sampai menginjak roti dan diunggah pula ke media sosial. I mean.., come on! Ngga segitunya juga.Apalagi kalau yang melakukan itu orang beragama Islam, malu. Sedangkan dalam Islam, diperintahkan untuk berkata hal yang baik saja atau diam. Pun dilarang membuat makanan menjadi mubadzir. Dua perbuatan lebay di atas jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam. A big no no.

Jika memang tidak suka, atau kecewa, atau apalah itu namanya, sekedar tidak membeli produknya pun sudah cukup. Atau kalau memang kesal sangat, bolehlah mengomel sedikit, di dalam hati atau bersama orang terdekat tanpa diekspos ke publik.

Pilihan Sikap
Dari hasil membaca postingan, komentar, dan mendengarkan langsung, terdapat dua kubu besar terkait boikot roti ini: pro dan kontra. Yang pro beralasan bahwa SR tidak mendukung perjuangan umat Islam, jadi tidak perlu pula didukung. Lagipula, masih banyak produsen roti lain yang tidak kalah enak. Yang kontra mengatakan bahwa boikot SR itu lebay, ngga perlu.

"Kasian abang yang jual Sari Roti kalau dagangannya ngga laku". Nah, kalau yang ini, komentar teman saya yang setuju boikot tapi hatinya yang penuh kasih sayang meragukan. Waktu dia bilang begitu, saya terhenyak: betul juga. Untungnya, ada teman lain yang mengingatkan "Rezeki kan dari Allah, nanti juga ada gantinya".  Wah, ini jawaban yang sungguh keren,

Dengan pilihan sikap yang tersedia, kita bebas menentukan mau berada di sisi mana. Saya sendiri sudah beberapa bulan pindah ke lain hati, tidak lagi suka membeli Sari Roti. Dengan adanya kejadian ini, saya hanya tinggal meneruskan kebiasaan saya.hehehe

Hikmahnya? 
Sebagaimana peristiwa pada umumnya, tentu banyak hikmah yang bisa dipetik; misalnya tentang kehati-hatian menyampaikan sesuatu lewat bahasa verbal, karena terkadang bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Juga tentang keputusan untuk berdiri di satu pihak, yang membutuhkan ketegasan. Satu lagi yang juga saya dapatkan dari postingan kawan, adalah kemungkinan untuk muncul dan naiknya popularitas roti produksi lokal yang selama ini 'tenggelam dalam dominasi Sari Roti sebagai merk favorit.

By the way, kemarin, di salah satu minimarket, meskipun tidak berniat beli roti, saya sengaja mlipir ke rak-rak yang menampung beberapa merk roti. Daan, rak Sari Roti masih penuh. Mungkin baru distok? Atau memang..? Ah sudahlah, tidak usah dilanjut yaa.

1 comment:

  1. Artikel yg mantap. Saya juga sebenarnya kasian sama penjual keliling SariRoti. Tapi saya sudah terlanjur illfeel. Ini semua karena Public Relation nya yang kelewat batas. Katanya klarifikasi mereka udah dihapus pas banyak yg nge boikot. Tapi mereka memilih diam dan tidak ada niat memperbaiki hubungan dengan pendukung dan peserta aksi 212.

    Saya sampai sekarang sudah tidak pernah makan SariRoti lagi. Kemarin ada teman yg ga sengaja pulang daru bandara dan bawa oleh2 sariroti. Satu kantor pada nolak makan semua. Mubadzir sih. Tapi bagaimana lagi jika hati sudah tidak menginginkan.

    ReplyDelete

5.50 PM: Menikmati Waktu

Di kala senja menjelang azan magrib, Beberapa orang sudah menikmati waktu di rumah, Beberapa masih berjuang mengendarai motor atau mobil...