Monday, 30 January 2017

Lebih Baik Mencegah Daripada Mengobati: Bijak Bersosial Media

Sosial media yang  jumlahnya menjamur memungkinkan orang untuk memiliki lebih dari satu akun. Menggunakan sosial media berarti sudah siap dengan hubungan pertemanan yang berbagai jenis (mengingat banyaknya jumlah teman yang bisa dimiliki via sosmed). Di sana, tidak melulu kita akan menemukan orang baik yang berbahasa santun. Tidak pula selamanya kita akan setuju dengan pendapat di postingan teman-teman kita.

Ada kalanya, perbedaan pendapat, sudut pandang, dan sikap terhadap sesuatu membuat seseorang merasa sedikit tersinggung, atau mungkin geram. Ada kalanya pula, kosakata yang dipakai oleh si teman terasa tidak nyaman dibaca. Saya, contohnya. Saya paling tidak suka dengan penggunaan umpatan dan kata-kata kasar lainnya (yang mungkin sudah menjadi bahasa sehari-hari si teman). Subjektif, memang, dan memang begitulah bahasa.

Mencegah daripada Mengobati
Kalau kita berteman dengan mereka yang gemar mengumbar kata-kata kasar, menyatakan pendapat dengan pemilihan kata yang ekstrem, dan sejenisnya, mau tidak mau kita akan membaca atau setidaknya melihatnya di timeline. Kemudian rasa jengah, jengkel, atau perasaan ga enak lainnya akan muncul.

Itu semua resiko, betul sekali. Ada yang bilang, ga usah main medsos kalau nggak siap dengan semua itu. Kalau saya sih, mending mencegah daripada mengobati. Maksudnya? Yaa, daripada harus sebel melihat postingan yang tidak sesuai hati nurani, lebih baik mencegah agar postingan tersebut tidak masuk ke timeline. Caranya adalah dengan menyaring teman. Pilih teman yang kira-kira bisa berperilaku santun di media sosial. Bagaimana kalau sudah terlanjur berteman? Di unfriend atau unfollow juga masih bisa. Untungnya, di Facebook (satu-satunya medsos yang sekarang saya masih aktif memakainya), ada fasilitas unfollow yang memungkinkan kita berteman dengan seseorang tanpa harus mengikuti postingan nya.

Pilih-pilih ya? Tak apa lah. Lebih baik menghindari sesuatu yang tidak baik, daripada teracuni hal negatif , hihihi. Toh itu juga hanya sosial media, yang tidak semua teman di dalamnya kita kenal dengan baik. Di dunia nyata, mungkin akan lebih mudah berteman dengan siapa saja, termasuk dengan yang kita tidak ingin berteman dengannya via media sosial.

Intinya, mari menjadi bijak dalam menggunakan sosial media. Jangan sampai kita merugikan dan dirugikan oleh orang lain, ya!

Saturday, 28 January 2017

Shortcut dalam Berbahasa

Belakangan, saya beberapa kali sedikit kesal dengan kata B-aja (biasa aja); yang seringkali dipakai oleh remaja masa kini.  Mungkin bukan karena kata-katanya, tapi lebih pada ekspresi muka yang mereka tampakkan waktu mengucapkan kata tersebut . hehehe. Saat itu saya membatin sendiri 'Malesnyaa ini bocah, ngomong satu kata pendek (biasa) aja masih disingkat'. Maafin.

Tapi kemudian, saya menyadari sesuatu: ternyata shortcut (cara cepat) memang berlaku dan wajar dalam menggunakan bahasa. Dari tiga bahasa yang insya Allah saya gunakan (Jawa,  Indonesia,  English),  kesemuanya akrab dengan contraction atau memendekkan kata, juga menggabungkan beberapa kata menjadi satu. Kalau kata temen saya, "semua orang ternyata emang suka cari yang lebih gampang ya". Begitulah.

Bahasa Jawa
Dalam bahasa ini, bisa ditemukan kata-kata yang di pendek kan. Contoh, di kalimat Uwis mangan durung? (udah makan belum?) ada dua kata yang bisa di pendekkan menjadi wes mangan rung?.

Bahasa Indonesia
Kata b-aja yang saya sebut di awal tulisan adalah contoh dalam bahasa Indonesia. Yang lain? Misalnya, kata Cogan yang merupakan kependekan dari cowok ganteng (I got it from my junior high
student), jimayu (jadi malu---alay mode spotted. Ehm.), lola (loading lama), dan sebagainya.

Bahasa Inggris
Kenal dengan kata informal gotta,  gonna, kinda, outta, atau yang lebih formal semacam I'd (I would), can't, won't (will not), you're? Jelas sekali itu adalah contoh dari contraction dalam bahasa Inggris yang penggunaannya sudah dianggap sangat lazim.

Di bahasa Jepang, saya juga pernah melihat hal serupa, dimana sebuah kata dipendekkan. Contoh: Gomenasai yang disingkat menjadi Gomen saja. Karena belom jago bahasa Jepang,  sementara contohnya itu aja dulu. Hihi

Kalau diamati,  kebanyakan shortcut ini dipakai dalam bahasa percakapan, bukan tulis. Dan statusnya banyak yang masuk ke kategori informal atau bahasa tidak resmi. Sisi positif dari fenomena ini adalah kreativitas. Bagaimanapun, tidak semua orang akan kepikiran untuk memendekkan biasa aja menjadi B-aja. Tapi yang tentu harus diperhatikan adalah  pemahaman tentang bahasa baku. Jangan sampai khilaf dalam menggunakan bahasa baku karena sudah terlalu terbiasa dan nyaman dengan yang tidak baku.

Thursday, 26 January 2017

Memperbanyak Perbendaharaan Kosakata demi Ujian Nasional Bahasa Inggris

Ujian Nasional batal dihilangkan. Mau tidak mau, murid kelas dua belas sudah harus mempersiapkan diri menghadapinya. Kali ini saya akan membahas tentang ujian nasional mata pelajaran Bahasa Inggris, kaitannya dengan penguasaan kosakata dari para siswa.

Berdasarkan pengalaman mengajar di sekolah formal yang baru menuju tiga tahun, saya menemukan sebuah fakta bahwa kendala terbesar siswa dalam mengerjakan soal ujian nasional bahasa Inggris adalah kosakata. Semakin besar perbendaharaan kosakata mereka, kemungkinan untuk mengerjakan soal dengan lebih mudah pun menjadi lebih besar. Berbanding lurus. (Oh ya, kondisi ini mungkin tidak terjadi di semua sekolah ya.)

Penyebabnya, tidak lain dan tidak bukan, adalah jenis soal yang muncul dalam ujian nasional. Dari lima puluh soal pilihan ganda, 35 di antaranya adalah soal reading. Siswa harus menjawab pertanyaan sesuai dengan teks yang ada. Sebagian soal memiliki jawaban yang secara eksplisit tertera di teks, sebagian lagi implisit (sehingga siswa harus menyimpulkan), dan sebagian lainnya bisa dijawab (murni) dengan kekuatan dari kosakata yang dimiliki siswa.

Permasalahannya, soal reading dalam ujian ini bukanlah teks lama yang sudah siswa pelajari berkali-kali di kegiatan belajar-mengajar sehari-hari. Mungkin ada sih, sebagian yang sudah ditemui; dan kemungkinan ini terkait dengan seberapa banyak teks yang pernah siswa baca. Semakin banyak baca, semakin besar kemungkinan siswa mengenali topik dan jenis teksnya. Nah, kalau siswa asing dengan teksnya, maka tingkat kesulitan untuk mengerjakan soalnya juga turut naik kecuali dia kaya akan kosakata. Itu poin yang pertama.

Yang kedua, tidak semua trik dan tips (yang guru ajarkan di sekolah ataupun yang siswa baca dari berbagai buku dengan judul persiapan UN) berlaku ketika mengerjakan soal ujian yang sesungguhnya. Contoh: teorinya, ada teknik scanning yang mengajarkan siswa untuk menentukan kata kunci dari sebuah pertanyaan, untuk kemudian dicari di dalammteks, demi mendapatkan jawaban. Kenyataannya, memang kata kunci tersebut ada dalam teks, tetapi dalam bentuk sinonim. Di pertanyaan terdapat kata kunci artificial, sedangkan di teksnya menggunakan kata man-made. Dua kata ini memang artinya mirip, tapi bagaimanalah siswa akan menemukan jawaban yang tepat jikalau mereka tidak mengetahui bahwa keduanya sama? Jadi, semuanya kembali lagi pada penguasaan kosakata.

Poin ketiga, teks soal ujian bahasa Inggris juga menghadirkan muatan pengetahuan umum; misalnya teks berita yang membahas kejadian terkini, teks deskripsi tentang sebuah tempat wisata terkenal, atau teks biografi orang terkenal. Beruntunglah mereka yang pernah mendengar atau membaca tentang topik tersebut.; setidaknya mereka telah memiliki gambaran umum tentangnya meskipun ada kosakata yang mereka tidak tahu di teks ujian.

Demikianlah permasalahan tantangan yang terpampang nyata dan harus dihadapi oleh anak murid kelas dua belas di sekolah menengah atas yang saya ajar. Mungkin memang seperti itulah nasib mata pelajaran bahasa. Alih-alih mengeluhkannya, lebih baik mencari solusi. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah memperkaya jumlah kosakata yang dikuasai. And the only way adalah dengan banyak membaca dan latihan soal. Bagi yang masih kelas sepuluh atau sebelas, jangan tunggu naik kelas untuk menambah jumlah perbendaharaan kosakata.

Mengenal Kata Relativitas

'The beauty lies on the eyes of the beholder'. I found this proverb again after a quite long time. Peribahasa yang berarti 'keindahan itu terletak pada mata yang memandang' ini mengajarkan konsep relativitas atau kenisbian. Kata relatif (syn: nisbi) dalam kamus besar Bahasa Indonesia dimaknai 'tidak mutlak'. Sesuatu yang bersifat relatif menjadikannya berbeda di mata satu orang dengan orang lainnya, tidak ada ukuran pastinya.

Dalam salah satu topik grammar bahasa Inggris yang berjudul adjective order (tentang menyusun kata sifat dalam sebuah kalimat), ada kategori yang disebut dengan 'opinion' alias pendapat. Kata sifat yang termasuk dalam kategori ini adalah yang bersifat relatif; oleh karenanya diberi nama 'opinion'. Yang namanya pendapat, sangat mungkin berbeda antara satu dengan yang lain, bukan?

Nah, kata-kata yang terdapat dalam kategori opinion ini antara lain adalah handsome, beautiful, interesting, expensive, kind, etc. Ganteng dan cantik, sudah pasti relatif. Si A disebut cantik oleh si B, tapi belum tentu si C setuju dengan itu. Sepatu seharga 500ribu akan dikatakan murah oleh mereka yang berduit banyak, tetapi tidak untuk yang terbiasa hidup susah. Kita bisa mengatakan seseorang baik, tetapi mungkin di luar sana ada yang menganggapnya berbeda.

Relativitas pada Sifat Seseorang
Just last Tuesday, saya membahas materi tentang sifat seseorang (personality traits) bersama murid remaja saya. Ketika diminta mengidentifikasi sifat positif dan negatif, ternyata ada silang pendapat di antara mereka. Dari 25 personality traits yang dikategorikan, ada empat sifat yang diperdebatkan, yaitu sensitive (sensitif), outspoken (ceplas-ceplos), critical (kritis), dan idealistic (idealis). Bahkan saya pun berbeda pendapat dengan mereka.

Perdebatan paling panjang terjadi ketika membahas kata outspoken. Yang menyebutnya positif beralasan bahwa ceplas-ceplos berarti terus terang, jujur dengan apa yang dikatakannya. Kalau dipikir-pikir, benar juga. Sedangkan mereka yang menyebutnya negatif menganggap kata-kata yang diucapkan oleh orang dengan karakter ceplas-ceplos kemungkinan bisa menyinggung perasaan pendengarnya. Well, ini juga benar. Saya pun kemudian menyebut karakter ini memiliki sifat relatif; menilik dari berbedanya pandangan orang tentangnya.

Kenapa Bisa Relatif?
Relativitas atas sesuatu muncul dengan berbagai alasan; seperti perbedaan pengetahuan, pengalaman, lingkungan, hingga sifat seseorang itu sendiri. Setelah saya amati sekilas, murid yang mengatakan bahwa ceplas-ceplos adalah karakter positif ternyata memiliki sifat yang sama; sedangkan yang sebaliknya, terlihat lebih kalem dan tertutup.

Pengetahuan tentang relativitas ini seharusnya membuat bisa kita lebih hati-hati dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu ataupun seseorang. Selain itu, kita juga akan lebih mudah menghargai perbedaan pendapat dan tidak semena-mena memaksakan apa yang kita yakini benar kepada orang lain.  

Saturday, 21 January 2017

Belajar Grammar dari Lagu Berbahasa Inggris? Nanti Dulu!

Di postingan saya bulan Desember berjudul Learning English: Mulai dari yang Disukai, saya menyebut lagu berbahasa Inggris sebagai salah satu media pembelajaran yang paling menyenangkan. Sedikiiit berbeda, di tulisan kali ini, saya justru ingin menggarisbawahi kelemahan belajar menggunakan lagu; yaitu berhubungan dengan grammar, alias tata bahasanya.

Kenyataannya, lagu-lagu berbahasa Inggris tidak melulu menggunakan grammar yang benar, 100%. Ada beberapa bagian lirik yang akan membuat para grammarian (ahli grammar) mengernyitkan dahi karena menemukan kesalahan. Contohnya ada di lagu When I was Your Man punya Bruno Mars. Setidaknya ada dua baris lirik yang mengandung grammatical error:

1. Our song on the radio but it don't sound the same
> yang salah di bagian ini adalah kata don't yang seharusnya doesn't karena mengacu pada subjek it.

2. Should have gave you all my hours
> contoh kedua ini menggunakan perfect tense yang mengharuskan kata kerjanya dalam bentuk past participle atau kata kerja bentuk ketiga; kesalahan terletak pada kata gave (kata kerja bentuk kedua) yang seharusnya given

Poetic License
Kesalahan di atas terjadi tentu bukan karena mereka tidak mengerti grammar. Kalau harus menunjuk biang kesalahannya, maka itu adalah sesuatu yang disebut dengan poetic license. Ini merupakan semacam izin untuk 'menyimpang dari hal-hal normal', termasuk aturan grammar, demi terciptanya sebuah karya sastra yang selaras dan indah.

Poetic license ini memungkinkan para penyair dan penulis lagu untuk tidak menggunakan diksi/pilihan kata yang sesuai, menyingkat kata agar lebih efektif, ataupun sedikit menyimpang dari tata bahasa yang benar. Coba deh, jika kata gave yang memiliki satu suku kata diganti menjadi given (dua suku kata), lirik menjadi tidak selaras dengan musik; sehingga tidak lagi terasa enak untuk dinyanyikan atau didengarkan.

Kesimpulannya, lagu bahasa Inggris memang sebuah awalan yang baik untuk mempelajari bahasa Inggris, terutama untuk memperkaya kosa kata. Tapi untuk mempelajari grammar, perlu sedikit kehati-hatian supaya tidak salah. Memang sih, kesalahannya nggak bakalan banyak, tapi alangkah baiknya kalau bisa membedakan mana yang benar dan salah.

Intinya mah, tetep semangat belajar, ya!

Sunday, 15 January 2017

Lima Nasehat dari Ali bin Abi Thalib

Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah buku bergambar (semacam komik) berjudul 55 Mutiara Akhlak. Sesuai dengan judulnya, buku ini berisi berbagai nasehat untuk membangun akhlak yang mulia yang disampaikan lewat ilustrasi menarik. Dari sekian nasehat, ada lima dari Ali bin Abi Thalib  yang sangat mengena di hati:

#1 Kekayaan sebenarnya adalah akal, kemiskinan yang sebenarnya adalah rusaknya akal.
Nasehat ini digambarkan dengan cerita suami-istri yang berboncengan naik motor. Si istri membeli pisang dari pedagang yang menjual dagangannya dengan gerobak, tanpa menawar harga yang disebutkan. Ketika ditanya 'Kok nggak nawar sih?'', si istri bilang: kalau di supermarket aja, dengan harga berapapun, kita tidak nawar, kenapa harus pelit kepada pedagang kecil? Ilustrasi kedua, ada seorang ibu bermobil yang menawar pisang (di pedagang yang sama) dengan harga yang tidak masuk akal.

#2 Jika engkau berjumpa dengan orang yang lebih muda berpikirlah pasti dosanya lebih sedikit darimu. Jika berjumpa dengan orang yang lebih tua, berpikirlah pasti amalnya lebih banyak darimu. Sesungguhnya setuap orang pasti memiliki kelebihan.
Digambarkan dengan jungkat-jungkit yang diisi orang tua dan anak muda di masing-masing sisinya, nasehat ini jelas sekali mengarahkan agar kita tidak sombong dengan apa yang ada pada diri kita dan meremehkan orang lain. Selain itu, Ali bin Abi Thalib juga menyampaikan bahwa setiap orang itu memiliki kelebihannya; entah dia lebih muda atau tua daripada kita. Dengan mengetahuinya, kita akan lebih mudah menghargai orang lain, sekaligus menyemangati diri untuk terus berbenah. 
Yuk, cobain!

#3 Simpanlah perbendaharaan lidahmu seperti engkau menyimpan perbendaharaan emas dan uangmu.
Ngobrol adalah salah satu kegiatan paling mengasyikkan bagi beberapa orang. Bagi yang 'hobi' dan 'ahli' bicara, apa saja bisa dijadikan bahan pembicaraan. Ali bin Abi Thalib memperingatkan untuk berhati-hati dengan itu. Kenapa? Karena ada kalanya kata-kata yang keluar dari mulut bisa menyinggung orang lain, membuatnya marah, hingga berujung permusuhan. Kemudian, ada juga tutur kata yang terlalu berlebihan sehingga orang kehilangan rasa hormat kepada yang mengucapkannya; maka hilanglah kehormatannya. Ini sejalan dengan ungkapan mulutmu harimau-mu; kata-kata bisa membinasakan pemiliknya. Ngeri. Maka diam (menyimpan lisan dari kata-kata yang tidak perlu) ada saatnya menjadi pilihan terbaik.

#4 Orang yang terlalu memikirkan akibat dari suatu keputusan atau tindakan, sampai kapan pun dia tidak akan menjadi orang yang berani.
Sebelum melakukan sesuatu, lumrah untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di depan. Akan tetapi, jika terlalu banyak lama mempertimbangkan ini itu, terkadang orang malah jadi batal melakukannya, tidak melakukan apa-apa. 

Ini adalah kutipan yang paliing berkesan di hati. Buat saya yang kadang lamaa dala memutuskan sesuatu, membacanya menumbuhkan keberanian untuk membuat keputusan. Tapi by the way, saya juga pernah dengar bahwa membuat keputusan dengan berani itu membutuhkan latihan, lho. 

#5 Jangan engkau menghadirkan keresahan esok hari pada hari ini. Yang demikian itu hanyalah akan menambah beban diri.
Yang ini masih agak berhubungan dengan nasehat di nomor empat. Diberi judul Kalah Sebelum Bertanding, nasehat ini digambarkan dengan cerita seorang yang hendak ujian di esok hari, tapi sehari sebelumnya dia sudah membayangkan akibat kalau dia tidak lulus ujian. Akibatnya? Dia justru menghabiskan waktu untuk fokus di perasaan takut; takut gagal ujian, takut orang tua marah, dan sebagainya. Padahal, seharusnya dia fokus belajar untuk menghadapi ujian. Rugi, kan?
---------
This is it! Ini dia bukunya

Penyampai pesannya adalah VBI_Djenggotten, yang memiliki karya serupa berjudul 33 Pesan Nabi (3 seri). Cover dan isinya menarik. Meskipun nasehat di dalamnya berbobot, tapi penyampainnya lewat gambar komik yang jenaka membuat buku ini menjadi santapan ringan yang mudah dipahami. Dan yang paling penting, pesannya sampai ke pembaca. 

Setebal 118 halaman, buku ini berisi 55 nasehat untuk membangun akhlak mulia. Temanya beragam, dari yang urusannya dengan diri sendiri hingga hubungan dengan orang lain. Selain dari Ali bin Abi Thalib, buku ini juga menampilkan nasehat dari Nabi Isa, Luqman Al Hakim, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Abu Darda, Abdullah bin Mas'ud, dan banyak lainnya. Kesemuanya disampaikan dengan cara sederhana yang mudah dimengerti. 

Buku ini bagus dibaca oleh para remaja dan maupun dewasa bahkan orangtua; karena membenahi akhlak adalah pekerjaan bagi semua kalangan usia. Ehm

Melapangkan Dada

Saat masih kecil, beliau Nabi Muhammad SAW, mengalami sebuah peristiwa menakjubkan. Dua malaikat (Jibril dan Mikail) membawanya ke suatu tempat untuk kemudian membedah dada beliau lalu membersihkannya dari penyakit hati. Begitu pula di tahun ke-11 kenabiannya, dada beliau kembali dibedah, dan dikeluarkan dari dalamnya, dua hal. peristiwa itulah yang membuat Nabi Muhammad SAW memiliki hati yang sangat lapang, penuh kelembutan, dan kasih sayang.
---
Dalam kehidupan kita, tak terhitung berapa kali kita merasa iri, sedih, khawatir, dan beragam emosi negatif lainnya; yang membuat dada terasa sesak, tidak nyaman. Padahal, alangkah nikmatnya hidup ini kalau kita bisa memiliki dada (hati) yang lapang.

Apa saja yang harus disingkirkan, supaya melapangkan dada?

Satu, rasa over sensitive; yaitu gampang tersinggung, mudah sakit hati atas perlakuan orang lain.

Dua, rasa iri dengki; perasaan tidak suka dengan kebahagiaan orang lain dan berharap keberuntungan orang lain itu hilang atau menjadi miliknya.

Tiga, kesedihan atas hal-hal yang sudah terjadi; kesedihan yang 'menguasai' kehidupan kita.

Empat, kekhawatiran dan ketakutan atas apa yang belum terjadi di masa depan.

Demikianlah, cara untuk melapangkan dada, sebagaimana yang sudah terjadi pada diri Rasulullah SAW. Tambahannya, sebagai pengganti dari keempatnya, masukkanlah rasa welas asih (kasih sayang) ke dalam dada kita. Bukan perkara yang mudah, memang; tapi itulah 'tugas' sepanjang hidup kita di dunia ini.

*Disarikan dari ceramah singkat ustadz Salim A. Fillah
*Ini lebih menghibur daripada lagunya Sheila on 7 - Lapang Dada 😀

Saturday, 14 January 2017

(Bersabar) Mendampingi Orangtua

Orang bilang, meskipun sama-sama merawat, lebih senang merawat anak kecil daripada orangtua. Kalau merawat dan mendampingi anak kecil, rasa bahagia akan berdatangan satu per satu karena semakin beranjak besar, dia akan semakin terampil melakukan berbagai hal: berbicara, merangkak, berjalan, makan sendiri, dan seterusnya. Sebaliknya, orangtua akan semakin berkurang tenaganya dari waktu ke waktu; keterampilan beliau untuk melakukan sesuatu pun juga akan berkurang.

Maka tidaklah heran jika lebih banyak ditemukan orang yang mengeluh karena harus merawat orangtuanya, dibandingkan merawat anaknya. Mereka mengeluhkan repotnya harus berbicara keras-keras karena pendengaran orangtuanya yang sudah berkurang. Mengeluhkan harus menuntun beliau kemana-mana karena kaki yang tidak lagi kuat menopang. Mengeluhkan orangtua yang seringkali mengulang-ulang cerita hingga membuatnya lelah atau bosan mendengarnya. Mengeluhkan repotnya dipanggil berkali-kali karena dimintai tolong melakukan ini itu. Atau sekedar mengeluhkan orangtuanya yang cerewet atas hal-hal yang dia lakukan.

Jika hal itu pernah terlintas di pikiran, maka satu hal yang harus diingat adalah: mereka tidak pernah lelah membersamai anaknya di waktu kecil bahkan membantu sampai dewasa. Jangan ditanya seberapa repot mereka mengurus sang anak; di masa dia belum bisa melakukan apapun. Apalagi ibu, yang sudah memulainya sejak anak masih dalam kandungan.

Ingat pula bahwa orangtua-lah yang memandikan, membersihkan kotoran, bahkan membuang ingus anaknya. Menyuapi dengan sabar, meskipun sang anak berlari-lari tak mau makan. Bergadang semalaman menunggui anaknya yang sedang sakit. Bangun pagi-pagi demi menyiapkan sarapan. Dan sebagainya, dan seterusnya, banyaak sekali.

Jadi, sebenarnya merawat orangtua dan anak adalah hal yang sama; sama-sama memerlukan ketelatenan dan kesabaran.

Maka bersabarlah, bahkan bersyukurlah, jika kita masih memiliki kesempatan untuk mendampingi atau malah merawat orangtua. Karena sebanyak apapun yang kita berikan, tidak akan pernah menyamai apa yang beliau-beliau korbankan untuk hidup kita.

Sunday, 1 January 2017

Tahun Baru: (of What So Called) Momentum

Eh, malem tahun baru kemana?
Udah bikin resolusi buat tahun depan belum?

Pertanyaan di atas lazim terdengar menjelang tahun baru masehi. Banyak orang menganggap tahun baru sebagai momen spesial yang oleh karenanya harus diperlakukan dengan spesial pula. Orang-orang berkumpul dengan keluarga atau teman, bakar-bakar bersama, menyalakan kembang api atau petasan yang mengganggu orang mau tidur, dan sebagainya. Ada pula yang menggunakan malam tahun baru untuk evaluasi diri sekaligus menyusun target baru di tahun berikutnya.

Then I have a question: mengapa harus di malam tahun baru? Padahal kan bisa juga, bakar-bakar ikan di malam yang lain; memperbaharui target setiap akhir bulan, atau menyalakan kembang api setiap akhir pekan, misalnya?

Setelah bertanya-tanya, saya kemudian teringat dengan sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang bernama MOMENTUM. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online yang saya kunjungi, terdapat beberapa arti dari kata momentum, yang salah satunya adalah 'saat yang tepat'. Mungkin, mungkin ini ya, orang-orang ini menunggu saat yang tepat untuk melakukan sesuatu; dan tahun baru adalah salah satunya. Mungkin, mereka perlu alasan untuk mengajak kumpul-kumpul, Mungkin, di libur tahun baru-lah semua (baru) bisa berkumpul, Mungkin, tahun baru memunculkan harapan baru. Dan kemungkinan-kemungkinan lainnya.

So, what?
Sah-sah saja sebenarnya, jika mau memilih pergantian tahun sebagai momentum untuk melakukan sesuatu; dan/atau menyusun rencana untuk setahun berikutnya. Hanya satu yang perlu juga dipertimbangkan, yaitu lamanya waktu setahun. Ada dua belas bulan, sekitar 52 pekan, dan 365 hari lho dalam satu tahun. Sayang aja gitu rasanya, kalau ngumpul bersama keluarga atau teman harus menunggu momentum. Begitu pun dengan menyusun dan merevisi target; bisa juga kok dilakukan setiap bulan ataupun beberapa bulan sekali.

Namunpada akhirnya, pilihan kembali pada diri sendiri. Kalau saya sih, malam tahun baru masehi tidaklah spesial-spesial amat; kecuali kembang apinya (love it so much!) dan hari besoknya yang sudah pasti libur.
Image result for goodbye 2016 hello 2017
Anyway, selamat datang, 2017!

5.50 PM: Menikmati Waktu

Di kala senja menjelang azan magrib, Beberapa orang sudah menikmati waktu di rumah, Beberapa masih berjuang mengendarai motor atau mobil...