Thursday, 20 July 2017

Think Twice

Think twice,
Saat setumpuk kata caci maki siap ditumpahkan
Sungguh pertanyakan pada diri sendiri, perlukah?

Think twice,
Saat jari sudah mengetik status atau post di sosial media
Coba tanyakan, apakah bermanfaat?

Think twice, Ketika hendak mengeluhkan sebuah peristiwa menyakitkan,
Coba tengok sejenak, jangan jangan masih lebih banyak sebab untuk bersyukur daripada mengeluh

Think twice, Ketika mulut hendak mengomentari tingkah laku atau penampilan orang lain, yang kurang pantas menurut kata hati,
Siapa tau ada hal lain yang membatasi pandangan kita, sehingga komentar kita pun sebenarnya tidaklah akurat
Jangan jangan, dia yang ingin kita beri komentar ternyata lebih baik daripada diri kita

Think twice, Saat mata tertarik pada sebuah benda di toko online, entah karena rupa atau diskonnya.
Jangan jangan kita hanya lapar mata

Think twice, think again. Ada banyak keputusan dalam hidup kita yang perlu mempertimbangkan second thought atau pemikiran yang kedua. Bukan hanya keputusan yang super besar, tapi bahkan yang terlihat mudah dilakukan. Membuat keputusan itu, konon katanya, membutuhkan latihan. Dan latihan sebaiknya dimulai dari hal yang kecil. Begitu?

Thursday, 15 June 2017

Bahasa Indonesia Baku (yang Terpinggirkan) di Kalangan Remaja

Saya suka mengamati bahasa yang digunakan oleh orang-orang di sekitar saya: keluarga, saudara, teman, tetangga, termasuk juga murid-murid saya di sekolah. Bahasa selalu menarik karena sifatnya yang dinamis; tidak stagnan. Belakangan saya tertarik dengan penggunaan bahasa baku oleh remaja, murid-murid yang saya ajar di sekolah maupun di tempat les. Berikut ada tiga 'kasus' yang menjadi bahan bakar tulisan saya kali ini.

Case #1
Seperti tidak akan hilang dari ingatan, saat seorang murid 'senior' menanyakan arti dari kata 'lengah' dan saya syok. Bukan apa-apa, tapi saya mengira, 'lengah' adalah sebuah kata yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia. Kalaupun tidak digunakan sehari-hari, tetapi di lingkungan pendidikan, kata ini sering muncul di mata pelajaran pendidikan agama atau bahasa Indonesia.

Case #2
Di lain hari, saya mengoreksi tulisan murid yang ketika membacanya, saya berulang kali mengernyitkan dahi karena melihat susunan kata di tulisan tersebut: acak-acakan secara tata bahasa; sehingga membutuhkan sejumlah waktu untuk memahami maksud si penulis. Oh by the way, tulisan tersebut berbahasa Inggris. Saya pun berprasangka buruk bahwa si murid ini menggunakan Google Translate untuk menerjemahkan tulisan berbahasa Indonesia-nya ke dalam bahasa Inggris. Langkah ini banyak ditempuh oleh mereka yang sedang dalam proses belajar bahasa.

Permasalahannya bukan terletak pada metode apa yang digunakan untuk menerjemahkan, tetapi lebih pada susunan kalimatnya. Setelah membaca tulisan murid saya di atas, iseng-iseng saya masukkan kalimat yang saya sebut acak-acakan tadi; English ke Indonesia. Hasilnya? Saya mendapati kalimat yang tidak baku di sana. Artinya bisa sekali dimengerti; karena memang itu bahasa sehari-hari. Sayangnya, Google Translate (mungkin) tidak kenal dengan bahasa non-baku, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan tata bahasa di bahasa yang dituju (bahasa Inggris).

Case #3
Belum lama ini, saya menjadi pengawas di ujian kenaikan kelas. Sebagaimana biasanya, saya mengumpulkan lembar jawab pilihan ganda dan esai; dan memeriksanya sekilas. Mata saya tertambat pada sebuah kata 'ngedzolimin' di sebuah lembar jawab ujian. Jelas ini bukan bentuk kata baku. Mungkin saya yang kurang update, tetapi jawaban ujian biasanya menggunakan bahasa baku; bukan bahasa percakapan. Selain itu, saya juga menemukan penulisan kata 'kalau' yang ditulis ala bahasa chatting, yaitu 'kalo'.

Pembahasan
Secara keseluruhan, berdasarkan tiga peristiwa di atas; ditambah pengalaman interaksi sehari-hari dengan para remaja ini, saya menyimpulkan bahwa bahasa Indonesia -yang notabene bahasa nasional di negeri ini- tidak lagi terlalu akrab dengan para remaja. Mereka lebih banyak menggunakan bahasa percakapan yang bersifat non-formal alias tidak baku. Hal ini juga sejalan dengan terus bertambahnya kosa kata baru yang tidak termasuk tidak baku. Alhasil, ada sejumlah kata baku (dan tertera di Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang sangat jarang dipakai atau bahkan tidak dikenal oleh remaja masa kini.

So what? Sebenarnya tidak ada yang salah dengan penggunaan bahasa percakapan yang tidak baku. Bahkan di pergaulan jaman sekarang, mereka yang memakai bahasa baku dalam interaksi sehari-hari mungkin akan menjadi bahan olok-olok teman sebayanya, atau paling tidak akan disebut 'tidak lazim'. Yang salah adalah ketika mereka (pengguna bahasa non-baku) ini tidak lagi bisa membedakan waktu yang pas; kapan harus memakai bahasa baku atau bahasa percakapan. Padahal, di masa mendatang, ketika mereka kuliah atau bekerja, mereka harus bisa menggunakan bahasa Indonesia baku yang baik dan benar; untuk menulis makalah, surat, dan sebagainya.

Bagaimanapun, berbahasa adalah tentang kebiasaan; apa yang biasa kita ucapkan atau kita pakai, itulah yang akan sering kita pakai. Jangan-jangan, saking terbiasanya dengan bahasa percakapan yang tidak baku, bahasa Indonesia baku jadi terlupakan. That's what I am worried about.

Saturday, 20 May 2017

Of What So Called "Challenge"

Challenge, atau tantangan, adalah sebuah kata sakti bagi beberapa orang. Entah siapa saya tidak tahu, tetapi setidaknya itu berlaku bagi saya. Maksudnya sakti? Well, tantangan membuat saya termotivasi untuk melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan, atau melakukan sesuatu dengan cara yang 'lebih': lebih sering, lebih tepat waktu, lebih banyak, dan sebagainya.

Seperti beberapa bulan yang lalu, kakak saya memberikan tantangan untuk menulis minimal dua post di blog masing-masing; dengan sistem reward -yang didapatkan dengan menulis sejumlah post- dan punishment -jika menulis kurang dari dua post. Alhasil, saya pun berusaha untuk lebih rajin mencari ide untuk menulis sesuatu. Meskipun belakangan tantangan ini memudar kesaktiannya (ehm), tapi setidaknya dia pernah menjadi pelecut semangat.

Di dunia kerja bagian pendidikan yang saya jalani, selalu ada tantangan ketika menghadapi murid; berupa pertanyaan dan keinginan 'membahagiakan' murid di waktu belajar mereka. Secara otomatis, dua jenis tantangan ini membuat saya memaksa diri untuk lebih banyak membaca dari berbagai sumber. Memaksa diri itu tidak selalu buruk lho, by the way; asal tujuan dan caranya baik.

Dari pengalaman sendiri, saya pun hobi memberi challenge untuk murid saya. Contohnya, tantangan untuk menjelaskan materi baru -yang mereka cari sendiri di internet atau buku- kepada teman-temannya, mencari atau membuat puisi yang berhubungan dengan topik yang dibahas untuk kemudian dibacakan di depan kelas, kuis tebak arti kata dari vocabulary yang sudah pernah mereka baca, berbicara selama satu menit dengan topik yang sudah ditentukan secara spontan, dan sebagainya. Harapannya, tentu supaya mereka melakukan 'lebih'. Meskipun pada akhirnya tidak semua terkena efek sakti dari challenge saya; tetapi setidaknya ada sejumlah murid yang kemudian melakukan hal 'lebih' sesuai harapan saya.

Dan hari ini, sudah sepekan lebih saya melewati hari tanpa mengisi blog maupun menulis sesuatu di buku jurnal, saya merasa sudah saatnya kembali mencari tantangan.  

Something like this, perhaps?
I'll make my own

Sunday, 7 May 2017

Hujan: Dibenci dan Dicintai

"Yaaah...ujan"
"Alhamdulillah ujan"
"Untung ujan!"
"Ujan, ga jadi jalan-jalan deh kita"
"Ujan-ujanan yuk!"
"Hmmm...bau tanah basah. Enak!"
"Bikin teh panas enak nih, ujan-ujan"
"Ujan?? Padahal baruu aja jemur"
"Duh, bakal macet nih pasti kalau ujan begini".

Saat titik titik hujan  mulai turun, akan ada berbagai kata yang manusia ucapkan; manakah yang lebih sering kita ucapkan?
----
Hujan, keberadaannya dibenci tetapi juga dicintai. Seperti halnya matahari. Dan dua-duanya tak peduli apa anggapan yang tertuju kepadanya; mereka akan tetap ada karena sudah ditugaskan oleh Sang Pencipta mereka.
----
Beberapa waktu yang lalu, saya mengunjungi sebuah tempat wisata. Bersama saya, anak-anak remaja yang baru usai berjuang menghadapi ujian. Sampai di tujuan, hujan mendadak turun. Nggak mendadak juga sebenarnya, karena sebelumnya sudah ada sinyal berupa langit yang mendung.

"Coba kalau nggak hujan ya, miss, kita bisa main ini itu. Kenapa sih mesti ujan?" Kira-kira seperti itu gumaman anak murid saya saat kami berjalan bersama menggunakan payung menerobos hujan, demi melihat-lihat sekitar lokasi wisata. Saya tertawa pelan; menyadari bahwa saya juga sempat terlintas hal yang sama.

"Padahal hujan kan berkah ya, miss, tapi kan kalau kaya gini kadang sebel juga", satu kalimat lagi dari si anak murid. Dan satu lagi anggukan saya meng-amin-i kata-katanya. Kami lalu mengobrol, sedikit tentang hujan, mencoba berdamai dengan hujan yang 'mengganggu' agenda wisata kami.

brilio.net
Di ujung gerbang, ketika kami harus mengembalikan payung kepada si penyewa, terdengar lagi satu celetukannya semacam ini "Ujan begini emang rejekinya yang nyewain payung ya". That's it!

Sungguh, pengetahuan kita sangatlah terbatas ya. Ketika kita mengira sesuatu yang terjadi membuat kita merugi; ternyata di sisi lain, dia memberi kebahagiaan untuk orang lain; mungkin di sisi dunia yang sedikit berbeda dengan kita.

Hujan yang dicaci oleh sejumlah orang, ternyata membawa berkah, rezeki bagi adik-adik dan bapak-bapak yang menyewakan payung sore itu. Begitu pula dengan sejumlah penjaja makanan dan minuman. Mereka mendapat rezeki lewat pengunjung yang ingin mencari kehangatan atau sekedar mencari tempat berteduh.

Allahumma shoyyiban naafi'an. Ya Allah, turunkahlah hujan yang bermanfaat. (

Thursday, 4 May 2017

Wisata Buku 24 Jam: Big Bad Wolf

Big Bad Wolf Book Sale. Pertama kali melihatnya sekitar awal tahun 2017; seketika tertarik karena mengetahui bahwa itu adalah pameran buku berbahasa Inggris. Time went by dan BBW terlupa begitu saja. Akhir April lalu, akhirnya berkesempatan mengunjungi book sale yang katanya ditunggu-tunggu oleh banyak orang itu. 

Sebelum berangkat, ada satu berita negatif yang menurunkan minat: rame banget, ngantri untuk bayar bisa sampai satu jam! Wow! Tapi akhirnya kami (saya, suami, dan adik-adik) berangkat jua, dengan niat "Buat pengalaman. Kalau menarik ya bisa dateng lagi, kalau nggak ya, cukup tau aja". 

Mengingat kabar yang sudah terlanjur didengar sebelumnya, kami memutuskan berangkat di malam hari, sekitar jam8.30. Harapannya, sudah tidak terlalu ramai pengunjung jadi kami tidak harus mengantri lama kalau nanti akhirnya kami beli buku. Sesampainya di ICE, rupanya masih banyak pengunjung yang baru masuk ke area pameran. Surprise pertama: melihat tidak sedikit orang yang bawa koper ke dalam. Udah macem di bandara 😁

Di BBW ini, pintu masuk dan pintu keluar dibuat berjauhan; jadi pengunjung tidak masuk dan keluar dari pintu yang sama. Mungkin supaya tidak perlu berdesakan kali ya. Di dekat pintu masuk, kami disambut deretan buku berbahasa Indonesia, sebagian besar (atau malah semuanya) terbitan Mizan. Karena tidak ada yang menarik hati, perjalanan berlanjut ke area berikutnya. All english books.

Buku Apa Saja?
Di Big Bad Wolf, kita bisa menemukan buanyaaak sekali buku berbahasa Inggris; dalam berbagai bentuk dan rupa. Jumlah kategori bukunya juga lumayan banyak; mulai dari fiksi (yang masih terbagi menjadi general fiction, romance, classic literature, short-story with picture), buku kumpulan aktivitas untuk anak-anak, masak-memasak, bercocok tanam, kerajinan tangan, buku referensi (termasuk kamus), biografi, musik, hingga olahraga. Buku-buku dalam kategori yang sama diletakkan di satu keranjang besar dan diberi keterangan, sehingga mudah bagi pengunjung untuk mencari buku berdasar kategori.

Harga?
Buku-buku bahasa Indonesia yang dipajang di deretan dekat pintu masuk dibanderol mulai 15.000 rupiah. Sedangkan buku berbahasa Inggrisnya dijual dengan beragam harga; ada yang 30.000 rupiah, 50.000, 65.000, 85.000; sampai 300.000 rupiah juga ada. Untuk novel (bagian yang koleksinya paling lama saya telusuri), rata-rata dilabeli harga antara 50-85.000.
Dan sejujurnya, saya nggak tahu harus bilang itu murah atau mahal 😁

Pelayanan dari Penyelenggara
Di dalam ruangan, banyak petugas yang berada di dekat tumpukan buku-buku. Mereka berpakaian khusus, sehingga mudah dikenali. Keberadaannya membantu para pengunjung yang ingin sekedar bertanya hingga minta dibantu untuk mencari buku tertentu.

Sedangkan untuk pembayaran, ternyata memang benar berita yang sudah sampai di telinga saya sebelum berangkat: antriannya panjaaang. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.20an (pagi) saat kami akan membayar belanjaan buku, dan antrian masih juga panjang. Sebenarnya, jumlah kasirnya cukup banyak; tapi masih belum sebanding dengan jumlah pengunjung. Sudah begitu, antrian juga bergerak lambat. Ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh banyaknya buku yang dibeli oleh pengunjung. Untungnya, kami mendapat shortcut untuk membayar. Saat itu kami sudah berada di antrian selama lima belas menit, dan baru bergerak sekitar dua kali. Salah satu petugas menghampiri dan mengajak beberapa pengunjung untuk membayar di kasir lain; di area luar antrian. Alhamdulillah kami terangkut ke kasir spesial; jadi tidak perlu menunggu lebih lama lagi.

Begitulah, pengalaman belanja hingga dini hari di Big Bad Wolf. Maybe I'll come again next year if they have it in Jakarta. Overall, saya menikmatinya. Terutama karena ini pengalaman pertama ke bazaar buku sampai pagi. Menghirup udara dini hari rupanya seru juga. Minusnya, seperti mengelilingi book sale atau pameran buku pada umumnya, kaki pegel-pegel; ditambah kantuk yang membuat mata berat memilih-milih buku yang jumlahnya bejibun.

Malam sudah larut, tapi masih ramai pengunjung.
Nggak berdesakan sih, tapi RAMAI

Antrian udah mirip kaya di supermarket,
Bedanya, troli dan keranjang isinya buku semua

P.S. Sepengamatan saya, pengunjung membayar dengan kartu; entah debit atau credit card. Tapi kalau berniat memborong, mending gitu sih daripada bawa-bawa duit banyak di dompet.

Tuesday, 25 April 2017

Untuk Apa Bekerja?

Q: Buat apa kerja?
A: "Daripada gua bengong ga ngapa-ngapain, mending kerja!" -😅
A: "Biar dapet banyak duit, biar kaya, bisa belanja apa aja!" -si gemar belanja
A: "Supaya ilmunya kepake" 
A: "Untuk menafkahi anak istri", kata si kepala keluarga
A: "Untuk beribadah". Ini jawaban yang seringkali dibilang klise (klise: ide/gagasan yang sering dipakai) oleh beberapa orang 
"Kerja untuk apa?" tergolong pertanyaan yang sederhana secara struktur kalimat,tapi jawabannya bisa bermacam-macam, mulai dari yang sederhana hingga yang rumit. Tentunya orang bekerja mempunyai tujuan; yang bisa jadi unik ataupun klise. Ada yang cuma punya satu tujuan, ada juga yang tujuannya lebih dari satu.

Kerja Untuk Mendapatkan Rejeki (uang-red) (?)
Well, banyak orang meyakini bahwa rezeki berupa uang itu harus dicari, diupayakan. Salah satunya adalah dengan bekerja, sebagai apapun profesinya. Malah, sebagian orang berpendapat bahwa kerja itu ujung-ujungnya ya duit. Yang diharapkan pasti adalah duit; agar bisa memenuhi kebutuhan ini itu, supaya bisa melakukan ini itu, dan seterusnya. Begitukah?

Saya jadi teringat sebuah ceramah singkat dari Ustad Salim A. Fillah yang di dalamnya membahas tentang bekerja dan rezeki. Beliau menyampaikan bahwa rezeki yang berupa harta itu sudah dijamin oleh Allah, Sang Pencipta manusia. Jadi, ketika bekerja, sebenarnya bukan untuk 'mencari' - karena sudah dijamin-, tapi lebih untuk beribadah dan bersyukur. Jadi, jawaban klise di atas memanglah jawaban yang luar biasa bagus, jika benar datang dari hati.

Lebih jauh lagi, beliau menjelaskan bahwa rezeki itu kan bukan hanya uang, ada jenis lain seperti kesehatan, keluarga, anak, dan sebagainya. Jadi, jikapun kita sudah bekerja keras tapi hasil yang didapatkan terasa tidak sesuai, bisa jadi memang 'jatah' rezeki kita yang berupa harta hanya segitu. Namun, bisa jadi ada jenis rezeki yang Allah karuniakan untuk kita.

Jadi seharusnya, seharusnya ini ya, orang bekerja memang bukan semata mencari harta, uang. Paling tidak, itu bukanlah tujuan utama. Ada tujuan lain yang lebih besar maknanya daripada sekedar mendapatkan segepok uang segenggam berlian.

We Get What We Aim for
Kita akan mendapatkan apa yang kita niatkan di awal ketika akan melakukan sesuatu. Jadi, sepertinya sayang kan ya, kalau bekerja 'hanya' untuk mendapatkan uang? *ngomong di depan kaca*

Friday, 14 April 2017

(Mungkin) Kita Terlalu Banyak Menunggu

Di banyak bagian dari kisah hidup kita, ada banyak waktu yang terpakai untuk menunggu.

Di stasiun,
Kita menunggu kereta datang
Kemudian menunggu hingga kereta berangkat
Ketika akan turun, kita menunggu antrian untuk bisa keluar dari rangkaian kereta
Menukarkan kartu, pun ada beberapa menit terpakai untuk menunggu

Di restoran cepat saji,
Antrian sudah menunggu.
Lalu ada saatnya kita akan menunggu makanan datang (bahkan di tempat makan cepat saji)

Di tempat janjian,
Terkadang teman janjian membuat kita menunggu beberapa lama sebelum akhirnya bisa memulai acara atau sekedar membuka percakapan

Di supermarket,
Sejumlah waktu kita habiskan untuk menunggu antrian di kasir,

Bahkan di toilet, tak jarang kita harus menunggu sekian lama demi bisa 'membuang' sesuatu

Di beberapa peristiwa, di banyak tempat, tanpa sadar kita sudah membiarkan waktu berlalu demi sebuah kata: menunggu.

*renungan saat menunggu kereta Duri-Tangerang 14/4/2017

Sunday, 9 April 2017

English Club (Annida Al Islamy) Goes to Kota Tua

After five years, I finally stepped my feet on Kota Tua, one of the most famous tourist destinations in Jakarta. I went there to accompany my students who join English Club; their mission was practicing English by having conversation with foreigners. 

Although it was a very short journey, it did satisfy my curiosity of this place. Here are the(ir) photos!

It's hot!
Shanaz and Afifah

Baroroh, Lilis, and Tedy
Esy-Silva-Desti

Malik-Mahesa, and where's Ryo?
After their 'hunting' and practicing English, I asked them to take pictures with the foreigners and we had sharing sessions right after we got together. They got some experiences, such as:
*They got rejected- not all foreigners are willing to spare their time talking to students who would like to practice English. It might be because they're busy and we must understand that, for sure.

*They were nervous at the beginning-very normal, especially for those who have never had a conversation with English native speakers- but then some of them are 'addicted' and tried to speak to more foreigners.

*Tips for learning English- they said they got some tips of learning English; the same one that I always tell them: just speak and PRACTICE.

*"Saya orang Indonesia!"- my students started the conversation in English but it turned out that the person they're talking to is Indonesian 😄 

Hopefully, today's experience will lift their spirit (of learning English) higher; encouraging them to be able to speak English much better. 

P.S. I did want to share the details of our journey; but.. maybe later.

Sunday, 2 April 2017

Mencoba-coba Rute Mudik (Jalur Tengah) Baru (Maret 2017)

Minggu keempat bulan Maret, saya kembali melakukan perjalanan darat panjang berjudul mudik. Misi kali ini adalah menengok ponakan unyu yang mukanya sudah terbayang-bayang sejak awal bulan. Dengan mengendarai mobil, saya dan suami berangkat melewati jalur biasa; via tol Cipali-Palikanci-Pejagan, dan melewati jalur tengah mudik.

Berangkat jam tujuh pagi, kami sudah sampai di pintu tol Pejagan, Brebes sekitar pukul 12.30an. Terhitung cepat karena kami sempat melewati macet panjang dari tol dalam kota Jakarta sampai di tol Cikampek. Keluar tol, ada arahan dari Google Maps untuk mengambil jalan alternatif melewati Slawi, karena sedang ada pembangunan fly over di jalur yang biasa kami lewati. Karena masih siang, dengan riang gembira kami pun mengambil jalur Slawi -kota yang sama sekali belum pernah kami lewati sebelumnya- dengan bermodalkan Maps di handphone. 

Sayangnya, sinyal GPS di handphone datang dan pergi, baik di handphone saya maupun suami (provider kartu kami sama, jadi sinyalnya pun sama saja-red). Entah bagaimana, kami bisa sampai di alun-alun Tegal, dan selepasnya, kami masuk ke jalan kecil yang kanan-kirinya sawah. Parahnya, sinyal lebih sering hilang. We were lost. Singkat cerita, alhamdulillah kami kembali ke jalan besar; lega, dan mengira perjalanan akan lancar setelahnya. But we're totally wrong! Ternyata setelah berputar-putar di wilayah Slawi/Tegal, kami hanya melewati satu titik kemacetan di daerah Brebes. Setelahnya, mulai dari Prupuk, Tegal, kami kembali terjebak macet di beberapa titik, seperti di Bumiayu, Wangon, dan Banyumas. Rupanya sedang ada pengecoran jalan serentak di jalur tengah mudik ini.

Karena hanya satu lajur yang bisa dilewati, maka kami melintas bergantian dengan antrian kendaraan dari arah sebaliknya. Yang kurang menyenangkan adalah ketika sampai di titik macet, kita menjadi pihak yang menunggu kendaraan dari arah sebaliknya lewat. Di Purwokerto, kami bahkan bisa menunggu dari mulai memandangi tukang jualan mendoan menawarkan dagangannya dan ngobrol dengan pembelinya, sampai membeli mendoan yang masih panas, mencari-cari cabe di tumpukan mendoan, dan memakannya sampai kenyang. Itupun giliran kami belum juga tiba. Harap bersabar ini ujian. Ditambah dengan oknum pengendara mobil yang melahap jalur satunya (yang harusnya untuk lewat kendaraan dari arah sebaliknya) plus kantuk dan lelah yang mulai menghampiri, kemacetan hari itu sungguh luar biasa menguji fisik dan mental 😁 Jam 11 malam kami baru sampai di alun-alun Purworejo, masih sekitar 20 menit sebelum sampai di rumah.

----  
Balik Jakarta

Berkaca dari perjalanan Brebes-Purworejo yang sampai memakan waktu nyaris 12 jam, kami memutuskan untuk mengambil rute yang sama sekali baru untuk balik ke Jakarta; yaitu Kebumen-Gombong melewati kawasan Banjarnegara dan Purbalingga, melintasi Pemalang dan Slawi dengan tujuan pintu tol Pejagan, Brebes. Rupanya jalur ini jauuuuh lebih menyenangkan dan menenangkan.

Pertama, tidak ada macet durasi lama. Perjalanan hanya sempat terhenti beberapa menit karena ada pengecoran jalan. Buat saya, salah satu krtieria perjalanan yang menyenangkan adalah tidak terkena macet panjang.

Dari tiga pilihan yang tersedia, jalur biru inilah
yang menghindarkan kami dari (kembali)
menemui kemacetan
Kedua, medan yang menantang sekaligus menghibur. Mulai dari kawasan Waduk Sempor, jalanan mulai naik-turun. Ternyata memang jalur pegunungan. Medan yang penuh tanjakan-tikungan-turunan sangat membantu suami terjaga, karena harus siap-siaga selalu dengan apa yang ada di depan. Terlebih ini jalur yang belum pernah dicoba sebelumnya. Selain itu, kanan-kiri jalan menyajikan pemandangan cantik khas pegunungan, yang membuat kami sering berseru kagum.

Ketiga, kondisi jalan yang terbilang bagus; halus dan tidak sempit. Jalan sempit, berlubang atau jalan nggronjal (tidak rata, banyak batu dsb.) memang ada, tetapi prosentasenya masih kalah jauh dengan jalan yang mulus dan nyaman untuk dilewati kendaraan.

Keempat, meskipun sinyal GPS juga datang dan pergi, kami tidak begitu khawatir karena jalur pegunungan ini hanya punya satu jalan, jadi kemungkinan salahnya kecil. Petunjuk jalan juga cukup jelas.

Meskipun tetep ada bagian tiba-tiba sudah masuk ke jalur yang bukan seharusnya, secara keseluruhan, perjalanan ke Jakarta via jalur pegunungan (begitu saya menyebutnya) ini lebih baik dari perjalanan menuju Purworejo. Recommended untuk yang mau mencoba jalur baru dan suka medan yang nggak cuma jalan lurus aja. Oh ya, perjalanan dalam rangka mencoba jalur baru ini membutuhkan waktu sekitar 6,5 jam; berangkat dari rumah jam 6an, sampai gerbang tol Pejagan sekitar jam 12.30.
---
Lewat Jalur Alternatif? Kenapa Tidak? Setelah perjalanan kemarin, itulah kesimpulan saya. Sebelumnya, untuk perjalanan mudik, kami lebih menyukai lewat jalur biasa yang sudah familiar. Jalur alternatif termasuk kurang menarik, karena kekhawatiran akan menemui jalan yang 'menyesatkan' 😁.

Berdasarkan pengalaman, ada beberapa tips untuk mencoba jalur alternatif:

#1 Usahakan search sejelas-jelasnya jalur alternatif yang akan dicoba; perhatikan secara detail daerah mana saja yang harus dilewati, medannya seperti apa, belokan ada di area mana saja. Jika ada lebih dari satu jalur alternatif di Google Maps, bisa pilih yang waktu tempuhnya paling pendek. Jangan lupa perhatikan gambaran traffic-nya: apakah banyak tanda merah (macet) atau dominan biru (lancar).

#2 Siapkan perangkat pelacak lokasi semacam Maps di handphone atau media lain. Lebih bagus lagi kalau ada perangkat GPS yang mumpuni di mobil, bukan sekedar aplikasi Maps di handphone yang sinyalnya kabur-kaburan. Ehm, curhat.

#3 Jika GPS mati atau sinyal hilang dan ada dua pilihan jalan, jangan panik. Lanjutkan perjalanan sesuai kata hati sampai bertemu papan petunjuk jalan atau orang yang bisa kita tanyai. Kalau ternyata jalan kita salah dan harus puter balik? Yaa itu memang resiko yang harus ikhlas dijalani karena sudah bersedia mencoba hal baru 😉

#4 Banyak-banyak istigfar dan berdoa supaya jalannya dimudahkan. Itu wajib pake banget. Intinya mah, mencoba hal baru tidak cukup hanya berani saja, tetapi harus diikuti dengan persiapan dan usaha. Dan doa adalah salah satu usaha yang perannya vital.

Bertemu Sahabat: Jarak dan Waktu yang Seakan Tak Berarti

Maret 2017. Kurang dari setengah jam. Hanya ngobrol di sebuah pertokoan di Jogja. Tidak sempat berfoto bersama. Itu adalah gambaran pertemuan saya dengan seorang Uswatun Khasanah, sahabat sekaligus adik yang dulu sempat hidup bersama di satu atap kos-kosan. Setelah lima tahun tidak bertemu, rupanya jodoh pertemuan kami kemarin 'hanya' seperti itu karena saya harus segera pulang ke Purworejo, ditunggu oleh Bapak dan Mamak. 

Memutar balik waktu. Januari 2017, saya juga bertemu dengan Wahida Febrisadina, another best friend of mine. Setelah beberapa bulan tidak bersua, kami punya cukup banyak waktu untuk bertemu, ngobrol kesana-kemari, makan bareng, bahkan ngobrol dengan Mamak saya. Karena berdomisili di Purworejo lah, Dina bisa meluangkan cukup banyak waktu untuk kami bertemu.

Memutar sedikit lagi ke belakang, Lebaran tahun 2016, saya juga sempat berkunjung ke rumah Wahyu Wijayanti a.k.a Yayuk, best friend since high school. Kunjungan singkat, karena itu saya lakukan di tengah perjalanan menuju Klaten. 
---
Rasanya Tak Ada yang Berbeda
Saya mempunyai teman-teman dekat yang keberadaannya jauh dari Jakarta. Dengan kesibukan masing-masing, tidak banyak waktu yang bisa kami habiskan bersama-sama seperti dulu; saat kami masih sama-sama kuliah, atau masih sama-sama menetap di Jogja. Tetapi, ada satu yang tidak berubah ketika kami bertemu kembali, meskipun sudah lama tidak berjumpa, tidak pula sering berhubungan via telepon atau media sosial, dan tidak juga dalam waktu lama: the feeling of being with them. Rasanya masih sama saja seperti dulu. Kami bisa ngobrol tentang apa saja, nyambung kemana saja, dan rasanya baik-baik saja. 

Ketika hanya bertemu sekejap setelah sekian lama tidak bertemu pun, rasanya kerinduan sudah terobati; dan keakraban dari masa lalu pun masih sangat terasa. Jarak yang membentang dan waktu yang sudah membatasi seakan tidak berarti. Those really don't matter

Seperti itukah, pertemanan yang sebenarnya? Semoga.

Dina-Me-Yayuk
Tahun Baru 2016
Taken by: Yayuk

Saturday, 25 March 2017

Ada Apa dengan PR?

Seorang teman saya pernah bilang, setengah bertanya, 'kenapa sih ya, guru mesti ngasih pe-er. Kayanya nggak rela banget anak muridnya libur tanpa inget pelajaran'. Saya nyengir mendengarnya. Di situasi lain, saya sering mendapati "Yaaaahhh..." sebagai reaksi sebagian murid di kelas ketika saya menyebut kata 'Pe-eR' alias pekerjaan rumah. Reaksi yang sudah pasti mengekspresikan keberatan. PR, se-horor itukah dirimu?

Jadi, kenapa sih harus ada PR?
Begini. Waktu belajar di sekolah itu 'hanya' sekitar 5-7an jam. Agar siswa bisa memperluas bahasan pelajaran, maka diberikan lah PR. Selain itu, PR bisa membantu siswa untuk mengingat materi yang sudah diajarkan di sekolah.  Terakhir, PR juga menjadi salah satu bahan penilaian yang diperlukan oleh para guru.

Memberatkan?
Jadi, kalau PR itu sejatinya membawa manfaat, apa yang membuatnya seakan menjadi beban bagi para murid? Kemungkinannya terkait dengan jumlah PR yang harus mereka selesaikan. Masa sekarang ini, sebagaimana kita ketahui, murid sekolah sudah sangat sibuk. Terkadang mereka malah lebih sibuk dibanding orang bekerja: berangkat pagi sebelum jam tujuh, pulang sekolah jam2 atau 3, ikut kegiatan ekskul, les (beberapa murid bahkan mengikuti lebih dari satu les sehari), plus mengerjakan PR saat sudah di rumah. Tak heran jika kemudian PR menjadi beban untuk mereka ini. Oh, tentu saja ADA murid yang menyukai PR 

Lalu, bagaimana?
menurut saya, tidak ada salahnya untuk memberikan PR kepada murid. Akan tetapi, pastikan  PR nya tidak terlalu banyak. Selain itu, guru mungkin juga bisa memberikan PR yang bisa membuat murid menikmati proses pengerjaannya, PR yang murid dengan senang hati mengerjakannya. Tidak gampang, tapi bisa dicoba.

Thursday, 16 March 2017

3 Jawaban (yang terkadang) Menyebalkan Saat Kita Sungguhan Bertanya

"Eh, nilai Try Out bahasa Inggris lu berapa?"
"Kepo, lu!"

Pernah mengalami atau menjadi saksi dari dialog semacam di atas? Saya pernah, dan reaksi pertama saya adalah nyengir untuk dua alasan: merasa geli dengan ekspresi yang ngomong, sekaligus agak miris (maybe? Not sure though). Mirisnya adalah karena dari ekspresinya, saya menebak si penanya sungguh-sungguh bertanya, bukan basa-basi. Saya membayangkan kalau saja ada di posisi orang yang bertanya, mungkin saya akan  gondok setengah mati.

Di masa sekarang ini, setidaknya ada tiga jawaban yang terkadang terasa menyebalkan, tentunya waktu kita benar-benar menginginkan jawaban dari orang yang kita tanya.

"Googling aja!"
Gara-gara ada Google, si search engine yang serba tahu, sebuah diskusi bisa batal terjadi. Penyebabnya adalah jawaban kilat berbunyi 'Googling aja!". Pertanyaan dibalas dengan perintah. Agak gimanaa gitu. Sebenarnya, jawaban tersebut sah-sah saja diucapkan; karena kita tidak mungkin mengetahui jawaban dari setiap pertanyaan. Namun, kita harus tahu kapan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Jangan sampai menggunakannya hanya karena kita malas menjawab si penanya; padahal sebenarnya kita tau jawabannya. 

"Mau tau banget apa mau tau aja?"
Ish. Ini jawaban yang di situasi tertentu membuat saya menyesal telah bertanya. Seringnya, jawaban ini nadanya bercanda. Maka, ada baiknya pikir-pikir dulu sebelum mengucapkannya; kira-kira si penanya sedang bisa diajak bercanda atau nggak. 

"Kepooo!"
Kepo alias pengen tau sudah menjadi kosakata sehari-hari anak-anak masa kini, terutama remaja; yaah meskipun masih ada pula orang dewasa yang memilih menggunakannya. Merespons pertanyaan dengan kata ini pun lazim didengar. Lazim sih lazim, tapi sungguh menyebalkan dan nggak penting menyebutkannya. Kenapa? Dengan bertanya, si penanya memang sedang kepo. Pengen tau, makanya nanya. Jadi, nggak perlu disebut lagi. Eh, tapi kata 'kepo' ini bisa mencairkan suasana juga lho, asal konteksnya tepat; juga ngomongnya ke orang yang tepat pula.

Intinyaa...apapun jawaban yang kita berikan atas pertanyaan orang lain, pastikan kita mempertimbangkannya terlebih dahulu. Memakai salah satu dari tiga jawaban (yang terkadang) menyebalkan di atas tidaklah salah, boleh. Tapi yaa itu, lihat dulu situasi dan kondisinya. Pokoknya usahakan tidak membuat lawan bicara jengkel 😅 

Saturday, 11 March 2017

Welcoming The Next Wicaksono

My brother and his first son!
Welcome to the world, Muhammad Azka Aulia Wicaksono!

This cute baby boy is my very first nephew from my own brother, my only dear sibling. Finally! I was so happy when my brother told me that his lovely wife has given birth; though it felt a bit weird knowing that my brother is now a father. I was extremely full of joy, that I couldn't hold my tears, which then streamed down my face. I was overwhelmed.

Mas Bayu, mbak Ilma, I'm happy for you. Surely both of you will be super parents for your kid(s), insyaAllah.

My nephew, all best wishes are already sent for you. I just cannot wait to see you. Really can't wait. 😍😍😍


Sunday, 5 March 2017

What You Might Love from Being A Teacher

Being a teacher is mostly fun. Why mostly? Because it is not, sometimes. There are abundant loads of work to do. Those will take a lot of your energy, not only at school but also when you're at home. It doesn't count the duty of creating lesson plans  and the demands of making learning fun in the classroom; nor the inevitable school rules and obligations. Despite those not-fun-things, there are always the ones that might make you love your being a teacher.

#1 You'll automatically upgrade yourself
When you're a teacher, you must be ready for any question or request from your students. Believe me, there is going to be tons of them. Even if you don't know about it at all, you must give an answer. At least you'll promise your students to find the answer and tell them later.

This way, you automatically upgrade your knowledge. If you have known about it before but you forgot, then the question or request will refresh your memory.

Another possible case is when you cannot use the same method to teach certain subject or topic to different students. Of course you need to go search and try new methods; meaning  you learn new things and get yourself upgraded. It's good, isn't it?

#2 Periodically meet new people
As year changes, your students will change, too. There will be new faces to deal with; surely with various characteristics you might not have taken care at previous time. Although meeting new students will probably bring butterflies in your stomach, sometimes, but it is always fun as well as challenging to get to know and get along with them.

#3 Experience hilarious moments
Students are so creative that sometimes they do something  silly that makes the whole class laugh, including the teacher. If you teach kids, there will be even more laughter to share, due to their innocent nature of behavior.

Being able to laugh together with your students will not only be fun, but it can also mark you as one of their favorite teachers.

#4 Getting love from the students
I know that getting something from students is supposed to be the last thing teachers should expect from their students. However, students love and pay attention to their teacher. To show it, they might give you a surprise, such as cake on your birthday, flowers and touching  greeting  card in Teacher's Day, or even just simple thing like snack or beverages; things because of which you feel appreciated.

#5 Seeing the students change to be better
There won't be better feeling than seeing your students become better each and everyday, especially when you have done everything you can to help them. This kind of feeling is more like satisfaction than pride. Being a witness for their success is also another joyous feeling that you might feel, even when they are no longer your students.

These things are only some things you might love from being a teacher. It is possible that you will find a lot more when  you already enjoy your time of being someone that is called t.e.a.c.h.e.r.

Setidaknya Bukan Kita

Setidaknya bukan kita,
kalaupun ada orang yang mencaci-maki lalu kita merasa sakit hati

Setidaknya bukan kita,
jika ada orang yang melanggar janji lalu kita merasa dikhianati

Setidaknya bukan kita,
saat ada orang mematahkan harapan yang sudah dia sampaikan hingga kita merasa dibohongi

Setidaknya bukan kita,
ketika seseorang mengambil hak kita kemudian kita merasa dizolimi

Setidaknya bukan kita,
saat fitnah seseorang melukai hati kita

Setidaknya bukan kita,
saat ada pengendara mobil melintas sembrono di kubangan air hingga baju kita kuyup dan kotor karenanya

Setidaknya bukan kita,
saat perokok menghembuskan asap rokoknya lalu kita terpaksa menghirupnya

Setidaknya bukan kita,
saat sebuah motor menyalip dari sebelah kiri tanpa menghiraukan bahayanya karena hampir menyerempet kita

Setidaknya bukan kita,
saat orang lain yang membuat kesalahan tetapi justru kita yang mendapatkan imbasnya

Setidaknya bukan kita, yang melakukannya.
---
Seberapa pun dahsyat efek kesalahan seseorang terhadap kita, entah itu sengaja atau tidak, bersyukurlah karena bukan kita yang melakukannya. Pun kita bisa belajar dari kesalahan mereka, mengetahui akibatnya, untuk kemudian kita tidak melakukannya.

Sunday, 26 February 2017

Merindukan Matahari di Kala Hujan

Masih mengamati titik-titik hujan yang terus membasahi bumi dan kemudian merindukan matahari,
kehangatan sinarnya akan mengusir hawa dingin yang dibawa oleh hujan

Wahai..
Mungkin kita tidak akan merindukan matahari saat siang terang benderang, 
saat panasnya menyengat kulit, 
saat keringat mengalir karenanya

Merindukan matahari,
Mengingatkan bahwa terkadang kita tidak cukup memberi perhatian pada sesuatu ataupun seseorang yang setiap hari ada di dekat kita,
Hanya karena kita yakin akan ada lain kali, akan ada hari esok,
akan ada waktu yang lebih banyak nanti
Untuk kemudian merasa kehilangan karena tiba-tiba kita tidak menemukannya, atau waktu dan kebersamaan yang tak sama lagi
---
Well, you only need the light when it's burning low,
Only miss the sun when it starts to snow,
Only know you love her when you let her go


(Passenger - Let Her Go) 

Thursday, 23 February 2017

Internet Positif dan (di)Tutupnya Situs Film Online

Kamis 2 minggu lalu, saya kembali membuka situs lk21.tv (situs nonton film online) setelah sekian lama absen; untuk mencari sebuah film (Jepang) lama karena seorang teman menanyakannya. Terkejutlah saya karena halaman situs ini dialihkan ke laman internet positif milik kemkominfo.

Seminggu kemudian, saya mencoba mencari situs nonton film online lainnya, dan ketemu satu situs, tapi lupa alamatnya, yang di bagian atas tampilan Web ada tulisan yang menerangkan bahwa Web tersebut sebelumnya bernama lk21.tv. I was like 'whaaat?'. Ternyata internet positif seakan tak ada pengaruhnya. Dengan gampangnya, orang akan membuat web yang sama dengan perubahan nama, dan seluruh dunia bisa mengaksesnya kembali.

Sebagai pengguna web, saya seneng aja.  Tapi rasanya gimanaa gitu. Satu, saya salut dengan mereka yang pantang menyerah menyediakan website untuk menonton film online. Dua, saya terus terang jadi agak meragukan bahwa si internet positif ini tidak akan berdampak signifikan kalau caranya begini. Agak pesimis ya?

Apapun itu, doa saya, semoga setiap hal baik yang diupayakan pemerintah akan menuai hasil yang baik pula, dilapangkan dan dimudahkan jalannya.  Aamiin.

Sunday, 19 February 2017

Media Sosial yang Melalaikan

Kemarin, saya sempat menonton potongan video (sekarang lagi jamannya video dipotong-potong-eh) ceramah ustad Firanda Andirja tentang penggunaan Facebook, bagian tanya jawabnya. Beliau mengatakan, menggunakan Facebook bisa menyita waktu kalau kita tidak pandai mengaturnya. Ada juga yang lebih berbahaya, yaitu kemungkinan terjadinya hubungan yang tidak semestinya. Tapi kalau yang ini ngga akan dibahas sekarang.

Menyita Waktu
Ada sebuah joke yang mengatakan begini: orang Amerika punya WhatsApp, orang Jepang punya Line, orang Korea punya Kakao Talk, dan orang Indonesia punya WAKTU untuk menggunakan semua media sosia tersebut. Miris ya? Tapi memang kenyataannya kurang lebih begitu. Saya pernah punya seorang murid yang ketika saya tanya, pakai medsos apa saja, dengan sumringah menyebut berbagai macam akun media sosial. Dan dia pun mengatakan bahwa dia dan handphone tak terpisahkan, bahkan sampai menjelang tidur. Saya hanya geleng-geleng mendengar ceritanya. Terbukti sudah bahwa medsos menyita waktu kita. Jangankan punya banyak akun medsos, satu pun sudah bisa melahap banyak dari waktu kita, kalau tidak pintar-pintar nengendalikannya.

Membaca postingan di timeline bisa membuat seseorang ketagihan untuk terus meng-scroll. Pada dasarnya, manusia memang dibekali rasa ingin tahu, dan media sosial memfasilitasi itu. Lewat medsos, kita bisa tahu kabar si A-Z, teman di medsos: kerja dimana, sudah menikah atau belum, anaknya berapa, melanjutkan S2 dimana, tinggalnya dimana, pacarnya siapa, dan lain sebagainya.

Kalaupun tidak tertarik dengan kisah hidup teman kita, masih ada beragam berita yang dibagikan oleh mereka. Di media ini, semua orang bebas membagikan berita, dari politik, ekonomi, hingga tips-tips dan berita yang berisi ajaran agama. Berapa banyak waktu yang akan kita butuhkan jika kita tertarik dengan berita ini-itu lalu membacanya apalagi kemudian mengomentarinya?

Belum lagi kalau membuka media sosial berbasis gambar seperti Instagram, berisi foto-foto yang menyenangkan untuk dilihat. Banyaknya orang yang memakai medsos satu ini untuk jualan menjadi godaan yang lain lagi. Waktu terpakai untuk melihat-lihat produk mana yang akan dibeli.

Lalu, bagaimana? Yaa, kalau tidak ingin waktu kita dicuri oleh media sosial beserta seluruh informasi yang ditawarkannya, kita wajib bisa mengendalikan diri dan mengatur waktu baik-baik; tau kapan waktu yang tepat untuk membuka dan kapan harus berhenti ber-medsos-ria. Begitulah, tantangan hidup di era canggih seperti sekarang. 😂

Thursday, 16 February 2017

Apa Bedanya 'Just' dan 'Only'?

I only have one brother atau I just have one brother? Kalau masih bertanya-tanya manakah yang benar, semoga tulisan ini bisa membantu.

Murid saya juga pernah menanyakan hal ini, apa sih bedanya 'just' dan 'only'; bukannya artinya sama-sama hanya? Memang betul, tapi tidak di semua konteks.

Arti Kata
Kata only bisa diterjemahkan menjadi: hanya, satu-satunya. Sedangkan just bisa berarti hanya atau baru saja. Kesimpulannya, dua kata ini mempunyai kesamaan arti, sehingga bisa menggantikan satu sama lain dalam sebuah kalimat yang sama. Di sisi lain, ada satu arti dari just yang tidak dimiliki oleh only, sehingga sifatnya khusus, tidak interchangeable (bisa saling menggantikan).

Supaya lebih jelas, simak contoh-contoh berikut ini.

#1
I only have one brother.
I just have one brother.

Dalam contoh di atas, dua kata yang ditebalkan memiliki arti yang sama: "hanya". Kita bisa pilih untuk menggunakan salah satunya, sama-sama berarti "Saya hanya memiliki satu saudara laki-laki".

#2
You're the only one that I can trust.

Kata only di atas berarti 'satu-satunya'. Untuk yang satu ini, just tidak bisa menggantikan only.

#3
I have just finished doing it.
I just washed the floor. Don't step on it.

Kata just seringkali dipakai dalam kalimat yang menggunakan tenses "present perfect" atau "simple past", yang berarti "baru saja". Kebalikan dari nomor dua, kata just tidak tergantikan oleh only.

#4
- If only I had studied harder, I might have got better score.
- If I had just studied harder, I might have got better score

Dua contoh di atas adalah kalimat pengandaian (if only - kalau saja). Dengan sedikit perubahan struktur kalimat, only dan just mempunyai arti yang sama.

Oh ya, ada satu bahasan lagi terkait penggunaan just. Urusannya adalah dengan susunan kata yang bisa mempengaruhi makna kalimat. Beda urutan kata akan mempunyai makna yang berbeda. Perhatikan dua contoh kalimat dengan tenses simple past berikut:
1.I just cleaned the windows.
> Saya baru saja membersihkan jendela
2. I cleaned just the windows.
> Saya hanya membersihkan jendela (tidak membersihkan lantai, dsb.)

Demikian. Semoga sedikit mencerahkan!

Thursday, 9 February 2017

Rezeki untuk Super Pride di Serengeti

Semalam sempat nonton salah satu acara di channel NatGeo, judulnya Super Pride. Acara ini memberikan sebuah pencerahan tentang rezeki, yang ternyata memang sudah Allah siapkan dan atur sedemikian rupa sehingga bisa sampai di tangan pemegang haknya, dengan cara-Nya sendiri.
Super Pride sendiri adalah sekawanan singa yang hidup di daerah Serengeti, sebuah wilayah di daratan Afrika. Dinamakan super karena anggota kawanan (pride-bahasa inggris) yang jumlahnya besar, mencapai angka dua puluh.

Sebagian Super PrideYouTube.com
Jumlah Anggota yang banyak tentunya membutuhkan makanan yang banyak pula. Singa dewasa, biasanya betina, harus berburu untuk memberi makan seluruh kawanan. Satu ekor zebra dewasa yang besar bisa memuaskan kawanan, tetapi hanya bertahan dalam waktu singkat. Artinya, beberapa hari sekali, mangsa harus didapat agar kawanan tetap bertahan hidup.

Amazingly, Super Pride tetap bisa bertahan hidup meski membutuhkan suplai makanan yang banyak. Ya, karena masing-masing sudah memiliki jatah rezekinya. Sang Pencipta juga memberi jalan untuk itu.

Ada dua hal menarik yang paling saya ingat dari tayangan Super Pride ini.
1. Singa Betina dan buruannya
Singa betina memiliki desain tubuh yang memungkinkan dia menangkap mangsanya. Dengan bobot tubuh yang lebih ringan daripada singa jantan, dia memiliki kecepatan lari yang mengagumkan, untuk mengejar mangsa.

Jika mangsanya adalah zebra, ada kemungkinan singa akan kewalahan mengejar. Zebra punya 
ketahanan atau stamina yang lebih bagus dibanding singa. Namun, singa betina juga Allah bekali dengan kemampuannya berstrategi. Suaranya yang tidak sekeras singa jantan memungkin singa betina untuk mengendap-endap, merapatkan jarak dengan mangsa, tanpa ketahuan. Setelah cukup dekat, dia akan menyergap. Kalaupun mangsa lari, dia tidak harus mengejarnya dalam waktu yang lama.

Selain itu, singa betina si pemburu ini juga memiliki kekuatan luar biasa sehingga dia bisa menangkap mangsa yang bahkan lebih besar dan berat daripadanya. Kuku yang panjangnya sekitar 2.5cm akan mencengkeram mangsa dengan kuat, tidak akan lepas ketika mangsa meronta.
Keterbatasan singa betina terkait ukuran tubuh dan stamina sempurna tertutupi dengan kekuatan dan strategi berburunya. Subhanallah.

2. Musim Hujan dan Migrasi
Rezeki seperti digiring ke Serengeti untuk
Super Pride ketika musim hujan datang. Turunnya air dari langit mengisi ulang cadangan air dan menumbuhkan rerumputan di kawasan Serengeti. Hijaunya rumput inilah yang menarik sekawanan hewan untuk tinggal. Begitu pula migrasi hewan gnu yang sudah diatur untuk tiba di Serengeti di musim ini.

Gnu adalah hewan mamalia yang termasuk keluarga antelope dengan bentuk tubuh menyerupai kerbau/kambing. Mereka datang ke Serengeti dalam kawanan yang berjumlah besar. Ini adalah makanan empuk bagi Super Pride, yang bisa memuaskan selera makannya di musim ini, paling tidak selama dua bulan. See? Bahkan tanpa berpindah habitat pun, kawanan besar seperti Super Pride tidak perlu khawatir akan kekurangan makanan. Alurnya telah Allah susun dengan sempurna.

Begitulah rezeki. Memanglah benar ucapan banyak orang, "rezeki sudah ada yang mengatur". Dia, Sang Pencipta-lah sebaik-baik pengatur dan penyedia rezeki. Tapi usaha mah harus tetap ada, sebagaimana berburunya para singa betina Super Pride. Tanpa berburu, mangsa yang di depan mata pun tidak akan bisa menjadi santapan.

Serengeti Landscape
famouswonders.com
Gnu
kingofwallpapers.com

Sunday, 5 February 2017

Berhati-hati Memilih Jilbab Syar'i

Tulisan ini berisi uneg-uneg lama yang bersemi kembali 😀.  Dulu,  waktu jaman kuliah,  saya inget sekali pernah mengalami hal yang sama. Kejadiannya adalah melihat muslimah berjilbab panjang tanpa merasakan keteduhan dari pemakainya.  Sebaliknya,  justru merasa risih. Apa pasal? Karena mereka justru melakukan 'blunder' ketika mengenakannya.
----
Belakangan ini, jilbab syar'i memang sedang tren. Banyak sekali produk jilbab-jilbab panjang yang ditawarkan untuk kalangan muslimah, baik yang masih muda maupun yang sudah berumur. Bagus kan? Jelas bagus, karena ini mendorong para muslimah untuk berpenampilan syar'i. Sayangnya...
----
Dan blunder (yang saya sebut di awal) itu bernama jilbab syar'i yang membentuk tubuh. Bukan sekali dua kali saya melihat fenomena ini: wanita berjilbab syar'i tetapi jilbabnya justru menampakkan bentuk tubuh (maaf) di bagian depan. Entah karena bahannya yang terlalu tipis atau memang jenis bahannya yang 'jatuh'. Banyak model jilbab syar'i semacam ini dijual di pasaran; dijual sendiri ataupun sepaket dengan baju. Oleh karena itu, banyak pula yang sudah sampai di tangan para muslimah. Sayang sungguh sayang; niat hati hendak mematuhi ajaran agama untuk memakai jilbab syar'i tetapi yang didapat justru sebaliknya.

Kriteria Jilbab Syar'i?
Saya pernah diberitahu, jilbab (termasuk pakaian) syar'i bukanlah sekedar ukurannya yang panjang menutup dada. Masih ada dua kriteria lagi; yaitu tidak menerawang dan tidak membentuk tubuh. Jika masih ada salah satunya terlanggar, berarti belum sempurna disebut syar'i.

Banyaknya variasi produk jilbab syar'i di pasaran sebenarnya sudah memberikan kemudian bagi para muslimah untuk memilih mana yang paling baik sesuai tuntunan agama. Namun, tidak semua menyadari adanya kemungkinan 'blunder' di atas; sehingga terjadilah fenomena yang menjadi inspirasi tulisan ini.

Jadii, mari lebih hati-hati membeli-menggunakan jilbab syar'i, supaya sempurna sesuai niatnya.

Monday, 30 January 2017

Lebih Baik Mencegah Daripada Mengobati: Bijak Bersosial Media

Sosial media yang  jumlahnya menjamur memungkinkan orang untuk memiliki lebih dari satu akun. Menggunakan sosial media berarti sudah siap dengan hubungan pertemanan yang berbagai jenis (mengingat banyaknya jumlah teman yang bisa dimiliki via sosmed). Di sana, tidak melulu kita akan menemukan orang baik yang berbahasa santun. Tidak pula selamanya kita akan setuju dengan pendapat di postingan teman-teman kita.

Ada kalanya, perbedaan pendapat, sudut pandang, dan sikap terhadap sesuatu membuat seseorang merasa sedikit tersinggung, atau mungkin geram. Ada kalanya pula, kosakata yang dipakai oleh si teman terasa tidak nyaman dibaca. Saya, contohnya. Saya paling tidak suka dengan penggunaan umpatan dan kata-kata kasar lainnya (yang mungkin sudah menjadi bahasa sehari-hari si teman). Subjektif, memang, dan memang begitulah bahasa.

Mencegah daripada Mengobati
Kalau kita berteman dengan mereka yang gemar mengumbar kata-kata kasar, menyatakan pendapat dengan pemilihan kata yang ekstrem, dan sejenisnya, mau tidak mau kita akan membaca atau setidaknya melihatnya di timeline. Kemudian rasa jengah, jengkel, atau perasaan ga enak lainnya akan muncul.

Itu semua resiko, betul sekali. Ada yang bilang, ga usah main medsos kalau nggak siap dengan semua itu. Kalau saya sih, mending mencegah daripada mengobati. Maksudnya? Yaa, daripada harus sebel melihat postingan yang tidak sesuai hati nurani, lebih baik mencegah agar postingan tersebut tidak masuk ke timeline. Caranya adalah dengan menyaring teman. Pilih teman yang kira-kira bisa berperilaku santun di media sosial. Bagaimana kalau sudah terlanjur berteman? Di unfriend atau unfollow juga masih bisa. Untungnya, di Facebook (satu-satunya medsos yang sekarang saya masih aktif memakainya), ada fasilitas unfollow yang memungkinkan kita berteman dengan seseorang tanpa harus mengikuti postingan nya.

Pilih-pilih ya? Tak apa lah. Lebih baik menghindari sesuatu yang tidak baik, daripada teracuni hal negatif , hihihi. Toh itu juga hanya sosial media, yang tidak semua teman di dalamnya kita kenal dengan baik. Di dunia nyata, mungkin akan lebih mudah berteman dengan siapa saja, termasuk dengan yang kita tidak ingin berteman dengannya via media sosial.

Intinya, mari menjadi bijak dalam menggunakan sosial media. Jangan sampai kita merugikan dan dirugikan oleh orang lain, ya!

Saturday, 28 January 2017

Shortcut dalam Berbahasa

Belakangan, saya beberapa kali sedikit kesal dengan kata B-aja (biasa aja); yang seringkali dipakai oleh remaja masa kini.  Mungkin bukan karena kata-katanya, tapi lebih pada ekspresi muka yang mereka tampakkan waktu mengucapkan kata tersebut . hehehe. Saat itu saya membatin sendiri 'Malesnyaa ini bocah, ngomong satu kata pendek (biasa) aja masih disingkat'. Maafin.

Tapi kemudian, saya menyadari sesuatu: ternyata shortcut (cara cepat) memang berlaku dan wajar dalam menggunakan bahasa. Dari tiga bahasa yang insya Allah saya gunakan (Jawa,  Indonesia,  English),  kesemuanya akrab dengan contraction atau memendekkan kata, juga menggabungkan beberapa kata menjadi satu. Kalau kata temen saya, "semua orang ternyata emang suka cari yang lebih gampang ya". Begitulah.

Bahasa Jawa
Dalam bahasa ini, bisa ditemukan kata-kata yang di pendek kan. Contoh, di kalimat Uwis mangan durung? (udah makan belum?) ada dua kata yang bisa di pendekkan menjadi wes mangan rung?.

Bahasa Indonesia
Kata b-aja yang saya sebut di awal tulisan adalah contoh dalam bahasa Indonesia. Yang lain? Misalnya, kata Cogan yang merupakan kependekan dari cowok ganteng (I got it from my junior high
student), jimayu (jadi malu---alay mode spotted. Ehm.), lola (loading lama), dan sebagainya.

Bahasa Inggris
Kenal dengan kata informal gotta,  gonna, kinda, outta, atau yang lebih formal semacam I'd (I would), can't, won't (will not), you're? Jelas sekali itu adalah contoh dari contraction dalam bahasa Inggris yang penggunaannya sudah dianggap sangat lazim.

Di bahasa Jepang, saya juga pernah melihat hal serupa, dimana sebuah kata dipendekkan. Contoh: Gomenasai yang disingkat menjadi Gomen saja. Karena belom jago bahasa Jepang,  sementara contohnya itu aja dulu. Hihi

Kalau diamati,  kebanyakan shortcut ini dipakai dalam bahasa percakapan, bukan tulis. Dan statusnya banyak yang masuk ke kategori informal atau bahasa tidak resmi. Sisi positif dari fenomena ini adalah kreativitas. Bagaimanapun, tidak semua orang akan kepikiran untuk memendekkan biasa aja menjadi B-aja. Tapi yang tentu harus diperhatikan adalah  pemahaman tentang bahasa baku. Jangan sampai khilaf dalam menggunakan bahasa baku karena sudah terlalu terbiasa dan nyaman dengan yang tidak baku.

Thursday, 26 January 2017

Memperbanyak Perbendaharaan Kosakata demi Ujian Nasional Bahasa Inggris

Ujian Nasional batal dihilangkan. Mau tidak mau, murid kelas dua belas sudah harus mempersiapkan diri menghadapinya. Kali ini saya akan membahas tentang ujian nasional mata pelajaran Bahasa Inggris, kaitannya dengan penguasaan kosakata dari para siswa.

Berdasarkan pengalaman mengajar di sekolah formal yang baru menuju tiga tahun, saya menemukan sebuah fakta bahwa kendala terbesar siswa dalam mengerjakan soal ujian nasional bahasa Inggris adalah kosakata. Semakin besar perbendaharaan kosakata mereka, kemungkinan untuk mengerjakan soal dengan lebih mudah pun menjadi lebih besar. Berbanding lurus. (Oh ya, kondisi ini mungkin tidak terjadi di semua sekolah ya.)

Penyebabnya, tidak lain dan tidak bukan, adalah jenis soal yang muncul dalam ujian nasional. Dari lima puluh soal pilihan ganda, 35 di antaranya adalah soal reading. Siswa harus menjawab pertanyaan sesuai dengan teks yang ada. Sebagian soal memiliki jawaban yang secara eksplisit tertera di teks, sebagian lagi implisit (sehingga siswa harus menyimpulkan), dan sebagian lainnya bisa dijawab (murni) dengan kekuatan dari kosakata yang dimiliki siswa.

Permasalahannya, soal reading dalam ujian ini bukanlah teks lama yang sudah siswa pelajari berkali-kali di kegiatan belajar-mengajar sehari-hari. Mungkin ada sih, sebagian yang sudah ditemui; dan kemungkinan ini terkait dengan seberapa banyak teks yang pernah siswa baca. Semakin banyak baca, semakin besar kemungkinan siswa mengenali topik dan jenis teksnya. Nah, kalau siswa asing dengan teksnya, maka tingkat kesulitan untuk mengerjakan soalnya juga turut naik kecuali dia kaya akan kosakata. Itu poin yang pertama.

Yang kedua, tidak semua trik dan tips (yang guru ajarkan di sekolah ataupun yang siswa baca dari berbagai buku dengan judul persiapan UN) berlaku ketika mengerjakan soal ujian yang sesungguhnya. Contoh: teorinya, ada teknik scanning yang mengajarkan siswa untuk menentukan kata kunci dari sebuah pertanyaan, untuk kemudian dicari di dalammteks, demi mendapatkan jawaban. Kenyataannya, memang kata kunci tersebut ada dalam teks, tetapi dalam bentuk sinonim. Di pertanyaan terdapat kata kunci artificial, sedangkan di teksnya menggunakan kata man-made. Dua kata ini memang artinya mirip, tapi bagaimanalah siswa akan menemukan jawaban yang tepat jikalau mereka tidak mengetahui bahwa keduanya sama? Jadi, semuanya kembali lagi pada penguasaan kosakata.

Poin ketiga, teks soal ujian bahasa Inggris juga menghadirkan muatan pengetahuan umum; misalnya teks berita yang membahas kejadian terkini, teks deskripsi tentang sebuah tempat wisata terkenal, atau teks biografi orang terkenal. Beruntunglah mereka yang pernah mendengar atau membaca tentang topik tersebut.; setidaknya mereka telah memiliki gambaran umum tentangnya meskipun ada kosakata yang mereka tidak tahu di teks ujian.

Demikianlah permasalahan tantangan yang terpampang nyata dan harus dihadapi oleh anak murid kelas dua belas di sekolah menengah atas yang saya ajar. Mungkin memang seperti itulah nasib mata pelajaran bahasa. Alih-alih mengeluhkannya, lebih baik mencari solusi. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah memperkaya jumlah kosakata yang dikuasai. And the only way adalah dengan banyak membaca dan latihan soal. Bagi yang masih kelas sepuluh atau sebelas, jangan tunggu naik kelas untuk menambah jumlah perbendaharaan kosakata.

Mengenal Kata Relativitas

'The beauty lies on the eyes of the beholder'. I found this proverb again after a quite long time. Peribahasa yang berarti 'keindahan itu terletak pada mata yang memandang' ini mengajarkan konsep relativitas atau kenisbian. Kata relatif (syn: nisbi) dalam kamus besar Bahasa Indonesia dimaknai 'tidak mutlak'. Sesuatu yang bersifat relatif menjadikannya berbeda di mata satu orang dengan orang lainnya, tidak ada ukuran pastinya.

Dalam salah satu topik grammar bahasa Inggris yang berjudul adjective order (tentang menyusun kata sifat dalam sebuah kalimat), ada kategori yang disebut dengan 'opinion' alias pendapat. Kata sifat yang termasuk dalam kategori ini adalah yang bersifat relatif; oleh karenanya diberi nama 'opinion'. Yang namanya pendapat, sangat mungkin berbeda antara satu dengan yang lain, bukan?

Nah, kata-kata yang terdapat dalam kategori opinion ini antara lain adalah handsome, beautiful, interesting, expensive, kind, etc. Ganteng dan cantik, sudah pasti relatif. Si A disebut cantik oleh si B, tapi belum tentu si C setuju dengan itu. Sepatu seharga 500ribu akan dikatakan murah oleh mereka yang berduit banyak, tetapi tidak untuk yang terbiasa hidup susah. Kita bisa mengatakan seseorang baik, tetapi mungkin di luar sana ada yang menganggapnya berbeda.

Relativitas pada Sifat Seseorang
Just last Tuesday, saya membahas materi tentang sifat seseorang (personality traits) bersama murid remaja saya. Ketika diminta mengidentifikasi sifat positif dan negatif, ternyata ada silang pendapat di antara mereka. Dari 25 personality traits yang dikategorikan, ada empat sifat yang diperdebatkan, yaitu sensitive (sensitif), outspoken (ceplas-ceplos), critical (kritis), dan idealistic (idealis). Bahkan saya pun berbeda pendapat dengan mereka.

Perdebatan paling panjang terjadi ketika membahas kata outspoken. Yang menyebutnya positif beralasan bahwa ceplas-ceplos berarti terus terang, jujur dengan apa yang dikatakannya. Kalau dipikir-pikir, benar juga. Sedangkan mereka yang menyebutnya negatif menganggap kata-kata yang diucapkan oleh orang dengan karakter ceplas-ceplos kemungkinan bisa menyinggung perasaan pendengarnya. Well, ini juga benar. Saya pun kemudian menyebut karakter ini memiliki sifat relatif; menilik dari berbedanya pandangan orang tentangnya.

Kenapa Bisa Relatif?
Relativitas atas sesuatu muncul dengan berbagai alasan; seperti perbedaan pengetahuan, pengalaman, lingkungan, hingga sifat seseorang itu sendiri. Setelah saya amati sekilas, murid yang mengatakan bahwa ceplas-ceplos adalah karakter positif ternyata memiliki sifat yang sama; sedangkan yang sebaliknya, terlihat lebih kalem dan tertutup.

Pengetahuan tentang relativitas ini seharusnya membuat bisa kita lebih hati-hati dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu ataupun seseorang. Selain itu, kita juga akan lebih mudah menghargai perbedaan pendapat dan tidak semena-mena memaksakan apa yang kita yakini benar kepada orang lain.  

Saturday, 21 January 2017

Belajar Grammar dari Lagu Berbahasa Inggris? Nanti Dulu!

Di postingan saya bulan Desember berjudul Learning English: Mulai dari yang Disukai, saya menyebut lagu berbahasa Inggris sebagai salah satu media pembelajaran yang paling menyenangkan. Sedikiiit berbeda, di tulisan kali ini, saya justru ingin menggarisbawahi kelemahan belajar menggunakan lagu; yaitu berhubungan dengan grammar, alias tata bahasanya.

Kenyataannya, lagu-lagu berbahasa Inggris tidak melulu menggunakan grammar yang benar, 100%. Ada beberapa bagian lirik yang akan membuat para grammarian (ahli grammar) mengernyitkan dahi karena menemukan kesalahan. Contohnya ada di lagu When I was Your Man punya Bruno Mars. Setidaknya ada dua baris lirik yang mengandung grammatical error:

1. Our song on the radio but it don't sound the same
> yang salah di bagian ini adalah kata don't yang seharusnya doesn't karena mengacu pada subjek it.

2. Should have gave you all my hours
> contoh kedua ini menggunakan perfect tense yang mengharuskan kata kerjanya dalam bentuk past participle atau kata kerja bentuk ketiga; kesalahan terletak pada kata gave (kata kerja bentuk kedua) yang seharusnya given

Poetic License
Kesalahan di atas terjadi tentu bukan karena mereka tidak mengerti grammar. Kalau harus menunjuk biang kesalahannya, maka itu adalah sesuatu yang disebut dengan poetic license. Ini merupakan semacam izin untuk 'menyimpang dari hal-hal normal', termasuk aturan grammar, demi terciptanya sebuah karya sastra yang selaras dan indah.

Poetic license ini memungkinkan para penyair dan penulis lagu untuk tidak menggunakan diksi/pilihan kata yang sesuai, menyingkat kata agar lebih efektif, ataupun sedikit menyimpang dari tata bahasa yang benar. Coba deh, jika kata gave yang memiliki satu suku kata diganti menjadi given (dua suku kata), lirik menjadi tidak selaras dengan musik; sehingga tidak lagi terasa enak untuk dinyanyikan atau didengarkan.

Kesimpulannya, lagu bahasa Inggris memang sebuah awalan yang baik untuk mempelajari bahasa Inggris, terutama untuk memperkaya kosa kata. Tapi untuk mempelajari grammar, perlu sedikit kehati-hatian supaya tidak salah. Memang sih, kesalahannya nggak bakalan banyak, tapi alangkah baiknya kalau bisa membedakan mana yang benar dan salah.

Intinya mah, tetep semangat belajar, ya!

Sunday, 15 January 2017

Lima Nasehat dari Ali bin Abi Thalib

Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah buku bergambar (semacam komik) berjudul 55 Mutiara Akhlak. Sesuai dengan judulnya, buku ini berisi berbagai nasehat untuk membangun akhlak yang mulia yang disampaikan lewat ilustrasi menarik. Dari sekian nasehat, ada lima dari Ali bin Abi Thalib  yang sangat mengena di hati:

#1 Kekayaan sebenarnya adalah akal, kemiskinan yang sebenarnya adalah rusaknya akal.
Nasehat ini digambarkan dengan cerita suami-istri yang berboncengan naik motor. Si istri membeli pisang dari pedagang yang menjual dagangannya dengan gerobak, tanpa menawar harga yang disebutkan. Ketika ditanya 'Kok nggak nawar sih?'', si istri bilang: kalau di supermarket aja, dengan harga berapapun, kita tidak nawar, kenapa harus pelit kepada pedagang kecil? Ilustrasi kedua, ada seorang ibu bermobil yang menawar pisang (di pedagang yang sama) dengan harga yang tidak masuk akal.

#2 Jika engkau berjumpa dengan orang yang lebih muda berpikirlah pasti dosanya lebih sedikit darimu. Jika berjumpa dengan orang yang lebih tua, berpikirlah pasti amalnya lebih banyak darimu. Sesungguhnya setuap orang pasti memiliki kelebihan.
Digambarkan dengan jungkat-jungkit yang diisi orang tua dan anak muda di masing-masing sisinya, nasehat ini jelas sekali mengarahkan agar kita tidak sombong dengan apa yang ada pada diri kita dan meremehkan orang lain. Selain itu, Ali bin Abi Thalib juga menyampaikan bahwa setiap orang itu memiliki kelebihannya; entah dia lebih muda atau tua daripada kita. Dengan mengetahuinya, kita akan lebih mudah menghargai orang lain, sekaligus menyemangati diri untuk terus berbenah. 
Yuk, cobain!

#3 Simpanlah perbendaharaan lidahmu seperti engkau menyimpan perbendaharaan emas dan uangmu.
Ngobrol adalah salah satu kegiatan paling mengasyikkan bagi beberapa orang. Bagi yang 'hobi' dan 'ahli' bicara, apa saja bisa dijadikan bahan pembicaraan. Ali bin Abi Thalib memperingatkan untuk berhati-hati dengan itu. Kenapa? Karena ada kalanya kata-kata yang keluar dari mulut bisa menyinggung orang lain, membuatnya marah, hingga berujung permusuhan. Kemudian, ada juga tutur kata yang terlalu berlebihan sehingga orang kehilangan rasa hormat kepada yang mengucapkannya; maka hilanglah kehormatannya. Ini sejalan dengan ungkapan mulutmu harimau-mu; kata-kata bisa membinasakan pemiliknya. Ngeri. Maka diam (menyimpan lisan dari kata-kata yang tidak perlu) ada saatnya menjadi pilihan terbaik.

#4 Orang yang terlalu memikirkan akibat dari suatu keputusan atau tindakan, sampai kapan pun dia tidak akan menjadi orang yang berani.
Sebelum melakukan sesuatu, lumrah untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di depan. Akan tetapi, jika terlalu banyak lama mempertimbangkan ini itu, terkadang orang malah jadi batal melakukannya, tidak melakukan apa-apa. 

Ini adalah kutipan yang paliing berkesan di hati. Buat saya yang kadang lamaa dala memutuskan sesuatu, membacanya menumbuhkan keberanian untuk membuat keputusan. Tapi by the way, saya juga pernah dengar bahwa membuat keputusan dengan berani itu membutuhkan latihan, lho. 

#5 Jangan engkau menghadirkan keresahan esok hari pada hari ini. Yang demikian itu hanyalah akan menambah beban diri.
Yang ini masih agak berhubungan dengan nasehat di nomor empat. Diberi judul Kalah Sebelum Bertanding, nasehat ini digambarkan dengan cerita seorang yang hendak ujian di esok hari, tapi sehari sebelumnya dia sudah membayangkan akibat kalau dia tidak lulus ujian. Akibatnya? Dia justru menghabiskan waktu untuk fokus di perasaan takut; takut gagal ujian, takut orang tua marah, dan sebagainya. Padahal, seharusnya dia fokus belajar untuk menghadapi ujian. Rugi, kan?
---------
This is it! Ini dia bukunya

Penyampai pesannya adalah VBI_Djenggotten, yang memiliki karya serupa berjudul 33 Pesan Nabi (3 seri). Cover dan isinya menarik. Meskipun nasehat di dalamnya berbobot, tapi penyampainnya lewat gambar komik yang jenaka membuat buku ini menjadi santapan ringan yang mudah dipahami. Dan yang paling penting, pesannya sampai ke pembaca. 

Setebal 118 halaman, buku ini berisi 55 nasehat untuk membangun akhlak mulia. Temanya beragam, dari yang urusannya dengan diri sendiri hingga hubungan dengan orang lain. Selain dari Ali bin Abi Thalib, buku ini juga menampilkan nasehat dari Nabi Isa, Luqman Al Hakim, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Abu Darda, Abdullah bin Mas'ud, dan banyak lainnya. Kesemuanya disampaikan dengan cara sederhana yang mudah dimengerti. 

Buku ini bagus dibaca oleh para remaja dan maupun dewasa bahkan orangtua; karena membenahi akhlak adalah pekerjaan bagi semua kalangan usia. Ehm

Melapangkan Dada

Saat masih kecil, beliau Nabi Muhammad SAW, mengalami sebuah peristiwa menakjubkan. Dua malaikat (Jibril dan Mikail) membawanya ke suatu tempat untuk kemudian membedah dada beliau lalu membersihkannya dari penyakit hati. Begitu pula di tahun ke-11 kenabiannya, dada beliau kembali dibedah, dan dikeluarkan dari dalamnya, dua hal. peristiwa itulah yang membuat Nabi Muhammad SAW memiliki hati yang sangat lapang, penuh kelembutan, dan kasih sayang.
---
Dalam kehidupan kita, tak terhitung berapa kali kita merasa iri, sedih, khawatir, dan beragam emosi negatif lainnya; yang membuat dada terasa sesak, tidak nyaman. Padahal, alangkah nikmatnya hidup ini kalau kita bisa memiliki dada (hati) yang lapang.

Apa saja yang harus disingkirkan, supaya melapangkan dada?

Satu, rasa over sensitive; yaitu gampang tersinggung, mudah sakit hati atas perlakuan orang lain.

Dua, rasa iri dengki; perasaan tidak suka dengan kebahagiaan orang lain dan berharap keberuntungan orang lain itu hilang atau menjadi miliknya.

Tiga, kesedihan atas hal-hal yang sudah terjadi; kesedihan yang 'menguasai' kehidupan kita.

Empat, kekhawatiran dan ketakutan atas apa yang belum terjadi di masa depan.

Demikianlah, cara untuk melapangkan dada, sebagaimana yang sudah terjadi pada diri Rasulullah SAW. Tambahannya, sebagai pengganti dari keempatnya, masukkanlah rasa welas asih (kasih sayang) ke dalam dada kita. Bukan perkara yang mudah, memang; tapi itulah 'tugas' sepanjang hidup kita di dunia ini.

*Disarikan dari ceramah singkat ustadz Salim A. Fillah
*Ini lebih menghibur daripada lagunya Sheila on 7 - Lapang Dada 😀

Saturday, 14 January 2017

(Bersabar) Mendampingi Orangtua

Orang bilang, meskipun sama-sama merawat, lebih senang merawat anak kecil daripada orangtua. Kalau merawat dan mendampingi anak kecil, rasa bahagia akan berdatangan satu per satu karena semakin beranjak besar, dia akan semakin terampil melakukan berbagai hal: berbicara, merangkak, berjalan, makan sendiri, dan seterusnya. Sebaliknya, orangtua akan semakin berkurang tenaganya dari waktu ke waktu; keterampilan beliau untuk melakukan sesuatu pun juga akan berkurang.

Maka tidaklah heran jika lebih banyak ditemukan orang yang mengeluh karena harus merawat orangtuanya, dibandingkan merawat anaknya. Mereka mengeluhkan repotnya harus berbicara keras-keras karena pendengaran orangtuanya yang sudah berkurang. Mengeluhkan harus menuntun beliau kemana-mana karena kaki yang tidak lagi kuat menopang. Mengeluhkan orangtua yang seringkali mengulang-ulang cerita hingga membuatnya lelah atau bosan mendengarnya. Mengeluhkan repotnya dipanggil berkali-kali karena dimintai tolong melakukan ini itu. Atau sekedar mengeluhkan orangtuanya yang cerewet atas hal-hal yang dia lakukan.

Jika hal itu pernah terlintas di pikiran, maka satu hal yang harus diingat adalah: mereka tidak pernah lelah membersamai anaknya di waktu kecil bahkan membantu sampai dewasa. Jangan ditanya seberapa repot mereka mengurus sang anak; di masa dia belum bisa melakukan apapun. Apalagi ibu, yang sudah memulainya sejak anak masih dalam kandungan.

Ingat pula bahwa orangtua-lah yang memandikan, membersihkan kotoran, bahkan membuang ingus anaknya. Menyuapi dengan sabar, meskipun sang anak berlari-lari tak mau makan. Bergadang semalaman menunggui anaknya yang sedang sakit. Bangun pagi-pagi demi menyiapkan sarapan. Dan sebagainya, dan seterusnya, banyaak sekali.

Jadi, sebenarnya merawat orangtua dan anak adalah hal yang sama; sama-sama memerlukan ketelatenan dan kesabaran.

Maka bersabarlah, bahkan bersyukurlah, jika kita masih memiliki kesempatan untuk mendampingi atau malah merawat orangtua. Karena sebanyak apapun yang kita berikan, tidak akan pernah menyamai apa yang beliau-beliau korbankan untuk hidup kita.

Sunday, 1 January 2017

Tahun Baru: (of What So Called) Momentum

Eh, malem tahun baru kemana?
Udah bikin resolusi buat tahun depan belum?

Pertanyaan di atas lazim terdengar menjelang tahun baru masehi. Banyak orang menganggap tahun baru sebagai momen spesial yang oleh karenanya harus diperlakukan dengan spesial pula. Orang-orang berkumpul dengan keluarga atau teman, bakar-bakar bersama, menyalakan kembang api atau petasan yang mengganggu orang mau tidur, dan sebagainya. Ada pula yang menggunakan malam tahun baru untuk evaluasi diri sekaligus menyusun target baru di tahun berikutnya.

Then I have a question: mengapa harus di malam tahun baru? Padahal kan bisa juga, bakar-bakar ikan di malam yang lain; memperbaharui target setiap akhir bulan, atau menyalakan kembang api setiap akhir pekan, misalnya?

Setelah bertanya-tanya, saya kemudian teringat dengan sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang bernama MOMENTUM. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online yang saya kunjungi, terdapat beberapa arti dari kata momentum, yang salah satunya adalah 'saat yang tepat'. Mungkin, mungkin ini ya, orang-orang ini menunggu saat yang tepat untuk melakukan sesuatu; dan tahun baru adalah salah satunya. Mungkin, mereka perlu alasan untuk mengajak kumpul-kumpul, Mungkin, di libur tahun baru-lah semua (baru) bisa berkumpul, Mungkin, tahun baru memunculkan harapan baru. Dan kemungkinan-kemungkinan lainnya.

So, what?
Sah-sah saja sebenarnya, jika mau memilih pergantian tahun sebagai momentum untuk melakukan sesuatu; dan/atau menyusun rencana untuk setahun berikutnya. Hanya satu yang perlu juga dipertimbangkan, yaitu lamanya waktu setahun. Ada dua belas bulan, sekitar 52 pekan, dan 365 hari lho dalam satu tahun. Sayang aja gitu rasanya, kalau ngumpul bersama keluarga atau teman harus menunggu momentum. Begitu pun dengan menyusun dan merevisi target; bisa juga kok dilakukan setiap bulan ataupun beberapa bulan sekali.

Namunpada akhirnya, pilihan kembali pada diri sendiri. Kalau saya sih, malam tahun baru masehi tidaklah spesial-spesial amat; kecuali kembang apinya (love it so much!) dan hari besoknya yang sudah pasti libur.
Image result for goodbye 2016 hello 2017
Anyway, selamat datang, 2017!

5.50 PM: Menikmati Waktu

Di kala senja menjelang azan magrib, Beberapa orang sudah menikmati waktu di rumah, Beberapa masih berjuang mengendarai motor atau mobil...